Senin, 11 Februari 2008

SESAT VERSI MUI HANYA SETENGAH-SETENGAH


Fatwa MUI menjadi obyek yang cukup terkenal dalam beberapa tahun terakhir. Ini tidak lepas dari fakta bahwa fatwa MUI sering menimbulkan persoalan. Satu diantaranya yang menyita perhatian adalah fatwa tentang Aliran Ahmadiyah. Fatwa ini dinilai tidak produktif oleh banyak kalangan. Meskipun fatwa ini telah dikeluarkan pada tahun 2005, namun kekerasan terhadap Ahmadiyah terus berlangsung hingga sekarang. Senang tidak senang menurut saya fatwa MUI tersebut cukup memberi kontribusi pada aksi-aksi anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah.
Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad memang bisa menyebabkan seseorang dihukumi murtad dalam Islam. Begitu juga pengakuan adanya Rasul pasca Muhammad. Siapapun bila meyakini kedua hal tersebut layak dihukumi sesat. Hanya saja persoalannya, menurut saya MUI masih setengah-setengah dalam menerapkan konsep murtad sebagaimana ajaran Islam.
Riddah (kemurtadan) dalam Islam tidak hanya terjadi pada orang Islam yang menolak atau merubah doktrin Islam yang bersifat qoth’iy (pasti), namun dia masih mengaku muslim. Kemurtadan juga bisa terjadi pada seseorang yang nyata-nyata keluar dari Islam dan berpindah agama. Itu juga kalau MUI masih mendasarkan ideologinya pada Islam. Lalu apakah Islam tidak mengenal kebebasan beragama?
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
MUI saya sebut setengah-setengah karena definisi sesat hanya MUI tujukan pada orang yang “menghina” Islam dengan mengacaukan doktrin utama dalam Islam. Sementara orang yang jelas-jelas keluar dari Islam sama sekali tidak direspon. Bahkan ada orang yang ngawur berkata, “kalau orang Ahmadiyah keluar dari Islam dan mengaku tidak muslim sih tidak apa-apa”. Itu kan namanya menyarankan orang untuk menjadi murtad. Jelas saja, orang Ahmadiyah tidak mau.
Rumusan kebebasan beragama dalam Islam seperti yang saya utarakan berbeda dengan konsep HAM Barat. Article 18 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”. Bandingkan dengan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” yang menyatakan: “Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.”
Kecuali tunduk pada aturan HAM versi Barat, maka seharusnya MUI juga mengutuk orang Islam yang berpindah agama. Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum bunuh bagi orang yang yang beralih agama (murtad). Tentu saya bukan menyarankan untuk menerapkan hukuman tersebut, karena ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya. Saya hanya ingin menunjukkan keseriusan Islam menyikapi kesucian ajaran-ajarannya. Bila diukur dari segi kualitas, kesesatan orang yang nyata-nyata keluar dari Islam tentu lebih besar dari pada orang Ahmadiyah.
Indonesia sendiri, dalam pandangan saya tampaknya lebih condong kepada aturan HAM versi barat. Di sini saya tidak akan berdebat tentang posisi Indonesia sebagai sebuah Negara dalam kaca mata Islam. Saya hanya ingin mengembalikan MUI pada posisi yang seharusnya. Usaha preventif melalui pembinaan umat Islam tetap harus terus diutamakan. Namun, pemberian kecaman –seperti yang dilakukan pada Ahmadiyah- juga harus dilakukan. Hal ini penting untuk pemberian efek “special deterrence” (pencegahan khusus, agar pelakunya kapok dan bertaubat) dan “general deterrence” (pencegahan umum, agar masyarakat tidak ikut-ikutan).
Kalaupun memang harus berlawanan dengan penguasa, menurut saya kebenaran Islam tetap harus disuarakan. Jangan setengah-setengah. Persoalan ditanggapi atau tidak oleh penguasa, itu sudah di luar kewajiban MUI. Bahkan kalau boleh saya mengutip Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, ia menyebutkan bahwa MUI hendaknya bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.
Buya Hamka, ketua pertama MUI telah mencontohkan keteguhannya pada ajaran Islam. Ia berani mundur dari jabatan ketua MUI karena keyakinannya mengharamkan perayaan natal bersama ditentang oleh pemerintah. Ia tidak mau tunduk pada penguasa bila bertentangan dengan ajaran Islam. Ia meniru keberanian Ibnu Taymiah dan ulama-ulama madzhab dalam berhadapan dengan penguasa. Sekarang, masih adakah penerus perjuangan Buya Hamka di MUI…………. [kang_obit]


Yogyakarta, Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar