Senin, 11 Februari 2008

CORAK KEISLAMAN DI INDONESIA; MENGAMATI SEPAK TERJANG PEMBELA SYARIAH


Dalam sebuah artikelnya “Religon and The Indonesian constitution; Recent Debate” (2005), Nadirsyah Hosen menganggap bahwa pendekatan Islam Substantif masih menjadi corak keislaman Indonesia. Kesimpulan tersebut Ia ambil setelah melihat fakta bahwa ternyata perjuangan memasukkan tujuh kata “berbau syariat formalistik” dalam konstitusi Indonesia menuai kegagalan. Tujuh kata yang berbunyi ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya’ yang diusulkan partai-partai berbasis Islam diamasukkan dalam pasal 29 ditolak parlemen.
Partai-partai seperti PPP, PBB, maupun PKS yang membawa misi tersebut menurut Hosen ingin menjadikan syariah sebagi satu-satunya sumber hukum di Indonesia (bagi umat Islam). Ini yang tidak masuk akal. Menurut Hosen, akan lebih bisa diterima kalau syariah hanya dijadikan salah satu sumber hukum Indonesia, layaknya hukum adat. Artinya bahwa hukum belanda, hukum adat, dan hukum Islam disejajarkan sebagai tiga komponen hukum Indonesia. Usulan yang lebih masuk akal ini pun juga masih belum tentu bisa diterima
Sejauh hubungan Islam dan Negara, dalam pemahaman saya, ada tiga corak kelompok yang bersilang pendapat: pertama, kelompok yang beranggapan syariah Islam adalah agama yang syamil (mencakup semua hal) dan kamil (sempurna ajarannya). Kelompok ini meyakini bahwa Islam memiliki aturan baku yang lengkap untuk modal penyelenggaraan sebuah Negara. Aturan itu bisa dipahami langsung dari teks al-Quran ataupun sejarah kepemimpinan Rasulullah di Madinah yang mereka anggap sebagai representasi Negara Islam. Sehingga bagi kelompok ini tidak ada alasan untuk tidak menjadikan syariah Islam sebagai sau-satunya sumber hukum dalam pengelolaan Negara. Kelompok ini diantaranya didukung oleh pemikiran Abul a’la al-Maududi dan Hizbut Tahrir.
Kedua, kelompok yang sama sekali ingin memisahkan peran agama dan Negara. Kelompok seperti ini biasa disbut dengan kelompok sekuler. Bagi mereka, kesepakatan penggunaan jenis konstitusi Negara harus disepakati oleh seluruh masyarakat. Kesepakatan itu juga harus terlepas dari pengaruh agama yang melekat pada diri masyarakat tersebut. Agar lebih obyektif, doktrin-dokrin agama harus dilepas dari pengambilan keputusan tentang mana yang baik dan mana yang tidak. Artinya doktrin Agama harus ditanggalkan dalam diskusi mengenai Negara. Pemikiran seperti ini menurut saya tidak jauh dari pemikiran Abdullahi Ahmad an-naim.
Kelompok ketiga, kelompok Islam substantif. Kelompok ini meyakini Islam telah memiliki ajaran-ajaran pokok yang bisa diterapkan secara umum dalam sebuah Negara. Ajaran pokok ini berasal dari hasil induksi nash. Dalam istilah Islam liberal biasa dikenal dengan istilah nash umum atau nash non-verbal. Ajaran-ajaran tersebut seperti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Kelompok ini yang menurut Hosen menjadi favorit di Indonesia.
Setidaknya, kesimpulan yang diambil Hosen juga bisa dimaknai sebagai pemahamannya terhadap peran Islam dalam publik. Menurut saya, walaupun kemudian Islam melalui syariahnya tidak menjadi konstitusi Indonesia, namun bukan berarti Islam sama sekali tidak berperan dalam wilayah publik (public sphere). Justru disinilah menurut saya wilayah Islam bermain. Artinya selama dalam konstelasi politik elit, saya rasa benar kalau Islam sunstantif masih dominan. Itu menurut saya tidak lepas dari komposisi partai yang duduk di parlemen. Meski, mayoritas beragama Islam, namum umumnya mereka nasionalis, sehingga sangat beralasan kalau Islam substanif menjadi favorit.
Yang menarik menurut saya adalah justru pertarungan kepentingan ‘syariah’ dan ‘non-syariah’ di tingkat daerah. Untuk wilayah ini,saya rasa kesimpulan dari Hosen bahwa Islam substanif menjadi favorit tampaknya tidak bisa digunakan. Fakta bahwa ‘syariah’ gagal masuk konstitusi Negara memang tidak bisa kita pungkiri. Sebaliknya, bahwa ‘syariah’ telah berhasil masuk dalam bentuk Perda juga sebuah fakta yang harus diterima, apapun alasannya. Inilah yang semakin memperkuat asumsi saya bahwa pada wilayah ruang publik, ‘syariah’ masih punya cukup tenaga untuk bersuara lantang.
Ini juga membuktikan bahwa perjuangan memasukkan ‘syariah’ formalistik dalam konstitusi sebagaimana dilakukan oleh PKS Cs memiliki basis dukungan dari bawah. Salah kalau orang beranggapan keinginan untuk memperjuangkan syariah bersumber dari segelintir orang yang elitis saja. Lalu bukankah kekuasan pembuatan Perda berada di tangan Bupati atau DPRD setempat (kaum elit)? Jawabannya benar. Namun, bukankah mereka juga dipilih rakyat? Artinya,kita juga tidak bisa memungkiri mereka sebagai representasi dari rakyat. Dan yang penting menurut saya, secara logika dapat dikatakan bahwa tingkat representasi rakyat di tingkat daerah jauh lebih besar dari pada yang ada di parlemen pusat.
Sejauh perubahan terhadap konstiusi juga dilakukan dengan konsitusional, saya rasa itu cukup fair untuk dilakukan. Kalaupun ada yang salah dengan peraturan undang-undang, bukankah kita punya Mahkamah Konstiusi untuk menilai. Saya kira pejuang syariah tetap akan terus menabuh gendering peperangannya. Apalagi mereka tidak hanya melakukanya melalui jalur politik, tapi juga non-politik seperi Hizbut Tahrir. Bagi saya, masing-masing jalur memiliki kelemahan dan kelebihan. Fakta banyak kalangan akademisi juga menjadi pejuang syariah saya rasa cukup menarik untuk dicermati, gerakan intelektual yang mereka lakukan bisa jadi indikasi dari kebangkitan perjuangan penegakan ‘syariah’
Saya bukan berarti pendukung syariah. Bagi saya, biarkan publik yang menilai itu semua. Publik sudah cukup cerdas unuk memilih yang terbaik. Dalam bahasa An-naim biasa disebut dengan dialog internal kebudayaan. Kita lihat saja bagaimana diskusi-diskusi itu berlanjut. Tidak hanya dalam wilayah akademik, tapi mungkin juga di warung-warung kopi, café, ataupun angkringan (kaki lima khas yogya), setidaknya demikian yang saya pahami dari konsep public sphere ala Habermas. [kang_obit]

Yogyakarta, 1 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar