Selasa, 12 Februari 2008

MERAYAKAN VALENTINE ALA ISLAM

Dari Valentine Ke Yaum al-Rahmah
Tampaknya dalam tulisan ini, saya tidak perlu lagi menjelaskan apa dan bagaimana sejarah valentine. Pembaca sekalian sudah hampir pasti pernah mendapatkannya dari suguhan penulis lain. Versinya bisa beragam, namun pada umumnya mayoritas penulis, terutama yang muslim, mengidentikkan hari valentine dengan budaya barat. Tidak salah memang bila kita melihat suatu budaya berangkat dari mana kebudayaan tersebut muncul dan berkembang. Persoalannya adalah, apakah semua yang dari Barat pasti identik dengan keburukan? Saya yakin semua akan menjawab tidak. Buktinya kita begitu nyaman menggunakan banyak produk barat dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk saya dalam penulisan artikel ini.
Melalui media ini, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa yang Islami itu tidak hanya bisa ada di Jazirah Arab atau Indonesia dengan populasi muslim terbesar. Dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa Barat lebih bisa mengaplikasikan ”nilai-nilai Islam” dari pada kita. Permasalahan mendapat pahala atau tidak, itu sudah bukan wilayah kita lagi untuk menjawab. Yang pasti saya yakin kita sepakat dengan ungkapan yang sering dikutip Tukul, ”don’t judge a book by it’s cover” (jangan lihat tampang luarnya saja). Saya bukan beranggapan sampul tidak penting, tapi maksudnya ada yang lebih berharga untuk dianalisis dari sekedar memperdebatkan baju luarnya.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Ajaran untuk mengasihi sesama makhluk Allah bisa dengan mudah kita dapatkan dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Tapi mengapa kita tidak bisa mengejawantahkannya dengan maksimal? Setiap pribadi pasti memiliki jawaban masing-masing. Saya sempat berpikir kenapa kita tidak menjadikan valentine ini sebagai peringatan hari ’kasih sayang’ dalam makna yang positif. Kalapun toh para pembaca sekalian tidak sepakat dengan istilah valentine, ya kita ganti saja dengan nama ’yaum al-rahmah’ (hari kasing sayang). Pemikiran saya ini tentu akan melahirkan beberapa pertanyaan dan keraguan.
Pertama, Islam tidak pernah membatasi waktu untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, lalu mengapa seolah-olah ada waktu yang spesial? Yang saya maksud bukan demikian. Hari-hari spesial dalam Islam sudah ditentukan oleh nash. Jawaban pertanyaan itu akan saya jawab dengan pertanyaan serupa. Islam mewajibkan kita untuk menghormati seorang Ibu tanpa membatasi waktu, lalu mengapa ada hari Ibu? Apakah itu berarti hormat kepada Ibu hanya dianjurkan saat hari Ibu saja? Jawabannya sama saja. Media adanya peringatan tersebut hanyalah sebagai ajang mengingatkan kembali dan memperkuat ajaran Islam yang seharusnya bisa dipraktekkan kaum Muslim.
Kedua, bukankah valentine identik dengan budaya maksiat? Jawaban saya ya. Pertunjukan wayang dan gamelan pada masa awal Islam di Indonesia juga identik dengan budaya non-Islam. Tapi, justru dari modal itu dakwah Sunan kalijaga banyak berhasil menaklukkan hati masyarakat. Maksud saya adalah mengapa pada tanggal 14 Februari kita tidak berjihad melawan budaya Barat yang penuh maksiat dengan pedang budaya Islam. Bila sebagian orang pada hari itu sibuk mencari hadiah buat lawan jenis sebagai langkah dan modal awal berbuat maksiat, mengapa kita tidak menandinginya dengan sibuk mencari hadiah untuk di bawa ke panti-panti asuhan, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Dengan demikian, akan terjadi pertarungan dua kebiasaan yang bertolak belakang pada saat itu. Siapa pemenangnya? Itu semua kembali pada usaha para pembaca yang budiman. Satu hal yang pasti, siapa yang lebih bersemangat, maka dialah pemenangnya.
Ketiga, mengapa saya menggantinya dengan istilah ’yaum al-rahmah’? jawabannya tentu karena sebagian orang Islam di Indonesia lebih nyaman dengan istilah arab. Kemudian, kata rahmah sendiri identik dengan perbuatan baik pada semua manusia, tanpa membeda-bedakan jenis agama yang dianut. Begitu yang diyakini Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’: 107). Itu berarti peringatan hari kasih sayang ini lebih bersifat universal.

Perang Ideologi
Saat ini Islam lebih banyak dipersepsikan sebagai agama yang keras dan kaku. Islam dinilai jarang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terus berlangsung. Persepsi dan penilaian seperti ini tidak hanya bersumber dari kalangan non-Islam, saudara-saudara muslim tidak sedikit yang memiliki pandangan serupa. Orang yang mengadakan perayaan bertepatan dengan hari valentine dicap mengamalkan perbuatan kafir. Semuanya selalu dikait-kaitkan dengan sejarah valentine itu sendiri.
Semestinya memang budaya yang berasal dari manapun sesuai dengan amanah surat al-Hujurat ayat 6 haruslah diteliti terlebih dahulu. Apakah substansi amalannya sesuai dengan Islam. Idul Fitri adalah hari raya yang bersumber dari Islam, tapi apakah semua perayaan atas nama Idul Fitri bisa dibenarkan dalam Islam? Bagaimana dengan yang merayakannya di pantai-pantai bersama lawan jenis lalu berbuat maksiat?
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6].
Telah banyak analisis menyatakan bahwa ideologi Barat berhasil menjalar masuk ke wilayah pemikiran Islam. Menjamurnya paham liberalisme, pluralisme, sekulerisme, dan isme-isme kebarat-baratan lainnya di dunia Islam ditengarai sebagai wujud nyata dari hal itu. Sayangnya, menurut saya menanggapi fenomena ini umat Islam saat ini lebih banyak berlaku defense (bertahan). Isme-isme tersebut hanya dilawan dengan dalil-dalil dan logika Islam. Untuk membentengi mungkin berhasil, tapi untuk maju tentu akan sangat susah.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurut saya, sudah saatnya perilaku defense yang sudah dilakukan saat ini harus dibarengi dengan paradigma offense (menyerang). Artinya, bentuk perlawanan kita harus semakin ditingkatkan. Bila peperangan ideologi biasanya banyak bermain dalam wilayah teoritis, maka sudah saatnya meningkat pada dataran praktis.
Maksud saya, jangan hanya kita bisa berkata bahwa budaya valentine itu tidak Islami dengan memaparkan keburukan perayaannya. Tapi, kita juga harus bisa menunjukkan bagaimana perayaan valentine yang Islami. Perubahan gradual (tadrijy) yang demikian ini diharapkan juga lebih bisa diterima masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk menghilangkan budaya valentine secara total dengan memfatwakannya sebagai acara yang diharamkan tentu tidak produktif dilakukan. Apalagi bila kemudian terjadi kekerasan akibat fatwa haram tersebut. Sudah pasti bukan itu yang kita inginkan.
Pada dasarnya, hampir pasti dikatakan tidak ada yang menolak upaya untuk mengingatkan kembali pentingnya kasih sayang antar manusia. Bahkan melalui media valentine sekalipun. Hanya saja, mungkin contentnya yang perlu dibicarakan ulang. Mengingat kebiasaan yang sudah berjalan pada acara valentine memang identik dengan kegiatan negatif (maksiat). Itulah kebiasaan yang harus kita rubah.

Epilog
Seorang istri atau suami yang telah lama menikah mungkin sudah rindu ungkapan kasih sayang dari pasangannya. Fakir miskin dan anak yatim piatu bisa jadi bosan menunggu uluran tangan kita hingga ramadlan atau idul fitri tiba. Bahkan, tetangga kita bisa jadi kembali kelaparan setelah lama ditinggal Idul Adha. Kenapa valentine ini tidak dijadikan ajang untuk mengingatkan kita semua bahwa ada banyak orang yang merindukan uluran kasih sayang yang kita miliki? Mari kita tebarkan kasih sayang ini kepada sebanyak-banyak kaum dluafa’ dan orang-orang lain yang membutuhkan. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar