Kamis, 16 Oktober 2008

MAAF OH.. MAAF

Semua orang mafhum bahwa meminta maaf jauh lebih mudah daripada memaafkan. Mungkin karena itu juga, banyak orang yang dengan mudah meminta maaf setelah ia melakukan kesalahan. Permintaan maaf seolah menjadi penawar atas semua racun kesalahan yang telah ditebarkan. Anehnya permintaan maaf acap kali diidentikkan banyak orang dengan sekedar mengucapkan beberapa kata saja. Akibatnya jelas permintaan maaf tidak lagi menjadi perbuatan sakral yang harus dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan niat sungguh-sungguh.

Cukup berkata, "Aku Minta Maaf" maka semua persoalan seolah selesai. Yang terlambat jadi ditoleransi, Bahkan yang selingkuh bisa langsung saat itu juga dimaafkan. Tidak perduli ia sudah seringkali terlambat atau ia sudah lebih dari sekali selingkuh. Sangat beralasan memang kalau tiga kata di atas disebut "kata yang berbau magis" oleh seorang sahabatku.

[Maaf menyela perhatian pembaca sebentar: Sebenarnya fenomena ini saya rasa banyak terjadi pada sebagian besar kaum perempuan -maaf kalau saya bahkan menyebut semua perempuan- Saya heran kenapa wanita begitu mudah memberikan maaf? Mengapa wanita begitu sulit mengucapkan kata cinta namun begitu mudah memberikan rasa maaf? Kata seorang sahabatku, tidak ada kesalahan pria yang tidak bisa dimaafkan oleh wanita. Pria yang pernah melakukan kesalahan besar pada kekasihnya cukup mengucapkan, "Maafkan aku, Aku memang bersalah", maka penerimaan maaf pun pasti langsung meluncur dari mulut sang wanita dan hilanglah kesalahan pria.

Entah sudah berapa banyak pria yang menggunakan kata-kata ampuh tersebut untuk kembali dan kembali melukai wanita. Bagi wanita, asal mengaku bersalah dan berjanji tidak mengulangi kembali, semua permalahan akan selesai. Padahal bagi pria, untuk sekedar mengaku bersalah bukanlah persoalan yang terlalu hebat dan besar untuk dilakukan. Apalagi kalau si pria memang benar-benar bersalah. Jadi yang terpenting sekarang adalah bagaimana para wanita bisa dengan teliti bisa membedakan permohonan maaf yang tulus dan permohonan maaf yang hanya sekedar di mulut saja].

Baiklah kita kembali ke issue semula. Kelihatannya memang persoalan maaf ini sepele, namun tidak demikian sebenarnya bila ini dibawa ke ranah hubungan kita dengan kekasih kita yang sebenarnya, Allah SWT. Apa jadinya bila semua orang dengan sangat mudah membaca istighfar atas kesalahan yang telah ia perbuat. Sementara ia kembali dan kembali mengulangi kesalahan yang sama. Sebuah iklan TV menyindir kebiasaan ini dengan pernyataan, "karena maaf jadi gampang, jadi gampang bikin salah".

Tuhan memang Maha Pemaaf. Namun tidakkah sebagai kekasih, Tuhan akan lebih suka kalau kita setia kepada-Nya. "Janganlah kita menjadi playboy di hadapan Tuhan". Kata sahabat saya. Bisanya hanya terus-terusan meminta maaf, tapi tidak pernah belajar untuk setia. Ingatlah sahabatku, "Permintaan maaf hanya akan menjadi berarti kalau diiringi dengan komitmen kesetiaan", dan "Istighfar akan lebih bermakna di hadapan-Nya bila ada keimanan dan penyesalan yang mendalam menyertainya". Mudah-mudahan di hari yang fitri ini tidak banyak orang yang hanya membunyikan kalimat maaf, tanpa ungkapan tulus dari dalam hati, baik kepada sesamanya, maupun kepada Penciptanya.

My House, 1 Syawal 1429 H.

Kamis, 21 Agustus 2008

SENGSARA MEMBAWA NIKMAT (Catatan di Suatu Pagi)

Hari ini Allah kembali mengingatkanku bahwa semua orang sebenarnya memiliki jatah waktu yang sama dalam hidupnya. Allah tidak pernah melebihkan satu detikpun antara umat yang satu dengan umat yang lain. Sehari semalam tetaplah 24 jam. Satu jam tidak pernah lebih dari 60 menit, dan satu menit tidak pernah kurang dari 60 detik. Lalu mengapa tidak semua orang bisa sukses dalam hidupnya? Toh mereka memiliki kesempatan waktu yang sama? Ternyata benar, jawabannya adalah karena kesalahan dalam memanfaatkan waktu. Tentu saja waktu bukanlah faktor utama, tapi tetaplah menjadi aktor terpenting yang menentukan baik buruknya masa depan seseorang.

Ceritanya begini, hari ini aku bisa masuk kantor, tempat aku mengabdi, tepat pukul 08.20. Biasanya sich aku baru menginjakkan kakiku di ruangan ini sekitar pukul 10-an. Mungkin tiba di kantor jam 8-an bukanlah sesuatu yang hebat dan patut dibesar-besarkan, tapi yang membuat ini semua berbeda adalah karena aku baru terbangun dari tidurku pada pukul 8 kurang 10 menit (tidurnya habis sholat subuh pastinya). Padahal waktu tempuh dari tempatku tinggal ke kantor paling cepat sekitar 25 menit. Bisa para sahabat hitung berapa lama waktu yang kubutuhin untuk mandi, ganti baju, merapikan diri, dan menyiapkan peralatan, termasuk motor. Cuman sekitar 10 - 15 menit. Hebat bukan? padahal dalam keadaan normal, semua itu baru bisa terselesaikan dalam jangka waktu 45 menit. Lebih efektif 30 menit toh?

Yang kemudian jadi pertanyaanku adalah, kenapa aku bisa sedemikian ikhlas lari tunggang langgang dan aku membuat waktu seefektif mungkin untukku? Baru aku menemukan jawabannya, ternyata faktor motivasi dan tujuan menjadi kunci aku bisa hidup lebih efektif dan lebih menghargai waktu hari ini. Tidak perlu kujelasin lebih detail apa motivasi dan tujuanku hari ini. Yang terpenting, sahabat sekalian harus memiliki motivasi dan tujuan yang kuat serta jelas ketika akan melakukan sesuatu. Memiliki komitmen untuk datang on time pada setiap jadwal kegiatan atau janji yang telah kita buat adalah contoh dari motivasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, namun ternyata banyak dilupakan oleh bangsa kita.

Akibatnya jelas, katanya kalau ga' jam karet malah bukan Indonesia banget. Satu lelucon yang harusnya tidak hanya mampu menyindir, namun juga menyadarkan dan membangunkan bangsa ini dari kebiasaan buruknya. Bagaimanapun juga, meski pagi ini terpendam rasa kecewa di hatiku, tapi aku bahagia karena pagi yang satu ini memberikan banyak pelajaran untukku. Matur nuwun Gusti...

Rabu, 20 Agustus 2008

UNTUKMU PEREMPUANKU

Perempuanku...
Aku tahu betapa dirimu menyayangiku melebihi semua yang kaumiliki
Kau mencurahkan seluruh perhatianmu padaku
Kau begitu setia menemani kesepian dan keluh kesahku

Perempuanku...
Aku berjanji kan selalu membuatmu tersenyum seumur hidupmu
Aku tak akan pernah sedikitpun membuatmu merasa tersakiti
Pundakku kan selalu anda untuk tempatmu bersandar, tempatmu menumpahkan segala kegundahan hatimu

Perempuanku...
Aku tahu sucinya cinta yang kau suguhkan padaku
Betapa tulusnya tanganmu membelai rambut dan dadaku
Betapa putihnya senyuman yang kau lempar padaku dibalik wajah lelahmu mengurus anak-anakku

Perempuanku...
Umurku kan ada hanya untuk membahagiakanmu
Waktuku hanya akan ada sebagai pengindah bagi waktumu
Dan kebahagianku hanya untuk merayakan kemenanganmu

Perempuanku...
Aku hanya butuh kata sayang yang tulus kau bisikkan di telingaku
Air matamu adalah kebahagianku
Tak kan kubiarkan ia mengalir dari kedua mata indahmu
Tak kan pernah ada kata menyesal keluar dari mulutmu karena telah mengenalku

Perempuanku...
Kapan aku bisa menemukan dan tahu siapa dirimu
Biar bisa kusaksikan keagungan-Nya lewat ranum wajah dan senyum manismu
Aku tidak akan berusaha mencarimu
Biar Dia yang mengetuk hati dan mengirimmu padaku
Saat itu tiba kan kubuktikan semua janjiku padamu

PEREMPUAN DAN CINTA

Ada seseorang yang berkata, ”Hanya satu seni yang dikuasai perempuan, yaitu mencintai dan dicintai”. Itulah agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah menganugerahi perempuan kemampuan menangis, cemburu, dan berduka, serta kesediaan berkorban untuk kekasih –menganugerahi mereka hal-hal tersebut- melebihi anugerah-Nya kepada lelaki karena air mata mengundang kasih dan cinta, pengorbanan menyuburkannya, cemburu menghangatkannya, sedangkan duka cinta tidak terobati kecuali dengan cinta pula. Cinta kepada lawan jenis bagi perempuan adalah kisah romantis yang pelakon utamanya adalah perempuan, walau sutradaranya adalah lelaki.

Bagi perempuan, cinta adalah harapan, bahkan hidup adalah cinta, sehingga perempuan bersedia berkorban demi cintanya. Dia bersedia meninggalkan ayah dan ibu serta saudara-saudaranya demi mengikuti suami atau kekasih yang dicintainya. Bagi perempuan, pengorbanan demi cinta bukanlah kematian, tetapi kehidupan, karena tanpa cinta perempuan tak dapat hidup. Kematian bagi mereka adalah hidup tanpa cinta. Lelaki yang mencintai biasanya menuntut yang banyak atau memberi dengan perhitungan, tetapi perempuan yang bercinta mempersembahkan tanpa batas dan, karena mereka tidak mengenal batas dalam pemberian, mereka mneyerahkan diri mereka kepada siapa yang mereka cintai.

Sungguh saat ironis bila saat ini justru banyak perempuan yang tersakiti karena cinta. Padahal merekalah makhluk yang paling berhak atas cinta. Kalau mau belajar cinta, belajarlah dari perempuan. Merekalah yang paling mengerti bagaimana caranya mencinta dan dicinta. Sekali ada wanita tersakiti, maka sebenarnya cintalah yang akan marah.

Cinta ibarat pohon yang tumbuh subur di dalam hati. Akarnya adalah kerendahan hati kepada kekasih, batangnya adalah pengenalan kepadanya, dahannya adalah rasa takut kepada Tuhan dan kepada makhluk –jangan sampai ada yang menodainya -dedaunannya adalah rasa malu –malu mempermalukan dan dipermalukan- buahnya adalah kesatuan hati yang melahirkan kerja sama, sedangkan air yang menyiraminya adalah mengingat dan menyebut-nyebut namanya.

Cinta bukanlah permintaan untuk memenuhi keinginan sesaat, tetapi ia adalah pemberian, kedermawanan, dan pengorbanan tanpa pamrih. Hal-hal mana sudah sangat langka pada masa ini. Korban yang paling banyak di sini adalah perempuan, makhluk yang mestinya paling tinggi dan dalam rasa cintanya.

Terima kasih buat semua orang yang mengajariku banyak tentang cinta dan kehormatan perempuan. Semua guru mayaku, semua kekasih imajinerku, dan seorang sahabat yang akhir-akhir ini telah menyadarkanku. Kepada kalian kupersembahkan rasa kagum dan cintaku.....

Senin, 11 Agustus 2008

Dream Is Mirror

Begitu banyak orang menyepelekan mimpi. Bagi mereka mimpi hanya dianggap bunga tidur. Padahal bagiku mimpi adalah tempat dimana kita bebas berekspresi, tempat dimana tidak seorang pun dapat menutupi kotornya jiwa atau putihnya hati yang kita miliki. Lihat saja berapa kali nabi mendapat wahyu melalui mimpi, berapa kali para ulama mendapat ilham saat mereka tertidur. Ini adalah bukti bahwa mimpi pada dasarnya adalah cerminan diri kita seutuhnya dan sebenar-benarnya

Para penakut mungkin bisa jadi lebih sering memimpikan hantu atau apapun yang semisal. Anak-anak kecil sering bermimpi bisa terbang jadi superman. Itu sejatinya dikarenakan sekali lagi mimpi adalah cerminan masing-masing pribadi. Jadi kalau anda masih suka bermimpi yang aneh-aneh, itu artinya ada yang masih "aneh" dalam diri anda. Bukankah fitrah manusia lahir dalam keadaan suci? maka bila kesucian itu telah anda kotori dengan ke"aneh"an "aneh"an tersebut, Jangan marah bila mimpi anda seringkali aneh.

Bagi orang yang sedang jatuh cinta, mungkin ia akan sering terganggu dengan kehadiran pujaan hatinya. Begitulah yang selama ini terjadi pada orang-orang yang kasmaran. Kalau kekasih anda tidak pernah memimpikan anda, mungkin perlu dipertanyakan besarnya cintanya pada anda?
Begitu pula sebaliknya.

Mungkin anda selama ini bertanya-tanya, bagaimana sich orang-orang yang 'alim itu menyalurkan hasrat seksualnya saat belum menikah (maaf ini ilmiah.. jangan diinterpretasikan berlebihan)? Ada seorang teman penulis yang berawal dari pertanyaan ini kemudian berani membuat kesimpulan bahwa sealim apapun orang tersebut berperangai pasti ia pernah melakukan "dosa seksual" dalam hidupnya. Hanya mungkin porsi dan kualitasnya saja yang membedakannya dengan orang yang bejat. Kesimpulan ini ia ambil berdasar pada asumsi bahwa hasrat seksual adalah hasrat mendasar yang juga menempati posisi teratas untuk dipenuhi kebutuhannya.

Saya tidak dalam posisi menyalahkan atau membenarkan argumentasi teman saya tersebut. Namun yang pasti alam mimpi juga menyediakan fasilitas bagi semua manusia untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Apa yang haram dilakukan di dunia nyata (berciuman, berpelukan, atau mungkin melakukan hubungan intim dengan lain jenis yang tidak terikat pernikahan) hukumnya halalan thoyyiban (boleh-boleh saja) dilakukan dalam dunia mimpi. Oleh karenanya, kesimpulan teman saya di atas bisa jadi cukup lemah dengan fakta ini. Orang-orang 'alim sangat mungkin mempercayakan pada dunia mimpi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan hasrat seksual mereka.

Tapi, bukan berarti yang mimpi basah hanya orang-orang 'alim saja. Logikanya tidak bisa dibalik seperti itu. Kealiman tentu saja sama sekali tidak memiliki korelasi dengan sering tidaknya seseorang tersebut mimpi basah. wallahu a'lam.

Selasa, 05 Agustus 2008

Amanah Hidup

Hari ini saya membaca satu pesan menarik dalam kitab "Syarhul Hikam" yang ingin saya bagi kepada sahabat semua. Entah di halaman berapa saya membacanya, saya hanya menemukannya tanpa disengaja saat membolak-balik lembar demi lembar kitab tersebut. Pesannya begini, "Sedikitlah berbahagia saat menerima sesuatu yang menyenangkan, niscaya kau akan merasakan sedikit kesedihan saat kehilangannya"

Pesan yang tidak terlalu panjang, tapi cukup membuat saya bergetar membacanya. Saya bisa membaca realitas masyarakat yang seringkali rela mati karena kehilangan benda yang dicintainya. Bahkan ada yang dengan tega melakukan pembunuhan karena kahawatir kehilangan sesuatu yang dianggapnya berharga. padahal kesedihan, rasa tidak rela yang berlebihan itu hanya akan timbul bila kita memiliki benda tersebut dengan berlebihan. Dalam bahasa nabi, mungkin seringkali kita dengar kata bijak, "Cintailah seseorang sekedarnya saja dan bencilah seseorang sekedarnya pula".

Maka, bila kita diberi nikmat oleh Allah, jangan terlalu bahagia atau berlebihan memiliki nikmat tersebut, sehingga enggan berbagi dengan orang lain. Bukti bahwa kita tidak berlebihan dalam memilikinya adalah dengan berbagi terhadap sesama. Sedikit remeh memang, tapi ini sangat penting untuk kita lakukan mengingat kita tidak tahu kapan sesuatu berharga yang menjadi milik kita akan meninggalkan kita. Semua yang kita cintai pasti akan pergi, baik karena mereka pergi dari kita atau kita yang lebih dulu meninggalkan mereka. Semua hanyalah persoalan proses dan cara saja.

Bagi para sahabat semua, ingatlah bahwa apa yang ada dan akan ada dalam kehidupanmu adalah amanah. Jagalah amanah itu sebaik mungkin. Maka kebahagiaan dan cinta kan selalu menyertaimu dimana, kapan dan bersama siapapun kau berada.

Kamis, 03 Juli 2008

Buah Tangan Munaqasah

Akhirnya hari ini tiba juga, hari saat aku harus mempertahankan skripsiku di depan majelis penguji. Satu jam lebih aku berdialog bersama 3 penguji di depanku.. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan.. Aku memang lulus dengan prediakat sangat memuaskan. Namun ada hal lain yang menurutku jauh lebih berarti buatku..

Aku sama sekali tidak nervous menghadapi ujian ini, karena aku memang udah terbiasa presentasi dan berdialog dengan tim penguji. Hanya saja hari ini ada yang terasa berbeda bagiku. Itu terjadi sesaat setelah aku dinyatakan lulus dengan nilai A. Seorang penguji, salah satu dosenku, memberikan wejangan yang nyentuh dan ngena banget...

"Ingat untuk memperjuangkan Islam, Peganglah Al-Quran dan Sunnah sebagai pedomanmu. Jangan terlalu mengikuti jiwa mudamu, Aku bangga punya 'anak' sepertimu. Kalau aku baru bisa doktor di umur 50 tahun, kamu sudah harus bisa meraihnya di umur 30 tahun". Dengan mata yang berbinar dan intonasi seraya memanjaatkan doa, Aku tanpa henti terus mengamini keinginan dan harapa darinya.

Ya Allah berikan aku kekuatan untuk membuat orang tua yang mengajariku dan para guru yang mendidikku serta semua orang di sekitarku bangga dan tersenyum melihatku. Aku ingin melihat senyum di bibir mereka semua. Aku ingin mereka tahu bahwa dukungan mereka sangat berarti buatku. Allahumma ij'al lii mahbuban fi qulubil muslimin wal muslimat...

Selasa, 24 Juni 2008

My Angel

Duh Gusti Aku merindukan senyumannya
Aku merindukan gaya tertawanya
Aku merindukan perhatiannya
Apalagi kemanjaannya
Kuingin dia menjadi wasilah menggapai cinta-Mu
Kuingin dia yang menemani kesepianku
Kuingin dia ada dan nyata
di hadapanku
Meski itu keinginanku
Selebihnya aku bertawakkal pada takdir-Mu

Rabu, 11 Juni 2008

Syarat Kufu' dalam Pernikahan

Beberapa hari yang lalu ada seorang pria yang bertanya tentang maksud dan arti kufu’ pada saya. ceritanya dia ini seorang yang katanya telah memiliki pekerjaan mapan. Suatu saat dia berencana mengajak perempuan yang dicintainya untuk menikah. Namun sayangnya, perempuan itu menyatakan diri belum siap dan menggunakan dasar kufu’ sebagai alasan.

Problem semacam ini mungkin memang sering terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan itu bisa terjadi pada anda. ok, so here it is the explanation.

Kufu’ secara bahasa berarti sepadan atau kesepadanan. Dalam konteks nikah, tentu yang dimaksud adalah kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita. Islam memang tidak memberikan penjelasan mendetail mengenai hal ini. Oleh karenanya, dalam pandangan saya, penentuannya memang akan sangat bergantung dari kondisi sosiologis yang ada. Indonesia sendiri memiliki beragam corak budaya yang berbeda satu daerah dengan daerah yang lain. Itu artinya tidak bisa ada standar tunggal untuk menilai atau memberikan standar kufu’.

Penentuannya akan sangat ditentukan budaya yang berjalan di suatu daerah, sejauh budaya tersebut tidak bertentangan dengan syara’. Dalam Islam ketentuan ini dikenal melalui kaidah al-adah muhakkamah (kebiasaan atau budaya itu merupakan hukum). Hanya saja, menikah dan memilih pasangan adalah wilayah private (pribadi) masing-masing personal. Itu artinya tidak boleh ada sektor publik yang memberikan tekakan dalam wilayah ini. Sehingga standar kufu’ dari suatu daerah tertentu hanya bisa dijadikan bahan pertimbangan saja. Sifatnya tidaklah imperatif.

Misalnya, seorang perempuan diperbolehkan menolak khitbah seorang pria dengan alasan pelamar tidak memenuhi kualifikasi atau syarat kufu’ sebagaimana dalam budaya perempuan tersebut. Namun demikian, pihak perempuan juga diperbolehkan untuk tidak mengindahkan ”peraturan budaya” tersebut. Ia bisa saja menerima pelamar dengan kualifikasi di bawah standar yang ditetapkan.

Nabi pernah memberikan pernyataan membolehkan umatnya untuk memilih pasangan hidup dengan empat kriteria: harta kekayaan, fisik, nasab, dan agamanya. Akan tetapi syarat kufu’ dengan berpegang pada empat kriteria ini menurut saya masih perlu didiskusikan ulang. Tiga kriteria pertama terlalu riskan untuk masih dipertahankan. Disamping tampak diskriminatif, juga sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam yang egaliter. Kalaupun toh masih akan dipakai, maka sifatnya tidak mengikat. Ia kembali pada selera masing-masing personal.

Atas dasar itu, syarat kufu’ yang dimaksud dalam Islam dan hukumnya imperatif menurut saya hanya satu, yaitu kesepadanan dalam hal agama, sebagaimana penekanan yang diberikan nabi pada kelanjutan hadis di atas. Syarat kesesuaian agama kedua mempelai juga menjadi ijma´(kesepakatan) para imam madzhab. Di luar itu, tidak ada syarat kufu’ yang bisa bersifat imperatif.

BERSATU DAN BERSAUDARA

“Berpeganglah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai, ingatlah kenikmatan Allah yang melimpah kepadamu ketika kamu semuanya bermusuh-musuhan, kemudian Allah melembutkan hati-hatimu sehingga dengan itu kamu menjadi bersaudara”
(QS. Al-Imron : 103)


Tuhan mengajarkan dalam Al-Qur’an kepada kaum muslimin supaya mereka berpegang teguh dan berpedoman kepada agama Allah, ajaran dan petunjukNya yang telah digariskannya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diperintahkannya supaya bersatu, bersaudara, jangan berpecah belah dan bermusuh-musuhan antara satu sama lain. Boleh berbeda pendapat dalam hal-hal yang kecil dan ranting syari’at, bukan dalam pokok-pokok keagamaan, tetapi perbedaan itu tidak boleh memecah persaudaraan dan tidak menyebabkan putusnya persaudaraan antara umat seagama.
Perbedaan itu hendaklah dipandang sebagai hasil kemerdekaan berpikir dan melahirkan pikiran. Masing-masing dapat menguji alasan dan kebenaran pendapatnya, dibanding dengan pendapat orang lain. Sehingga kalau ada yang lupa, ingatkan dia, atau ada yang tergelincir, Bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali (agama) Allah. Ingatlah karunia tuhan yang telah menyatukan hati umat Islam. Dengan mengenangkan nikmat tuhan, timbullah perasaan syukur, menghargai dan memelihara nikmat itu, langsung menghargai tuhan yang telah memberikan nikmat. Nikmat yang paling besar ialah menghilangkan permusuhan dan melenyapkan persengkataan, sehingga tumbuh rasa persatuan dan persaudaraan yang teguh dan kuat.

Persatuan dan persaudaraan adalah dua modal dasar yang tidak boleh tidak harus dimiliki oleh masyarakat yang mendambakan terciptanya masyarakat madani (civil society) dalam kehidupannya. Dengan bermodal dua hal tersebut, diharapkan tujuan akhir kita umat Islam yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat akan dapat terealisasi dan tidak hanya menjadi slogan yang dimuseumkan dalam angan-angan semata, mengingat apa yang ada saat sekarang ini di kalangan kaum muslimin menunjukan gejala seperti itu. Mereka tahu akan arti penting sebuah persatuan dan persaudaraan, tetapi mereka masih saja mengikuti hawa nafsu mereka masing-masing.

Fenomena perpecahan di kalangan kaum muslimin sendiri sering kali menjadi headline media massa pada beberapa tahun terakhir, seiring dengan rentangnya konflik yang timbul akibat perbedaan partai politik di antara mereka. Jelas kasus ini bukan hal yang biasa-biasa saja, oleh karena kredibilitas agama yang mereka anut akan sangat mempengaruhi persepsi orang dalam menilai suatu ajaran. Jangan sampai orang di luar Islam memiliki asumsi bahwa agama Islam adalah agama yang melegitimasi perpecahan serta mengesahkan umatnya untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ikatan ukhwah sedikitpun.

Ibnu Umar RA. Menceritakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Muslim satu adalah saudara bagi muslim lain yang tidak boleh saling menganiaya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka allah akan juga membantu kebutuhannya. Sedang orang yang melonggarkan kesulitan saudaranya, maka Allah akan berbuat hal serupa di hari pembalasan nanti. Begitu juga bagi orang yang tidak membuka aib saudaranya, Allah pun akan menutupi aibnya nanti di hari kiamat.

Di zaman nabi di Madinah, ada dua suku penduduk madinah, yaitu “Auz” dan “Khazraj” yang telah bermusuhan dan berbunuh-bunuhan. Setelah nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan berkembangnya agama Islam pada penduduk Madinah, mereka menjadi bersatu dan bersaudara. Dengan persatuan dan kerjasama antara kedua suku Auz dan Khazraj itu, bukan saja mendatangkan keselamatan dan perdamaian bagi kedua suku itu, melainkan berjasa bagi perkembangan agama Islam dan penyusunan masyarakat Islam.

Apabila kepercayaan berlainan, pandangan hidup tidak sama, seorang yang satu hendak memaksakan kepercayaan dan cara hidupnya kepada yang lain dan satu golongan merasa lebih tinggi dari golongan yang lain, sudah tentu pertentangan tidak dapat dihindarkan. Jalan satu-satunya untuk mencapai persatuan yang teguh kuat ialah berpegang pada ajaran Allah dan menumbuhkan persaudaraan, menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam antara yang satu dengan yang lain.

Dalam mengatasi perseteruan di kalangan ummatnya, Islam memiliki konsep Islah sebagai salah satu media penyelesaian friksi, terutama dalam lingkup intern keagamaan. Konsep ini dalam pengejawantahannya selalu mengedepankan prinsip musyawarah dan meletakkan ajaran Al-Qura’an dan hadits sebagai acuan dalam mengambil satu keputusan. Islam adalah agama humanis yang sangat mengecam lahirnya permusuhan dalam kehidupan umat manusia. Bahkan untuk mewujudkan hal tersebut, Islam mengikat seluruh pengikutnya dengan suatu jalinan persaudaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, maka berdamailah antar sesama saudara”.

Tidak aneh kalau Islam memberikan penekanan yang sedemikian besar terhadap persatuan dan persaudaraan, karena sifat alamiah manusia yang dipenuhi keburukan dan perilaku kerimbaan dapat muncul sewaktu-waktu tanpa dapat dikendalikan. Oleh sebab itu kontrol sosial dari sesama saudara seiman akan sangat berpengaruh dan memberikan kontribusi besar dalam usaha menstabilkan kondisi kehidupan yang berjalan. Semua itu akan sangat sulit terwujud bila umat Islam masih belum mampu menyeragamkan persepsinya mengenai arti penting persatuan dan persaudaraan itu sendiri.

Hanya seorang saudara yang sangat paham pada penderitaan dan keinginan saudaranya yang lain. Perbedaan ideologi dan kultur tidak menyebabkan lalu sekelompok umat tidak dapat dipersatukan dan diberi ikatan persaudaraan. Justru perbedaan itu harus mampu dimanage agar supaya menjadi suatu kelebihan yang akan banyak memberikan manfaat pada perjalanan umat tersebut nantinya. Sangatlah mahal arti persatuan untuk dapat dihancurkan dan dicerai beraikan hanya dengan suatu perbedaan yang lahirnya pun berawal dari nafsu manusia saja.
Sekarang seharusnya kita bertanya pada diri kita masing-masing. Sudahkah kita melakukan suatu hal yang bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini?. Bukankah budaya cuek dan tidak mau tahu penderitaan orang lain sudah menjadi virus yang menghinggapi hampir sebagian besar umat kita?. Lalu bagaimana kita akan bisa berbuat sesuatu bagi mereka, sedangkan untuk tidak berbuat kerusakan dan kerusuhan saja kita tidak mampu. Padahal keduanya merupakan cikal bakal dari perpecahan yang seharusnya wajib kita hindari.

Menyimpang dari jalan yang benar, jalan yang telah digariskan oleh Allah dan rasulNya serta hidup dalam perpecahan, akibatnya sangat membahayakan, terutama melemahkan semangat perjuangan dan hilangnya kekuatan. Firman Allah dalam Al-Anfal ayat 46 “Taat dan patuhlah kepada Allah dan rasulNya dan janganlah saling berselisih yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu serta bersabarlah. Allah sungguh berada di pihak orang yang bersabar”
Akhirnya, kita sebagai umat Islam dituntut untuk bisa melakukan muhasabah atau introspeksi terhadap perilaku kita selama ini. Jangan lagi kita mengabaikan ukhuwah Islamiyah dan hanya mementingkan hal-hal yang bersifat pribadi dan kenikmatan sejenak saja. Agama ini akan sulit untuk mencapai kejayaan dunia apabila tidak ada lagi persatuan dan persaudaraan di kalangan umatnya. Hal itu harus mulai kita tumbuhkan dari diri kita sendiri sebagai bagian terkecil dari umat Islam. Kita juga memohon pada Allah untuk menjaga keutuhan umat ini dan menjauhkannya dari perpecahan.

Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh, bersatu dalam iman kepada Allah dan rasul, bersatu dalam tujuan dan pandangan hidup yang sama.

Senin, 09 Juni 2008

Dariku untuk-Mu

Ya allah jadikanlah aku golongan dari hamba-Mu yang istiqomah
Jangan kau biarkan aku berlumur kenistaan
Tutupilah aibku.... Sungguh hanya Engkau Dzat yang mampu menutup aib sebanyak yang kupunya
Izinkan aku mengambil faidah dari setiap hari yang kulalui


Ya Rahman.... Belas kasih-Mu masih terus keharapkan
Ya Ghaffar..... Ampunan dari-Mu tak kan pernah berhenti kupinta
Ya Haadi..... Hanya petunjuk-mu yang bisa menyelematkan


Aku sadar belum menjadi hamba-Mu yang terbaik
Tapi aku yakin Engkau kan selalu ada saat kubutuhkan
Aku rindu kasih sayang-Mu
Aku menantikan ampunan-Mu
Kan kucari petunjuk-Mu
Di malam, saat dunia tak lagi menggangguku, saat dunia tersenyum padaku

Kamis, 05 Juni 2008

Habib Rizieq: Siapa Sich Lhoo

Sekali lagi kita diramaikan dengan aksi brutal Front Pembela Islam (FPI) saat menyelesaikan masalah. Aksi yang terjadi di Monas bukanlah aksi pertama yang menyita perhatian banyak kalangan. Sebelumnya, dari club malam sampai kantor majalah playboy pernah menjadi sasaran amuk massa FPI. Tampaknya budaya penegakan masalah dengan penyerangan dan pengerusakan telah menjadi modus operandi tersendiri bagi mereka. Bedanya insiden Monas di publish habis-habisan oleh media karena kelompok yang mereka serang saat itu adalah kelompok yang memiliki basis massa besar. Dalam hal ini tentu saja yang saya maksud adalah Nahdlatul Ulama.
Banyak kalangan yang berpraduga bahwa insiden ini sengaja didesain sedemikian rupa agar fokus masyarakat pada kenaikan BBM menjadi beralih. Kemungkinan tersebut memang selalu terbuka untuk menjadi kenyataan. Hanya saja, kita juga jangan sampai lupa bahwa aksi kekerasan tersebut tetaplah sebuah kejahatan yang harus dipertanggung jawabkan oleh para pelakunya. Apapun alasan massa penyerang, tetaplah tindakan mereka tidak bisa dibenarkan dari sudut pandangan manapun.
Kalau Habib Rizieq mengatakan bahwa massa penyerang terprovokasi karena sebutan laskar setan dari orang-orang yang menjadi korban penyerangan. Kemudian menghalalkan mereka untuk melakukan penyerangan. Maka apakah Habib Rizieq juga layak dipukuli massa pendukung gusdur, karena menyebut gusdur buta mati dan buta hati, bahkan dituduh antek yahudi (wawancara TVone)? tentu bukan itu solusinya. Padahal, Kecuali buta mata, tuduhan Habib Rizieq yang lain pada gusdur pasti akan masih perlu diperdebatkan kebenarannya. Makanya banyak warga NU di bawah yang bereaksi pada insiden tersebut.
Susahnya memang, ketika mereka membawa-bawa nama jihad dalam setiap aksi penyerangan yang mereka lakukan. Jadi, mereka dibunuh sekalipun pasti merasa mati dalam keadaan syahid. Padahal perintah penyerangan dalam Jihad berdasarkan aturan syara' harus dilakukan melalui perintah Imam. Pertanyaannya, apakah Habib Rizieq layak untuk disebut Imam? Tak pernah gentar memang ciri yang harus dimiliki imam yang ideal. Tapi tak pernah gentar tentu tidak identik dengan keras kepala, apalagi berpikir singkat sebelum berbuat. Belum lagi fakta ungkapan tidak baik yang pernah ia lontarkan pada orang lain. Siapapun orangnya, tentu ungkapan-ungkapan tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah.
Bagaimanapun juga, Bukankah Allah menjamin orang yang masih ada keimanan walau sebesar dzarrah dalam dirinya akan tetap masuk syurga? Lalu atas dasar apa kita tidak menganggap orang lain, apalagi yang jelas-jelas seiman sebagai saudara, sementara Allah masih bersedia menjanjikan syurga-Nya padanya.

Rabu, 30 April 2008

WAJAH PEREMPUAN DALAM DUNIA POLITIK INDONESIA

Polemik perempuan sebagai seorang pemimpin
Diskusi mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin tetap menjadi isu yang menarik perhatian kaum Muslim di Indonesia. Kenyataan bahwa Negara ini pernah dipimpin seorang perempuan justru menambah topik tersebut semakin hangat untuk diperbincangkan. Apalagi setelah pemimipin perempuan tersebut dianggap “gagal” dalam menanggulangi krisis Bangsa, maka seolah-olah pendapat jumhur ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimipin (Imam atau khalifah) mendapatkan legitimasi empiris. Meski dalam prakteknya, mayoritas Muslim Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun secara ideologi, tampaknya mereka lebih suka untuk tidak bertentangan dengan Jumhur. Sebagai Negara dengan asas pancasila dan demokrasi, hal seperti ini sangat wajar terjadi.

Polemik seputar kepemimpinan perempuan semakin menjadi-jadi ketika fakta sejarah dan dalil-dalil dalam Islam tampak saling bertentangan dan tumpang tindih. Di satu sisi, sebagaimana diyakini jumhur, nabi pernah bersabda “Lan yufliha qoumun wallau amrohum imro’atan” (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan), sementara di sisi lain, sebagaimana diklaim pejuang kesetaraan gender, Aisyah R.A. ternyata pernah memimpin pasukan dalam perang jamal. Belum lagi kalau kita membaca al-Quran surat al-Hujurat ayat 31 yang secara eksplisit menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, maka klaim pejuang kesetaraan gender pun serasa menemukan kebenarannya.

Banyak juga yang mencoba menganalisis larangan perempuan menjadi pemimpin melalui pendekatan psikologis. Namun tampaknya usaha tersebut juga tidak banyak berhasil. Karena ketika dibawa pada analisis duniawi, maka logika yang digunakan adalah logika sebab atau illat. Artinya hukumnya bisa sangat fleksibel. Persoalannya adalah apakah larangan nash tersebut bersifat ta’abbudy (taken for granted) yang harus diterima dalam kondisi apapun atau hanya larangan yang bersifat temporal dan kondisional, menyesuaikan dengan kondisi saat itu?

Tafsir terhadap sebuah nash bagaimanapun juga diyakini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, kecendrungan politik dan faktor psikologis penafsir. Banyak kalangan berasumsi bahwa pembatasan terhadap perempuan sarat dengan budaya patriarkhi di kalangan arab saat itu. Persoalannya sekali lagi adalah apakah budaya patriarkhi yang dimaksud hanya bersifat temporal dan kondisonal atau jangan-jangan patriarkhi adalah sistem yang dianggap Islam paling sesuai diterapkan di tengah masyarakat, karena merupakan tabi’at (fitrah) manusia?

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sendiri sebagai kelompok yang memperjuangkan berdirinya Khilafah Islamiyah tidak sepakat dengan pemimpin perempuan. Dalam pasal 19 bab sistem pemerintahan Rancangan Undang-Undang Dasar Islam yang disusun oleh Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, disebutkan “tidak dibenarkan seorang pun berkuasa atau menduduki suatu jabatan apa saja yang berkaitan dengan kekuasaan, kecuali seorang laki-laki merdeka, adil dan beragama Islam”. Ini tentu juga akan menjadi tanda tanya sendiri bagi kaum Muslim. Akankah ini menandakan bahwa perempuan memiliki hak-hak terbatas dalam Negara Islam yang dicita-citakan Hizbut Tahrir?

Realitas Posisi Perempuan dalam Panggung Politik Indonesia
Ada fakta menarik yang terjadi pada era reformasi saat ini. Semakin menguatnya Islam fundamentalis (non-sekuler) ternyata tidak berbanding lurus dengan posisi perempuan di Indonesia. Sekali lagi, dalam dunia politik hal yang demikian sangat wajar terjadi. Fakta bahwa setiap partai harus memberikan kuota 30 persen terhadap caleg perempuan dinilai sebagai terobosan yang berani dalam perjuangan kesetaraan gender. Bahkan PKS yang dianggap mewakili basis massa Islam non-sekuler dan secara “ideologi” biasanya menentang peran perempuan yang berlebihan, termasuk untuk menjadi pemimpin, tampak tidak bisa berbuat banyak dan cenderung menyepakatinya.

Ketika dalam sebuah dialog di stasiun televisi, seorang fungsionaris PKS ditanya mengenai hukum pemimpin wanita, ia sama sekali tidak memberikan jawaban yang tegas. Meskipun tampak lebih mendekati opini yang tidak setuju terhadap pemimipin perempuan, jelas ke”abu-abu”an PKS dalam hal ini sarat dengan pertimbangan politis. Itu artinya seolah-olah kemajuan peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia hanya didapat atas dukungan politik “kepentingan” saja, tanpa dukungan nyata dari moral keagamaan.

Namun, tampaknya posisi kekuatan dan kepercayaan publik terhadap perempuan akhir-akhir ini semakin menguat. Misalnya Jawa timur yang memiliki basis massa Islam tradisional terbesar di Indonesia justru salah satu Calon Gubernurnya adalah perempuan. Terlepas dari kemungkinan menang dan kalah, fakta ini bisa jadi merupakan kemajuan yang menarik untuk dianalisa. Belum lagi beberapa kader perempuan yang memang nyata-nyata telah menjadi pemimpin di beberapa daerah, semisal yang terjadi di Kabupaten Karang Anyar, Jawa tengah.
Bagaimanapun juga, ranah sosial politik dan sosial keagamaan adalah dua ranah yang berbeda. Dalam etika politik tentu tidak ada masalah dengan pemimpin perempuan. Namun secara etis keagamaan, pemimpin perempuan tetaplah sebuah polemik. Menjembatani hal ini, jalan dialog mutlak diperlukan. Disadari atau tidak, dua ranah yang berbeda tersebut tetap saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Ujung-ujungnya perdebatan semacam ini memang memaksa semua Muslim untuk berpikir sekuler. Persoalannya apakah dengan jalur berpikir sekuler semuanya bisa terselesaikan?

Jumat, 25 April 2008

Hukum Bekerja di Bank Konvensional

Ada seorang sahabat yang bertanya, Bagaimana hukum bekerja di bank konvensional yang notabene menjalankan praktek riba dalam operasionalnya?

Jawaban
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menghukumi bekerja di perbankan konvensional sebagai pekerjaan yang diharamkan karena dua alasan:
1. Membantu melakukan riba. Bila demikian, maka menurutnya, pekerja tersebut termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada individu sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau: "Artinya: melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya". Beliau mengatakan. "Artinya: Mereka itu sama saja".
2. Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya. Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba.

Sedangkan Syeikh al-Ustadz al-Duktur (kalau istilah Indonesianya Prof. Dr.) Yusuf Qardlawi menghukumi mubah (boleh) bekerja di bank konvensional dengan alasan sebagai berikut:
1. persoalan riba dalam perbankan konvensional sudah demikian mapan menjadi sebuah sistem. Kondisi seperti ini tidak akan bisa dirubah hanya dengan melarang seluruh orang Islam bekerja di Bank konvensional.
2. pengharaman hanya akan menyebabkan dampak negatif bagi banyak pihak (guncangan ekonomi), terutama bagi para pekerja Muslim yang terpaksa harus menjadi pengangguran, padahal ada keluarga yang harus mereka pikirkan masa depannya
3. tidak semua produk dan jasa perbankan konvensional itu seluruhnya bersifat haram. Banyak di antaranya yang telah sesuai dengan syariah seperti penitipan (istilah syariahnya wadi’ah) misalnya.
4. apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang non-Muslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.
5. perubahan tetap harus dilakukan, namun secara bertahap.

Saya sendiri lebih sepakat dengan Syeikh Yusuf Qardlawi. Pertimbangan saya lebih kepada efek negatif (mudlarat) yang ditimbulkan bila bekerja di bank konvensional dihukumi sebagai sebuah keharaman. Fakta bahwa ribuan Muslim saat ini bekerja di sana tidak bisa tidak harus kita pertimbangkan. Membantu menyuburkan aktivitas bunga bank memang menimbulkan mudlarat, tapi memotong mata pencaharian keluarga juga sebuah mudlarat. Apalagi bila satu-satunya income keluarga memang datang dari pekerjaan tersebut. Maka dalam hal ini berlaku kaidah fikih

اذا تعارضت المفسدتان روعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
“Bila dua mafsadat atau mudlarat bertentangan, maka perhatikanlah yang mudlaratnya lebih besar dengan melaksanakan yang mudlaratnya lebih kecil”.

Sedangkan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menurut saya kurang relevan untuk diterapkan pada konteks saat ini dengan alasan sebagai berikut:
Mayoritas orang Muslim yang bekerja di perbankan konvensional tidak sedikitpun memiliki niatan untuk menyuburkan bunga atau riba. Umumnya mereka bekerja atas nama profesionalitas dan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan basic keilmuwan yang mereka miliki.

Jika karena bertransaksi sesuatu yang melanggar syara’, kemudian orang yang bekerja di dalamnya juga dianggap melarang syara’, maka hampir dipastikan begitu banyak model pekerjaan yang haram di negeri ini. Misalnya bekerja di perusahaan televisi (banyak tayangan yang berbau non-Syara’), bekerja di seluruh departemen negara (sarang korupsi), termasuk mungkin bekerja menjadi pejabat Negara (karena meyakini negara ini masih negara kafir).

Namun yang perlu dicatat bahwa hukum mubah ini sama sekali tidak bersifat final. Hukum mubah ini menurut saya menyesuaikan dengan kondisio sosio-politik dan sosio-kultural yang empiris saat ini. Perjuangan untuk menegakkan sistem ekonomi Islam tetap harus digelorakan. Hukum Islam sangat adaptable. Bila suatu saat nanti, sistem syariah benar-benar telah terwujud dengan mapan, sehingga begitu banyak pilihan pekerjaan di perbankan maupun lembaga keuangan syariah, maka bukan tidak mungkin, hukum mubah ini dapat berubah menjadi makruh atau bahkan haram.

تغير الاحكام بتغيرالامكنة والازمنة
“Hukum itu berubah sesuai dengan tempat dan waktu (yang mengitarinya)”.

Wallahu a’lam bi al-showab.

Rabu, 19 Maret 2008

Minum Air, Syirik?

"Rob, ada anak kos yg keilangan uang trs ada anak madiun yg bw air putih yg udah didoain dr kyai. Qt semua minum. Kl yang ambil rasany air beda. Itu musyrik ga rob?"

Itu teks sms dari salah seorang temen saya. Pertanyaan semacam ini seringkali ditanyakan banyak teman. Mungkin karena mereka menilai opini dari publik juga masih simpang siur tentang kasus seperti ini. Ada yang menggapnya syirik, tapi ada juga yang menganggapnya boleh, dengan alasan tidak jarang kaum agamawan juga mengamini budaya itu.

Saya sendiri menjawab sms temen saya itu dengan teks begini, "klo pun ada yang beda rasax, itu ttp tdk bs djdkn bukti pncurian smp adax pngkuan at bkti lain. Slama tdk myakni adax kkuatan yg mnyamai Tuhan d air itu ya g syirik"

Jawaban itu mungkin juga masih membingungkan bagi sebagian orang. Maksud saya begini, hal-hal ghaib itu tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan. Orang yang kemudian merasa air yang dia minum rasanya tidak wajar, tidak bisa dihukumi lagsung dia bersalah. karena tidak ada relasi rasional (jelas) antara pencurian dan perubahan rasa air tersebut. Kecuali kemudian setelah minum air, ia lalu mengaku, maka ia bisa dikenakan sanksi pidana. itu pun bukan karena rasa yang berbeda pada air tersebut saat ia minum, tapi karena faktor pengakuan yang ia lakukan. inna nahkumu bi al-dhowahir wallahu yatawalla as-sarair.

Kemudian saya tidak berani mengatakan perbuatan tersebut syirik karena beberapa pertimbangan. Label Syirik atau kafir menurut saya seminimal mungkin digunakan kaetika menghakimi seseorang. Apalagi dalam hal yang masih belum jelas maksud dan tujuannya. Kemudian untuk kasus teman saya di atas, harus dilihat kondisi sosiologis dimana ia tinggal. Ia tinggal di kos. Tentunya semua penghuni kos itu turut memiliki peluang untuk dituduh sebagai pencuri. Bisa anda bayangkan kalau teman saya kemudian menolak permintaan meminum air tersebut. Besar kemungkinan justru dia yang akan dituduh sebagai pencurinya. Padahal ia sama sekali tidak melakukan itu.

Syirik berarti menyekutukan tuhan. Menyekutukan tidak hanya dalam artian mempercayai ada dua dzat Tuhan, tetapi juga mempercayai adanya kekuatan yang menyerupai atau sama dengan Tuhan. Kita semua tahu bahwa tuhan adalah laisa kamitslihi syai'un. Sehingga percaya ada kekuatan yang sama dengan Tuhan juga masuk dalam kategori syirik. Sementara bila tidak sampai pada tingkatan itu, maka label syirik juga belum pas untuk disematkan dalam perbuatan tersebut. wallahu a'lam bi al-showab

Selasa, 18 Maret 2008

BANGSA MISTIS; BANGSA STATIS

Bangsa ini mungkin adalah bangsa yang sangat kental dengan dunia ghaib. Hitung saja ada berapa film horor yang laris manis di pasaran. Belum lagi kalau kita ikut menghitung paranormal yang mencari makan di negeri ini. Semua itu seolah mengindikasikan lekatnya bangsa ini dengan dunia mistis. Untuk membunuh seorang musuh, aktor-aktor film laga Indonesia tidak perlu senjata besar atau laras panjang seperti yang dipakai dalam Rambo atau Predator, mereka hanya butuh ajian ghaib yang digambarkan dapat memberikan efek yang tak kalah besar dengan teknologi supercanggih sekalipun.

Saya bukannya tidak percaya dengan yang ghaib. Bagaimana mungkin saya tidak mempercayai sesuatu yang Agama memerintahkan kita untuk mempercayainya (QS. 2: 3). Tapi bukankah beriman tidak harus dengan jalan melihatnya dengan mata telanjang, atau dengan jalan harus divisualkan melalui film?

Film-film horor menurut saya, apapun motivasinya memberikan banyak efek negatif terhadap para penonton pada khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya. Setidaknya ada tiga efek negatif yang bisa saya sebutkan: Pertama, dari sisi akidah jelas film horor justru akan melahirkan sesuatu yang kontra produktif. Film horor mengajak dan mengajarkan para penonton untuk takut pada hantu atau makhluk halus. Sementara ketakutan pada Tuhan menjadi dinomorduakan. Fim horor dianggap sukses bila berhasil menakuti penonton sejadi-jadinya. Semakin "serem", berarti semakin berkualitas. Bohong kalau dinyatakan film horor dapat bermanfaat untuk mengingat kekuasaan Tuhan. Buktinya, belum ada satu pun fakta seseorang setelah menonton film horor, lalu berkomentar, "maha besar Tuhan". Yang ada komentarnya sudah pasti, "wah filmnya serem banget".

Kedua, Film horor menciptakan alam pikir imajinasi dan mimpi yang sama sekali tidak produktif. "Bangsa dan orang yang besar adalah bangsa dan orang yang memiliki mimpi besar" begitu kata orang bijak. Namun, bagaimana mungkin dapat menjadi bangsa besar kalau mimpinya justru tentang hal yang ghaib, tentang pocong, kuntil anak, tuyul dan "makhluk ghaib visual" lainnya? Kita bermimpi untuk memiliki tim sepak bola nasional yang tangguh. Namun bagaimana mungkin bisa terwujud kalau sebelum pertandingan bukannya beriktiar dengan latihan sekuat tenaga kemudian tawakkal, malah justru minta kekuatan pada dukun. Sampai dukun super sakti sekalipun, saat ini tidak akan mampu memenangkan Indonesia kalau melawan tim sekelas Brazil. Mimpi tetap harus ada, tapi harus mimpi yang rasional dan produktif.

Ketiga, Bangsa ini akan terombang-ambing dalam status ketidak jelasan. Disebut bangsa religus, sudah pasti bukan. Apalagi disebut bangsa dengan kecanggihan teknologi. Persoalannya, film horor yang ada di Indonesia, mementahkan dua basis keilmuwan yang dibangun sedemikian mapan. Agama dan Ilmu Pengetahuan. Sehingga bisa dibuktikan, semakin mistis suatu bangsa, pasti semakin jauh bangsa tersebut dari Agama dan Teknologi, atau setidak-tidaknya kemurnian ajaran ajaran agama akan sangat sulit terwujud.

Film horor sebenarnya bisa didesain tanpa harus melibatkan pocong dkk. Seramnya sebuah film memang sangat dipengaruhi budaya masing-masing tempat. Namun kalau tidak produktif untuk masa depan, kanapa mesti dipertahankan? Tengok saja misalnya film horor barat yang berjudul "saw". Meski tanpa adanya makhluk ghaib, tapi film ini menurut saya cukup sukses untuk membuat jantung penonton berdegup kencang. Wallahu a'lam bi al-showab.

Senin, 03 Maret 2008

RAPUH By OPICK; LAGU BUAT PARA PELUPA TUHAN

"Maafkanlah bila hati tak sempurna mencintaimu....."

itu sepenggal lirik dalam lagu ini. Terus terang beberapa hari ini lagu Opick ini sengaja kubuat menemaniku sepanjang waktu, bahkan sebagai pengantar tidurku. Aku merasa ada sayatan yang luar biasa melukai hatiku saat aku mendengar lagu ini. Aku seolah sadar ada banyak kesalahan yang telah kubuat pada Tuhanku.

Berulangkali dalam hidup ini aku mengejar cinta makhluk-Nya, tapi pernahkan dengan serius aku mengejar cinta-Nya. Aku ragu akan hal itu. Aku seringkali tak kuasa menduakan perasaan cintaku kepada-Nya. Padahal Ia adalah dzat yang paling pencemburu. Ia sangat murka bila diduakan.

Tapi Jangan salah, Ia juga adalah dzat yang paling setia kepada makhluk-Nya. bahkan ketika sang makhluk berbuat salah pada-Nya, dengan sangat mudah Ia akan memaafkannya. Bila kau bersungguh-sungguh memohon maaf terhadap-Nya. Tak ada yang lebih bisa menyayangimu melebihi apa yang Ia lakukan. Ya tawwab Tub 'Alayya.

Lagi-Lagi Kelaparan; Pemerintah... Belajarlah dari Umar!

Hari ini ramai diberitakan kematian seorang Ibu dan anaknya yang misterius. Selidik punya selidik ternyata dua orang dalam satu keluarga tersebut mati akibat kelaparan. Tragis memang, di zaman sekarang masih saja ada berita kelaparan di negeri ini. Alasannya, tentu saja bukan karena kita tidak memiliki lahan yang subur, sehingga seringkali kekurangan stok makanan. Bangsa ini sungguh kaya, bahkan sangat kaya.

Saya jadi teringat kisah sebuah keluarga dalam masa khalifah Umar yang juga mengalami kelaparan. Sang Ibu menanak batu hanya untuk meyakinkan anaknya kalau akan ada makanan yang siap mereka santap, sambil berharap sang anak akan tidur dalam masa penungguannya. Khalifah Umar tentu saja menangis melihat ini. Ia tidak tega melihat rakyatnya jauh lebih buruk keadaannya dibanding dirinya.

Padahal kita tahu, Umar juga bukan dari golongan kaya raya. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, kalau Umar setiap malam tidur hanya dengan beralaskan pelepah kurma, suatu pemandangan yang pasti tidak lazim dilakukan oleh seorang kepala negara.

Melihat ada salah satu rakyatnya yang demikian lapar, Umar pun rela memanggul sendiri bekal makanan yang akan ia berikan pada kelaurga lapar ini. Lagi-lagi pemandangan yang tidak lazim. Umar melakukan semua ini karena ia khawatir tidak dapat mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah kelak. Bahkan ketika masa paceklik tiba, diriwayatkan Umar pernah berkata, "biar aku menjadi orang terakhir yang merasakan lapar dari rakyatku".

Lalu kemana pemimpin sekarang? Saya tahu permasalahan yang dihadapi pemimpin saat ini jauh lebih kompleks dari masa Umar. Namun bukan disitu letak point yang ingin saya tekankan. Gaya pemimpin saat ini saya nilai cenderung lebih elitis dan kurang memasyarakat. Tolak ukur ekonomi yang diperhitungkan hanya dalam batasan ekonomi makro. Jelas saja penderitaan rakyat "cilik" tidak terbaca. Benar, urusan kekuatan nilai tukar rupiah terhadap dolar tetap harus diperhitungkan, tapi bukan berarti distribusi rupiah di kalangan "wong cilik" jadi luput dari perhatian.

Sungguh hati saya serasa tersayat-sayat mendengar dan membaca berita kelaparan ini. Padahal ini hanya sebagian dari yang terekspos saja. Masih banyak di daerah pedalaman dan daerah terdampak bencana alam yang masyarakatnya mengalami nasib serupa. Saya hanya bisa marah pada diri sendiri karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Lagi-lagi kita harus membuka mata bahwa fenomena ini sangat kontras dengan yang dialami pejabat dan anggota dewan. Mereka bisanya hanya meminta gaji tambahan berupa tambahan tunjangan dengan alasan kepentingan produktivitas. Apa mereka masih "mentolo" makan gaji-gaji itu. Apa mereka tidak takut termasuk dalam firman Allah, "Mereka punya mata, tapi tak melihat. Mereka punya telinga tapi tak mendengar. Mereka punya hati, tapi tak merasa. Mereka seperti binatang, bahkan lebih parah". Kullukum Ro'in wa Kullukum Mas'ulun 'an Ro'iyatihi.

Kamis, 28 Februari 2008

LUMPUR LAPINDO; LUMPURNYA TUHAN

Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)

Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan.
Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)

Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?

Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.
Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

Definisi
Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.
Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.

Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)

Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

Istilah bencana alam
Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.
Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku).

Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.

Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu. (Kompas, 28/02/08)

Selasa, 26 Februari 2008

Kyai dan Pilgub Jatim

Beberapa hari ini dan tampaknya juga akan berlanjut pada hari-hari ke depan, Jatim heboh menyambut Pilgub. Sebenarnya kehebohan seperti ini sudah biasa menjelang Pilgub di daerah manapun. Apalagi dengan sistem langsung seperti saat ini. Tapi tentu Jatim memiliki keunikan sendiri yang menjadi ciri khasnya selama ini.
Jatim dikenal sebagai wilayah dengan komunitas santri terbesar di Indonesia. Beberapa daerah di Jawa timur bahkan layak menyandang gelar kota santri. Seperti Situbondo misalnya. Jadi kalau ada perhelatan besar semacam Pilgub, bisa ditebak siapa yang paling sibuk diburu dan dibutuhkan? Tentu saja kaum santri. Santri pada dasarnya tak ubahnya sebagaimana pelajar pada umumnya. Hanya saja concern mereka lebih pada ilmu agama. Yang lebih penting lagi, santri mutlak memiliki panutan yang sering disebut dengan istilah "kyai"
Kyai adalah seorang guru yang banyak mengamalkan ilmunya pada masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat sering kali menjadikannya sebagai pemimpin informal di suatu daerah. Anehnya, ketokohan kyai memang seringkali diukur lewat seberapa besar basis massa yang dimilikinya. Jadi jangan heran kalau Kyai pun memiliki beragam tingkatan. Ada kyai bertaraf desa, kecamatan, kabupaten, nasional, bahkan internasional. Jadi kyai disamping memiliki santri yang sangat menghormatinya, kyai juga punya masyarakat yang siap mendukung semua keputusannya.
Dari fakta ini, sangat wajar bila saya katakan, bahwa siapapun yang paling dekat dengan banyak kyai, maka dialah yang akan menjadi Gubernur di Jatim. Bisa dilihat toh apa yang terjadi sekarang. Semua yang maju dalam bursa Pilgub Jatim pasti mengaku mendapat restu dari sejumlah Kyai. Ada yang semakin mantap maju karena merasa diperintah oleh Kyai, Tapi ada juga yang tidak mau menjadi orang nomor dua (bacawagub), karena kyai memintanya duduk sebagai calon orang nomor satu. Hebat dan unik bukan!
Itulah Jawa Timur. Aku tahu dan paham betul, karena disamping aku lahir dan besar di jawa timur, aku juga hidup di kalangan yang tidak jauh dari bau "kyai".
Mayoritas Jawa timur adalah NU. Jadi segala yang mengusung NU, kemungkinan untuk dapat menarik simpati warga cukup besar. Itu pula yang terjadi saat ini. Tapi sayangnya, PKB yang diharapkan menjadi kendaraan warga NU tampak belum begitu bisa bersimbiosis dengan kepentingan NU. Bagaimanapun juga tentu yang dirugikan dalam hal ini adalah PKB dan NU itu sendiri.
PKB yang kendalinya dipegang Gus Dur tidak menyetujui memasukkan kader NU menjadi Bacagub. Ia lebih memilih untuk meletakkannya menjadi Bacawagub. NU yang menjadi ABG (Anak Buah Gusdrur) pun tidak bisa apa-apa. Meski demikian, sebagian NU terutama yang tergabung dalam PKNU (pecahan PKB) justru seringkali berbeda pendapat dengan Gusdur. Dulu saat Gusdur menjadi ketua PBNU, tidak ada seorang pun yang berani berbeda dengannya di Jawa Timur. Tapi sekarang, entah mengapa keputusan Gusdur sering tidak sejalan dengan sebagian (besar) warga NU.
Saat ini, menurut saya Kyai NU di Indonesia bisa dikelompokkan dalam tiga macam. Pertama, kyai yang tidak terjun ke politik, bersikap baik dengan Gusdur dan selain Gusdur. Kedua, kyai yang selalu taat kepada keputusan politik Gusdur. Ketiga, kyai yang berani menentang Gusdur dalam konteks politik.
Harus diakui, peperangan politik di Jawa Timur merugikan para kyai, karena perbedaan pendapat mereka dalam wilayah politik seringkali terbawa pada persoalan masyarakat. Saya khawatir peperangan antar kyai akan benar-benar terjadi. Peperangan yang akan menyebabkan perpecahan.
Saran saya, hendaknya kyai tidak perlu memberikan fatwa politik. Kalaupun toh akan mengeluarkan fatwa semacam itu, harus dijelaskan dulu kapasitasnya sebagai apa? Apa pendapat pribadi, atau jabatan struktural. Kalau terlibat dalam partai, akan lebih baik sebenarnya bila tidak mengatasnamakan pendapat kyai. Karena hal itu justru bertentangan dengan bilai-nilai kultural yang disematkan masyarakat pada kyai.
Jangan sampai ada masyarakat yang bingung bertanya, "Aku harus ikut kyai yang mana?". Bahkan, jujur saya berani katakan, bahwa ulama salaf pada umumnya menjauhi wilayah politik. Itu sebenarnya untuk menjaga muru'ah mereka sendiri. Jadi wilayahnya memang hanya memberikan saran (fatwa) sesuai dengan tuntunan agama terhadap dunia politik.

Jumat, 22 Februari 2008

Mahfudz MD; GOOD!!!!

Jawa pos hari ini merilis kalau Mahfudz MD beberapa kali menolak upaya orang luar untuk memaksanya melakukan suap. "Lebih baik saya ga jadi (hakim MK), dari pada melakukan itu (suap)", begitu kata Mahfudz.

Ada berapa sih pejabat negara seperti Mahfudz? Pasti cukup mudah menghitungnya. Bukan karena orangnya mudah ditebak, tapi pasti karena orang seperti Mahfudz cukup sedikit. Saking parahnya, Negara ini sampai susah membedakan mana yang hadiah dan mana yang suap. Akhirnya sebagai usaha preventif, hadiah lebaran (parsel) pun dihukumi menjadi sesuatu yang haram diterima dan dikirim oleh pejabat negara.

Menurut saya, maraknya kasus korupsi atau suap semacam ini karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Aturannya saya yakin sudah tersusun sangat rapi dan apik, tapi pelaksanaannya seringkali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Pernah tidak Indonesia menghukum mati Koruptor? Jawabannya belum pernah. Bukan landasan hukumnya tidak ada, tapi karena proses hukum bagi para koruptor justru dilakukan oleh para koruptor juga. Nah, Jadi susah dan mbulet kan?

Lembaga peradilan diduga saat ini menjadi sarang nyaman bagi para mafia peradilan yang statusnya sama saja dengan koruptor. Lalu mana mungkin ada hasil persidangan yang berjalan ideal dan adil? Bahkan terkadang, keluarga maling ayam yang tertangkap dan diadili masih tega juga untuk diperas. Jadi jangan heran kalau kalangan The Have bisa santai-santai saja menghadapi kesalahan seberat apapun. Seolah-olah semuanya bisa diatur dengan rupiah.

Toh pun kalangan The Have ini tertangkap, kemudian masuk penjara, bukan berarti mereka sangat bersedih. Apa yang tidak bisa mereka beli di penjara. Asalkan punya banyak rupiah, penjara seolah menjadi rumah kedua bagi penjahat berduit ini. Ya Allah maafkanlah dosa bangsamu ini. Amin.

Kamis, 21 Februari 2008

Heboh... Kartun Nabi Lagi

Orang Denmark nih emang ada-ada saja. Sudah tahu kalau kartun Nabi itu menyakiti kaum Muslim, eh malah berani-beraninya ditayangin lagi. Apa nunggu kesabaran orang Islam hilang? "Pemuatan kartun itu merupakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw", begitu kata kelompok HTI yang berdemo di depan kedutaan besar Denmark, sebagaimana dirilis Jawa Pos.
Bagi saya, dalam dunia global seperti saat ini, akses informasi sudah tidak lagi mengenal batas. Bisa jadi kartun tersebut tidak terlalu bermasalah di Denmark, karena memang populasi muslimnya sedikit. Namun bukankah etika internasional juga harus dijaga? Dunia internasional dapat dengan mudah mengkonsumsi segala hal yang disajikan di belahan dunia manapun. Itu artinya, yang harus diperhitungkan bukan sekedar perasaan masyarakat Denmark, melainkan juga bagaimana respon masyarakat Internasional.
Bukankah kartun tersebut telah dikecam dunia internasional, terutama dunia Islam? Lalu pertanyaannya, atas dasar apa kartun itu dirilis ulang? Apa tujuan yang hendak diperjuangkan atau didapatkan?
Kalau hanya untuk memproklamasikan kebebasan berekspresi dan kebebasan media, kan tidak harus yang berbau agama. Masih banyak jalan lain. Kecuali kalau memang sengaja berbuat demikian untuk menyerang kelompok Islam. Maka kita sebagai Muslim harus bersikap seperti Lebah, harus berani merespon dan menyerang bila disakiti. Wilayah agama menurut saya termasuk wilayah private, sama seperti keluarga. Jadi kalau mengusik ketentraman keluarga di luar keluarga kita, sudah pasti akan jadi masalah. Misalnya anda menggambar monyet terus anda tulis nama Bapak teman atau tetangga Anda di atas gambar tersebut, sudah pasti yang bersangkutan akan marah. Sudah untung kalau anda tidak sampai kena bogem mentahnya.
Apalagi dalam konteks agama. So, Jangan diasumsikan Islam tidak menghargai kebebasan berekspresi dan berkarya. Setiap struktur masyarakat memiliki nilai-nilai tertinggi yang harus dihormati. Misalnya UUD di Indonesia. Begitu juga dengan nilai agama. Nabi Muhammad adalah simbol tertinggi nilai-nilai tuhan yang dapat digambarkan (begitu kata tasawwuf) dan dibahasakan serta dicontoh. Jadi ya jangan coba-coba menyalahgunakan! Alasan larangan menjelekkan foto Presiden, ya juga karena itu. Presiden adalah Lambang Negara. Penghinaan terhadap Presiden berarti penghinaan terhadap Negara.
Saya yakin konsep seperti ini juga digunakan oleh negara paling sekuler sekalipun! Jadi tidak ada celah sedikit pun menurut saya untuk membolehkan pemuatan kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Aku Mendukungmu HTI (dalam hal ini)!

Rabu, 20 Februari 2008

Oh... LAPINDO

DPR terbelah dua menanggapi kasus Lapindo. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyimpulkan -setelah melakukan berbagai pengamatan- bahwa bencana Lapindo murni faktor alam. Temuan tim bentukan DPR ini ternyata tidak diamini semua anggota DPR. Sebagian anggota parlemen menganggap semburan lumpur, tidak sekedar sebagai bencana alam, tapi juga ada campur tangan kesalahan Lapindo di dalamnya.

Kesimpulan BPLS ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap nasib ribuan rakyat di sekitar Lapindo. Sebagian mereka memperjuangkan nasibnya melalui jalur hukum. Sebagian lain, memilih untuk memberi support terhadap upaya hukum dengan jalan berdemo. Nasibnya pun sama. Semua usaha tersebut belum juga melahirkan kebijakan pemerintah yang dapat menenangkan rakyat.

Sejatinya kompensasi yang telah diterima rakyat secara bertahap 20 persen di awal dan 80 persen setahun berikutnya, dapat sedikit membuat rakyat lega. Persoalannya, dampak semburan lumpur ini tak semudah itu terselesaikan. Pertama, perpindahan pendudukan korban lumpur ke tempat yang baru tentu akan melahirkan dampak sosial baru, baik berupa pengangguran ataupun kesenjangan sosial. Kedua, Penduduk tersebut selama ini biasa menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain. Ini bisa berakibat buruk pada perkembangan etos kerja mereka selanjutnya. Ketiga, pemerintah masih belum mampu menghentikan luapan lumpur, sehingga korban-korban berikutnya tinggal menunggu waktu saja. Korban "baru" ini yang tidak teridentifikasi untuk mendapat hak kompensasi kemudian juga merasa berhak atas kompensasi dari Lapindo.

Persoalan-persoalan ini tentu urgen untuk segera diselesaikan. Jangan hanya terpaku pada perdebatan, apakah ini bencana atau human error. Ada banyak problem yang harus segera dipikirkan oleh pemerintah dari sekedar memperdebatkan status hukumnya.

Selasa, 19 Februari 2008

PARTAI ISLAM KO!

"Bohong itu kalau umat Islam tidak akan memilih partai Islam", begitu kata Suryadharma Ali. Pernyataan itu disampaikan Suryadharma menanggapi usaha sebuah kelompok yang berusaha menggiring opini publik untuk menyatakan partai Islam tidak akan dipilih oleh masyarakat Islam. Menurut saya, baik Suryadharma maupun "kelompok" yang dimaksud ada benar, tapi juga ada salahnya.

Pilihan partai adalah hak preogratif individu. Pemaksaan atau pencabutan terhadap hak ini, tentu bertentangan dengan demokrasi. Masing-masing person memiliki hak kepada siapa ia akan melabuhkan pilihannya. Yang justru menarik dari fakta ini adalah, "mengapa umat Islam justru tidak memilih partai Islam?". Buktinya, posisi dua partai besar pemenang pemilu selalu ditempati partai nasionalis. Padahal mayoritas pemilih beragama Islam.

Kemungkinannya bisa beragam. Tapi yang pasti, bila kemudian partai Islam berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar berjuang demi rakyat. Saya yakin rakyat akan meresponnya dengan baik. Hanya saja, masyarakat belum mendapatkan kepastian itu. Selama partai Islam cuma "dodolan" agama, ya sampai kapanpun mereka akan terus berada di bawah.

"BERJUANG DEMI RAKYAT, OTOMATIS JUGA BERJUANG DEMI AGAMA. TAPI, BERJUANG ATAS NAMA AGAMA, ITU SAMA HALNYA DENGAN MENJUAL AGAMA" [Robitul Firdaus]

Senin, 18 Februari 2008

GUSDUR DAN PILPRES 2009

Banyak kalangan berkomentar bahwa Gusdur masih akan mencoba peruntungannya dalam pemilu 2009. Gusdur sendiri ketika ditanya mengenai hal itu, jawabnya pasti “tergantung perintah dari para kyai”.
Dalam tradisi NU, kyai memang tempat banyak orang untuk meminta saran (istifta’). Namun, bukankah Gusdur juga seorang kyai? “perintah kyai” yang dimaksud Gusdur bisa jadi justru kemauan Gusdur itu sendiri. Artinya, ya kapan Gusdur mau, dia pasti maju. Kalau tidak mau, ya dipaksa kyai se-Indonesia juga belum tentu Ia mau.
Dalam ranah tasawwuf, kyai sebagai tempat kita meminta saran dan masukan memiliki fungsi yang sama dengan hati. Dalam bahasa yang lebih jelas disebutkan, “Istafti qolbaka” (mintalah saran pada hatimu). Itu berarti “kyai” yang dimaksud Gusdur bisa diartikan hati nurani yang ada dalam dirinya. Karena, memang “bersua” dengan Tuhan hanya bisa dilakukan melalui dimensi ini. Apa yang Tuhan anggap baik pada kita, sebenarnya telah diinformasikan kepada kita melalui hati, hanya saja kemampuan menangkap maksud Tuhan seringkali tidak bisa dilakukan dengan baik oleh semua makhluk-Nya.
Dunia politik tentu tidak menerima logika tersebut. Secara politik, hati nurani yang dimaksud juga akan sangat ditentukan oleh hitungan matematis menang-kalah, untung atau rugi. Itu artinya, Gusdur sudah pasti berhitung dulu sebelum maju. Hitungannya bisa jadi politik praktis, tapi bisa juga politic values.
Gusdur bukan tidak sadar, kalau peluangnya untuk sekali lagi menjadi Presiden sangat kecil. Namun, bisa jadi tujuannya bukan kemenangan dalam defenisi politik praktis. Melainkan jauh di atas itu. Gusdur ingin mengadakan pendidikan politik. Itu yang saya maksud dengan politic values. Gusdur bisa jadi sekedar memberikan pelajaran demokrasi yang seharusnya berjalan di Negeri ini. Dan dalam pandangan saya, pengajaran Gusdur cukup berhasil. Satu torehan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah keberaniannya menghapus diskriminasi etnis Tionghoa. TOLAK DISKRIMINASI!!!!! Itu yang menurut saya terus lantang Gusdur suarakan dalam perjuangannya. [Robit Firdaus]

Selasa, 12 Februari 2008

AYOOOO SIAPA MAU PANDAI???

"Bila kepandaian menjadi penyebab jauhnya seseorang dari Allah, maka menjadi manusia lugu merupakan alternatif terbaik" begitu kata cak Kuswaidi dalam kajian tasawwuf di PP UII (17/2). Menjadi orang pandai memang seringkali tidak mengenakkan. Karena, secara otomatis hukum alam menyebutkan bahwa orang pandai akan selalu menjadi tempat bergantung orang bodoh. Kalau bahasa film Spiderman mengurainya dengan kalimat, "Seseorang dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab yang besar pula".

Nikmat pandai menurut saya sama sekali tidak dimaksudkan Allah untuk kepentingan sendiri. Buktinya orang gila saja bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Beda pandai dengan gila terletak pada kemampuan berbuat untuk orang lain. Itulah mengapa orang lugu justru banyak yang selamat. Kaum lugu dengan nikmat "terbatas" yang diberikan Allah pada mereka tidak terlampau memiliki tanggung jawab. Sedangkan kaum pandai tanggung jawabnya berjubel.

Tanggung jawab kaum pandai sebenarnya untuk "menyelamatkan" kaum dengan "nikmat terbatas" tadi. Pun melaksanakan tanggung jawab tersebut, kaum pandai masih juga belum tentu langsung selamat. Kalau mengarahkannya sesuai dengan "kebenaran", mungkin selamat. Nah, kalau salah, sudah pasti lagi-lagi kaum pandai terkena getahnya. Ah..... Susah bener jadi orang pandai!!! (he.. he..)

MERAYAKAN VALENTINE ALA ISLAM

Dari Valentine Ke Yaum al-Rahmah
Tampaknya dalam tulisan ini, saya tidak perlu lagi menjelaskan apa dan bagaimana sejarah valentine. Pembaca sekalian sudah hampir pasti pernah mendapatkannya dari suguhan penulis lain. Versinya bisa beragam, namun pada umumnya mayoritas penulis, terutama yang muslim, mengidentikkan hari valentine dengan budaya barat. Tidak salah memang bila kita melihat suatu budaya berangkat dari mana kebudayaan tersebut muncul dan berkembang. Persoalannya adalah, apakah semua yang dari Barat pasti identik dengan keburukan? Saya yakin semua akan menjawab tidak. Buktinya kita begitu nyaman menggunakan banyak produk barat dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk saya dalam penulisan artikel ini.
Melalui media ini, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa yang Islami itu tidak hanya bisa ada di Jazirah Arab atau Indonesia dengan populasi muslim terbesar. Dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa Barat lebih bisa mengaplikasikan ”nilai-nilai Islam” dari pada kita. Permasalahan mendapat pahala atau tidak, itu sudah bukan wilayah kita lagi untuk menjawab. Yang pasti saya yakin kita sepakat dengan ungkapan yang sering dikutip Tukul, ”don’t judge a book by it’s cover” (jangan lihat tampang luarnya saja). Saya bukan beranggapan sampul tidak penting, tapi maksudnya ada yang lebih berharga untuk dianalisis dari sekedar memperdebatkan baju luarnya.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Ajaran untuk mengasihi sesama makhluk Allah bisa dengan mudah kita dapatkan dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Tapi mengapa kita tidak bisa mengejawantahkannya dengan maksimal? Setiap pribadi pasti memiliki jawaban masing-masing. Saya sempat berpikir kenapa kita tidak menjadikan valentine ini sebagai peringatan hari ’kasih sayang’ dalam makna yang positif. Kalapun toh para pembaca sekalian tidak sepakat dengan istilah valentine, ya kita ganti saja dengan nama ’yaum al-rahmah’ (hari kasing sayang). Pemikiran saya ini tentu akan melahirkan beberapa pertanyaan dan keraguan.
Pertama, Islam tidak pernah membatasi waktu untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, lalu mengapa seolah-olah ada waktu yang spesial? Yang saya maksud bukan demikian. Hari-hari spesial dalam Islam sudah ditentukan oleh nash. Jawaban pertanyaan itu akan saya jawab dengan pertanyaan serupa. Islam mewajibkan kita untuk menghormati seorang Ibu tanpa membatasi waktu, lalu mengapa ada hari Ibu? Apakah itu berarti hormat kepada Ibu hanya dianjurkan saat hari Ibu saja? Jawabannya sama saja. Media adanya peringatan tersebut hanyalah sebagai ajang mengingatkan kembali dan memperkuat ajaran Islam yang seharusnya bisa dipraktekkan kaum Muslim.
Kedua, bukankah valentine identik dengan budaya maksiat? Jawaban saya ya. Pertunjukan wayang dan gamelan pada masa awal Islam di Indonesia juga identik dengan budaya non-Islam. Tapi, justru dari modal itu dakwah Sunan kalijaga banyak berhasil menaklukkan hati masyarakat. Maksud saya adalah mengapa pada tanggal 14 Februari kita tidak berjihad melawan budaya Barat yang penuh maksiat dengan pedang budaya Islam. Bila sebagian orang pada hari itu sibuk mencari hadiah buat lawan jenis sebagai langkah dan modal awal berbuat maksiat, mengapa kita tidak menandinginya dengan sibuk mencari hadiah untuk di bawa ke panti-panti asuhan, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Dengan demikian, akan terjadi pertarungan dua kebiasaan yang bertolak belakang pada saat itu. Siapa pemenangnya? Itu semua kembali pada usaha para pembaca yang budiman. Satu hal yang pasti, siapa yang lebih bersemangat, maka dialah pemenangnya.
Ketiga, mengapa saya menggantinya dengan istilah ’yaum al-rahmah’? jawabannya tentu karena sebagian orang Islam di Indonesia lebih nyaman dengan istilah arab. Kemudian, kata rahmah sendiri identik dengan perbuatan baik pada semua manusia, tanpa membeda-bedakan jenis agama yang dianut. Begitu yang diyakini Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’: 107). Itu berarti peringatan hari kasih sayang ini lebih bersifat universal.

Perang Ideologi
Saat ini Islam lebih banyak dipersepsikan sebagai agama yang keras dan kaku. Islam dinilai jarang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terus berlangsung. Persepsi dan penilaian seperti ini tidak hanya bersumber dari kalangan non-Islam, saudara-saudara muslim tidak sedikit yang memiliki pandangan serupa. Orang yang mengadakan perayaan bertepatan dengan hari valentine dicap mengamalkan perbuatan kafir. Semuanya selalu dikait-kaitkan dengan sejarah valentine itu sendiri.
Semestinya memang budaya yang berasal dari manapun sesuai dengan amanah surat al-Hujurat ayat 6 haruslah diteliti terlebih dahulu. Apakah substansi amalannya sesuai dengan Islam. Idul Fitri adalah hari raya yang bersumber dari Islam, tapi apakah semua perayaan atas nama Idul Fitri bisa dibenarkan dalam Islam? Bagaimana dengan yang merayakannya di pantai-pantai bersama lawan jenis lalu berbuat maksiat?
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6].
Telah banyak analisis menyatakan bahwa ideologi Barat berhasil menjalar masuk ke wilayah pemikiran Islam. Menjamurnya paham liberalisme, pluralisme, sekulerisme, dan isme-isme kebarat-baratan lainnya di dunia Islam ditengarai sebagai wujud nyata dari hal itu. Sayangnya, menurut saya menanggapi fenomena ini umat Islam saat ini lebih banyak berlaku defense (bertahan). Isme-isme tersebut hanya dilawan dengan dalil-dalil dan logika Islam. Untuk membentengi mungkin berhasil, tapi untuk maju tentu akan sangat susah.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurut saya, sudah saatnya perilaku defense yang sudah dilakukan saat ini harus dibarengi dengan paradigma offense (menyerang). Artinya, bentuk perlawanan kita harus semakin ditingkatkan. Bila peperangan ideologi biasanya banyak bermain dalam wilayah teoritis, maka sudah saatnya meningkat pada dataran praktis.
Maksud saya, jangan hanya kita bisa berkata bahwa budaya valentine itu tidak Islami dengan memaparkan keburukan perayaannya. Tapi, kita juga harus bisa menunjukkan bagaimana perayaan valentine yang Islami. Perubahan gradual (tadrijy) yang demikian ini diharapkan juga lebih bisa diterima masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk menghilangkan budaya valentine secara total dengan memfatwakannya sebagai acara yang diharamkan tentu tidak produktif dilakukan. Apalagi bila kemudian terjadi kekerasan akibat fatwa haram tersebut. Sudah pasti bukan itu yang kita inginkan.
Pada dasarnya, hampir pasti dikatakan tidak ada yang menolak upaya untuk mengingatkan kembali pentingnya kasih sayang antar manusia. Bahkan melalui media valentine sekalipun. Hanya saja, mungkin contentnya yang perlu dibicarakan ulang. Mengingat kebiasaan yang sudah berjalan pada acara valentine memang identik dengan kegiatan negatif (maksiat). Itulah kebiasaan yang harus kita rubah.

Epilog
Seorang istri atau suami yang telah lama menikah mungkin sudah rindu ungkapan kasih sayang dari pasangannya. Fakir miskin dan anak yatim piatu bisa jadi bosan menunggu uluran tangan kita hingga ramadlan atau idul fitri tiba. Bahkan, tetangga kita bisa jadi kembali kelaparan setelah lama ditinggal Idul Adha. Kenapa valentine ini tidak dijadikan ajang untuk mengingatkan kita semua bahwa ada banyak orang yang merindukan uluran kasih sayang yang kita miliki? Mari kita tebarkan kasih sayang ini kepada sebanyak-banyak kaum dluafa’ dan orang-orang lain yang membutuhkan. Wallahu a’lam bi al-showab.

KUTEMUKAN KEAGUNGAN-MU DALAM SETIAP KEINDAHAN-MU


Karena keagungan-Mu yang benar-benar agung
Engkau menjadi dzat yang Maha Indah
Dan karena keindahan-Mu yang benar-benar indah
Engkau menjadi dzat yang Maha Agung

(Robit El Firdaus)




اللهم اسألك التوفيق لمحابك من الاعمال وصدق التوكل عليك وحسن الظن بك والغنية عمن سواك . الهى يا لطيف يا رزاق يا ودود يا قوي يا متين اسألك تألها بك واسترزاقا فيك ولطفا شاملا من لدنك ورزقا واسعا هنيئا مريئا و سنا طويلا وعملا صالحا فى الايمان واليقين . وملازمة فى الحق والدين . وعزا وشرفا يبقى ويتأبد لا يشوبه تكبر ولا عتو ولا فساد انك سميع قريب
نقل من دعـاء سيدنا الفقيه المقدم
محمد ابن على باعلوى

Senin, 11 Februari 2008

SUNNI-SYIAH, AYO BERSATU!


Sesungguhnya Abu Hanifah adalah Syi’ah dalam kecendrungan dan pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, Ia melihat bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dan Fatimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.
(Abu Zahrah)

Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah
(Imam Syafi’i)

Membaca Pertarungan ‘Abadi’ dalam Sejarah
Perjalanan sejarah umat Islam mencatat bahwa gerakan Syiah dan Sunni telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan pemikiran Islam. Kedua golongan ini telah dapat memainkan peranan yang cukup besar dalam panggung sejarah Muslim. Bahkan kedua golongan ini bisa disebut memiliki andil yang besar ketika Islam mencapai masa kejayaannya (the golden age). Persoalannya baru muncul, manakala sejarah juga mencatat bahwa pertikaian dan pertentangan kedua golongan ini tampak “abadi” dan seolah-olah dilakukan secara turun temurun. Artinya, bahwa perubahan yang diciptakan kedua golongan ini di satu sisi menghadirkan warna baru bagi perkembangan pemikiran Islam, sedang di sisi lain juga merupakan racun yang mendatangkan malapetaka bagi integritas yang telah diraih umat Islam.
Doktrin kepemimpinan (imamah), keadilan sahabat (‘adalah as-sahabat), dan madzhab fiqih adalah beberapa contoh di antara sekian banyak persoalan yang sering membenturkan Sunni-Syiah. Banyak sekali tokoh-tokoh hebat dari kedua golongan yang syahid karena doktrin-doktrin tersebut. Imam Syafi’i dalam satu riwayat disebutkan pernah diseret dari Hijaz ke Syiria dalam belenggu besi hanya karena ia dicurigai syiah. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq bahkan setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun.
Perkembangan Sunni dan Syiah dalam sejarahnya memang sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah yang berkuasa. Sunni memang sering kali dianggap kelompok yang paling dominan memanfaatkan peluang kekuasaan. Banyak ulama Syiah yang diklaim syahid di tangan penguasa Sunni. Padahal penguasa Syiah dalam sejarahnya juga pernah tercatat melakukan pembunuhan terhadap kelompok non-Syiah. Politik memungkinkan semua hal untuk terjadi. Meski kental aroma politiknya, namun perbedaan doktrin ’ideologi’ yang memang sudah terbangun dengan sangat kuat semakin membuat pertarungan dua golongan ini semakin sulit untuk dihentikan, tidak terkecuali pada realitas dewasa ini.

Sunni-Syiah Bersatu; Menatap Politik Islam Masa Depan
Meski Syiah dalam sejarah sering kali menjadi kelompok yang tersudutkan dan menjadi musuh penguasa, namun sejarah juga mencatat bahwa kaum Syiah juga pernah berkuasa secara mantap dan gemilang sekurang-kurangnya pada dua dinasti. Pertama dinasti Fatimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan masjid universitas Al-Azhar, dan kedua dinasti Shafawiyah di Iran dengan ibu kota Isfahan, konon kota paling indah di muka bumi, yang ikut membuat Iran yang semula Sunni menjadi Syi’i. belum lagi kemenangan revolusi kaum Syiah di Iran yang menurut almarhum Nurcholis Madjid (1989) merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia, yaitu dengan dirasakannya secara nyata kehadiran syi’isme dalam dunia politik Islam.
Kembali eksisnya Syiah di panggung politik ternyata cukup berdampak negatif dalam dunia politik Islam. Negara-negara di timur tengah khususnya, yang mayoritas berpaham Sunni, tampak belum bisa menerima kehadiran mereka secara penuh. Akhirnya, hubungan tidak harmonis antar negara-negara di timur tengah menjadi akibat yang tidak lagi bisa dielakkan. Hubungan Iran dan Irak, Iran dan Arab Saudi, adalah contoh perpecahan tersebut. Platform tauhid seolah tidak mampu menengahi pertikaian yang didasari pada perbedaan paham ini.

Idealnya perbedaan ideologi Sunni-Syiah adalah satu hal yang harus dipandang secara proporsional dan dewasa. Masing-masing golongan harus belajar saling menerima eksistensi kelompok yang lain. Dalam ranah politik, hendaknya kedua golongan ini juga belajar melepaskan diri dari ‘catatan kelam’ politik masa lalu. Tujuannya untuk memperkuat politik Islam menghadapi hegemoni barat dalam dunia politik internasional. Harus diakui, bahwa merealisasikan hal ini tidaklah mudah, mengingat memang sulit untuk melakukan pembicaraan secara terpisah antara teori politik dan doktrin ideologi dalam kajian sejarah pemikiran Islam. Namun, setidaknya dua golongan ini memiliki satu kesamaan politik yang ingin diwujudkan dan bisa menjadi alat pemersatu, yaitu melepaskan diri dari bayang-bayang politik barat (baca: non-Islam).

Bila salah satu penyebab lahirnya Syiah dan pertentangannya dengan Sunni adalah faktor politik, setidaknya demikian yang diisyaratkan oleh Nouruzzaman Shiddiqi (1985), maka mengapa Sunni-Syiah tidak mencoba bersatu melalui politik. Apalagi dalam pembicaraan politik, banyak sekali perbedaan-perbedaan yang bisa dikompromikan. Usaha yang dilakukan oleh presiden Iran Ahmadinejad misalnya, dengan politik anti-Amerika terbukti banyak mendapatkan simpati dari negara Islam dan tokoh-tokoh yang berpaham Sunni. Maka bukan tidak mungkin, bila persatuan Sunni-Syiah yang saat ini sulit terwujud justru disebabkan kekahawatiran dunia barat (baca: Amerika Cs.) terhadap kekuatan politik ini. Sehingga persatuan Sunni-Syiah menjadi agenda yang mereka anggap harus digagalkan.

Oleh karenanya, persatuan kaum muslim di bawah platform tauhid adalah satu hal yang melebihi semua kepentingan dan harus menjadi cita-cita bersama. “muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain”. Akhirnya, mengutip Dr. O Hashem, dalam sebuah buku pembelaannya terhadap kaum syiah, Ia berkata, “Bila dalam sepuluh hal kita berbeda dalam tiga hal, mengapa kita tidak mencoba berjalan bersama-sama di atas tujuh hal yang lain?”. Wallahu A’lam bi ash-Showab. [kang_obit]

Yogyakarta, Januari 2008

SESAT VERSI MUI HANYA SETENGAH-SETENGAH


Fatwa MUI menjadi obyek yang cukup terkenal dalam beberapa tahun terakhir. Ini tidak lepas dari fakta bahwa fatwa MUI sering menimbulkan persoalan. Satu diantaranya yang menyita perhatian adalah fatwa tentang Aliran Ahmadiyah. Fatwa ini dinilai tidak produktif oleh banyak kalangan. Meskipun fatwa ini telah dikeluarkan pada tahun 2005, namun kekerasan terhadap Ahmadiyah terus berlangsung hingga sekarang. Senang tidak senang menurut saya fatwa MUI tersebut cukup memberi kontribusi pada aksi-aksi anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah.
Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad memang bisa menyebabkan seseorang dihukumi murtad dalam Islam. Begitu juga pengakuan adanya Rasul pasca Muhammad. Siapapun bila meyakini kedua hal tersebut layak dihukumi sesat. Hanya saja persoalannya, menurut saya MUI masih setengah-setengah dalam menerapkan konsep murtad sebagaimana ajaran Islam.
Riddah (kemurtadan) dalam Islam tidak hanya terjadi pada orang Islam yang menolak atau merubah doktrin Islam yang bersifat qoth’iy (pasti), namun dia masih mengaku muslim. Kemurtadan juga bisa terjadi pada seseorang yang nyata-nyata keluar dari Islam dan berpindah agama. Itu juga kalau MUI masih mendasarkan ideologinya pada Islam. Lalu apakah Islam tidak mengenal kebebasan beragama?
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
MUI saya sebut setengah-setengah karena definisi sesat hanya MUI tujukan pada orang yang “menghina” Islam dengan mengacaukan doktrin utama dalam Islam. Sementara orang yang jelas-jelas keluar dari Islam sama sekali tidak direspon. Bahkan ada orang yang ngawur berkata, “kalau orang Ahmadiyah keluar dari Islam dan mengaku tidak muslim sih tidak apa-apa”. Itu kan namanya menyarankan orang untuk menjadi murtad. Jelas saja, orang Ahmadiyah tidak mau.
Rumusan kebebasan beragama dalam Islam seperti yang saya utarakan berbeda dengan konsep HAM Barat. Article 18 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”. Bandingkan dengan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” yang menyatakan: “Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.”
Kecuali tunduk pada aturan HAM versi Barat, maka seharusnya MUI juga mengutuk orang Islam yang berpindah agama. Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum bunuh bagi orang yang yang beralih agama (murtad). Tentu saya bukan menyarankan untuk menerapkan hukuman tersebut, karena ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya. Saya hanya ingin menunjukkan keseriusan Islam menyikapi kesucian ajaran-ajarannya. Bila diukur dari segi kualitas, kesesatan orang yang nyata-nyata keluar dari Islam tentu lebih besar dari pada orang Ahmadiyah.
Indonesia sendiri, dalam pandangan saya tampaknya lebih condong kepada aturan HAM versi barat. Di sini saya tidak akan berdebat tentang posisi Indonesia sebagai sebuah Negara dalam kaca mata Islam. Saya hanya ingin mengembalikan MUI pada posisi yang seharusnya. Usaha preventif melalui pembinaan umat Islam tetap harus terus diutamakan. Namun, pemberian kecaman –seperti yang dilakukan pada Ahmadiyah- juga harus dilakukan. Hal ini penting untuk pemberian efek “special deterrence” (pencegahan khusus, agar pelakunya kapok dan bertaubat) dan “general deterrence” (pencegahan umum, agar masyarakat tidak ikut-ikutan).
Kalaupun memang harus berlawanan dengan penguasa, menurut saya kebenaran Islam tetap harus disuarakan. Jangan setengah-setengah. Persoalan ditanggapi atau tidak oleh penguasa, itu sudah di luar kewajiban MUI. Bahkan kalau boleh saya mengutip Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, ia menyebutkan bahwa MUI hendaknya bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.
Buya Hamka, ketua pertama MUI telah mencontohkan keteguhannya pada ajaran Islam. Ia berani mundur dari jabatan ketua MUI karena keyakinannya mengharamkan perayaan natal bersama ditentang oleh pemerintah. Ia tidak mau tunduk pada penguasa bila bertentangan dengan ajaran Islam. Ia meniru keberanian Ibnu Taymiah dan ulama-ulama madzhab dalam berhadapan dengan penguasa. Sekarang, masih adakah penerus perjuangan Buya Hamka di MUI…………. [kang_obit]


Yogyakarta, Februari 2008

CORAK KEISLAMAN DI INDONESIA; MENGAMATI SEPAK TERJANG PEMBELA SYARIAH


Dalam sebuah artikelnya “Religon and The Indonesian constitution; Recent Debate” (2005), Nadirsyah Hosen menganggap bahwa pendekatan Islam Substantif masih menjadi corak keislaman Indonesia. Kesimpulan tersebut Ia ambil setelah melihat fakta bahwa ternyata perjuangan memasukkan tujuh kata “berbau syariat formalistik” dalam konstitusi Indonesia menuai kegagalan. Tujuh kata yang berbunyi ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya’ yang diusulkan partai-partai berbasis Islam diamasukkan dalam pasal 29 ditolak parlemen.
Partai-partai seperti PPP, PBB, maupun PKS yang membawa misi tersebut menurut Hosen ingin menjadikan syariah sebagi satu-satunya sumber hukum di Indonesia (bagi umat Islam). Ini yang tidak masuk akal. Menurut Hosen, akan lebih bisa diterima kalau syariah hanya dijadikan salah satu sumber hukum Indonesia, layaknya hukum adat. Artinya bahwa hukum belanda, hukum adat, dan hukum Islam disejajarkan sebagai tiga komponen hukum Indonesia. Usulan yang lebih masuk akal ini pun juga masih belum tentu bisa diterima
Sejauh hubungan Islam dan Negara, dalam pemahaman saya, ada tiga corak kelompok yang bersilang pendapat: pertama, kelompok yang beranggapan syariah Islam adalah agama yang syamil (mencakup semua hal) dan kamil (sempurna ajarannya). Kelompok ini meyakini bahwa Islam memiliki aturan baku yang lengkap untuk modal penyelenggaraan sebuah Negara. Aturan itu bisa dipahami langsung dari teks al-Quran ataupun sejarah kepemimpinan Rasulullah di Madinah yang mereka anggap sebagai representasi Negara Islam. Sehingga bagi kelompok ini tidak ada alasan untuk tidak menjadikan syariah Islam sebagai sau-satunya sumber hukum dalam pengelolaan Negara. Kelompok ini diantaranya didukung oleh pemikiran Abul a’la al-Maududi dan Hizbut Tahrir.
Kedua, kelompok yang sama sekali ingin memisahkan peran agama dan Negara. Kelompok seperti ini biasa disbut dengan kelompok sekuler. Bagi mereka, kesepakatan penggunaan jenis konstitusi Negara harus disepakati oleh seluruh masyarakat. Kesepakatan itu juga harus terlepas dari pengaruh agama yang melekat pada diri masyarakat tersebut. Agar lebih obyektif, doktrin-dokrin agama harus dilepas dari pengambilan keputusan tentang mana yang baik dan mana yang tidak. Artinya doktrin Agama harus ditanggalkan dalam diskusi mengenai Negara. Pemikiran seperti ini menurut saya tidak jauh dari pemikiran Abdullahi Ahmad an-naim.
Kelompok ketiga, kelompok Islam substantif. Kelompok ini meyakini Islam telah memiliki ajaran-ajaran pokok yang bisa diterapkan secara umum dalam sebuah Negara. Ajaran pokok ini berasal dari hasil induksi nash. Dalam istilah Islam liberal biasa dikenal dengan istilah nash umum atau nash non-verbal. Ajaran-ajaran tersebut seperti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Kelompok ini yang menurut Hosen menjadi favorit di Indonesia.
Setidaknya, kesimpulan yang diambil Hosen juga bisa dimaknai sebagai pemahamannya terhadap peran Islam dalam publik. Menurut saya, walaupun kemudian Islam melalui syariahnya tidak menjadi konstitusi Indonesia, namun bukan berarti Islam sama sekali tidak berperan dalam wilayah publik (public sphere). Justru disinilah menurut saya wilayah Islam bermain. Artinya selama dalam konstelasi politik elit, saya rasa benar kalau Islam sunstantif masih dominan. Itu menurut saya tidak lepas dari komposisi partai yang duduk di parlemen. Meski, mayoritas beragama Islam, namum umumnya mereka nasionalis, sehingga sangat beralasan kalau Islam substanif menjadi favorit.
Yang menarik menurut saya adalah justru pertarungan kepentingan ‘syariah’ dan ‘non-syariah’ di tingkat daerah. Untuk wilayah ini,saya rasa kesimpulan dari Hosen bahwa Islam substanif menjadi favorit tampaknya tidak bisa digunakan. Fakta bahwa ‘syariah’ gagal masuk konstitusi Negara memang tidak bisa kita pungkiri. Sebaliknya, bahwa ‘syariah’ telah berhasil masuk dalam bentuk Perda juga sebuah fakta yang harus diterima, apapun alasannya. Inilah yang semakin memperkuat asumsi saya bahwa pada wilayah ruang publik, ‘syariah’ masih punya cukup tenaga untuk bersuara lantang.
Ini juga membuktikan bahwa perjuangan memasukkan ‘syariah’ formalistik dalam konstitusi sebagaimana dilakukan oleh PKS Cs memiliki basis dukungan dari bawah. Salah kalau orang beranggapan keinginan untuk memperjuangkan syariah bersumber dari segelintir orang yang elitis saja. Lalu bukankah kekuasan pembuatan Perda berada di tangan Bupati atau DPRD setempat (kaum elit)? Jawabannya benar. Namun, bukankah mereka juga dipilih rakyat? Artinya,kita juga tidak bisa memungkiri mereka sebagai representasi dari rakyat. Dan yang penting menurut saya, secara logika dapat dikatakan bahwa tingkat representasi rakyat di tingkat daerah jauh lebih besar dari pada yang ada di parlemen pusat.
Sejauh perubahan terhadap konstiusi juga dilakukan dengan konsitusional, saya rasa itu cukup fair untuk dilakukan. Kalaupun ada yang salah dengan peraturan undang-undang, bukankah kita punya Mahkamah Konstiusi untuk menilai. Saya kira pejuang syariah tetap akan terus menabuh gendering peperangannya. Apalagi mereka tidak hanya melakukanya melalui jalur politik, tapi juga non-politik seperi Hizbut Tahrir. Bagi saya, masing-masing jalur memiliki kelemahan dan kelebihan. Fakta banyak kalangan akademisi juga menjadi pejuang syariah saya rasa cukup menarik untuk dicermati, gerakan intelektual yang mereka lakukan bisa jadi indikasi dari kebangkitan perjuangan penegakan ‘syariah’
Saya bukan berarti pendukung syariah. Bagi saya, biarkan publik yang menilai itu semua. Publik sudah cukup cerdas unuk memilih yang terbaik. Dalam bahasa An-naim biasa disebut dengan dialog internal kebudayaan. Kita lihat saja bagaimana diskusi-diskusi itu berlanjut. Tidak hanya dalam wilayah akademik, tapi mungkin juga di warung-warung kopi, café, ataupun angkringan (kaki lima khas yogya), setidaknya demikian yang saya pahami dari konsep public sphere ala Habermas. [kang_obit]

Yogyakarta, 1 Februari 2008