Jawa pos hari ini merilis kalau Mahfudz MD beberapa kali menolak upaya orang luar untuk memaksanya melakukan suap. "Lebih baik saya ga jadi (hakim MK), dari pada melakukan itu (suap)", begitu kata Mahfudz.
Ada berapa sih pejabat negara seperti Mahfudz? Pasti cukup mudah menghitungnya. Bukan karena orangnya mudah ditebak, tapi pasti karena orang seperti Mahfudz cukup sedikit. Saking parahnya, Negara ini sampai susah membedakan mana yang hadiah dan mana yang suap. Akhirnya sebagai usaha preventif, hadiah lebaran (parsel) pun dihukumi menjadi sesuatu yang haram diterima dan dikirim oleh pejabat negara.
Menurut saya, maraknya kasus korupsi atau suap semacam ini karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Aturannya saya yakin sudah tersusun sangat rapi dan apik, tapi pelaksanaannya seringkali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Pernah tidak Indonesia menghukum mati Koruptor? Jawabannya belum pernah. Bukan landasan hukumnya tidak ada, tapi karena proses hukum bagi para koruptor justru dilakukan oleh para koruptor juga. Nah, Jadi susah dan mbulet kan?
Lembaga peradilan diduga saat ini menjadi sarang nyaman bagi para mafia peradilan yang statusnya sama saja dengan koruptor. Lalu mana mungkin ada hasil persidangan yang berjalan ideal dan adil? Bahkan terkadang, keluarga maling ayam yang tertangkap dan diadili masih tega juga untuk diperas. Jadi jangan heran kalau kalangan The Have bisa santai-santai saja menghadapi kesalahan seberat apapun. Seolah-olah semuanya bisa diatur dengan rupiah.
Toh pun kalangan The Have ini tertangkap, kemudian masuk penjara, bukan berarti mereka sangat bersedih. Apa yang tidak bisa mereka beli di penjara. Asalkan punya banyak rupiah, penjara seolah menjadi rumah kedua bagi penjahat berduit ini. Ya Allah maafkanlah dosa bangsamu ini. Amin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar