Senin, 11 Februari 2008

SUNNI-SYIAH, AYO BERSATU!


Sesungguhnya Abu Hanifah adalah Syi’ah dalam kecendrungan dan pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, Ia melihat bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dan Fatimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.
(Abu Zahrah)

Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah
(Imam Syafi’i)

Membaca Pertarungan ‘Abadi’ dalam Sejarah
Perjalanan sejarah umat Islam mencatat bahwa gerakan Syiah dan Sunni telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan pemikiran Islam. Kedua golongan ini telah dapat memainkan peranan yang cukup besar dalam panggung sejarah Muslim. Bahkan kedua golongan ini bisa disebut memiliki andil yang besar ketika Islam mencapai masa kejayaannya (the golden age). Persoalannya baru muncul, manakala sejarah juga mencatat bahwa pertikaian dan pertentangan kedua golongan ini tampak “abadi” dan seolah-olah dilakukan secara turun temurun. Artinya, bahwa perubahan yang diciptakan kedua golongan ini di satu sisi menghadirkan warna baru bagi perkembangan pemikiran Islam, sedang di sisi lain juga merupakan racun yang mendatangkan malapetaka bagi integritas yang telah diraih umat Islam.
Doktrin kepemimpinan (imamah), keadilan sahabat (‘adalah as-sahabat), dan madzhab fiqih adalah beberapa contoh di antara sekian banyak persoalan yang sering membenturkan Sunni-Syiah. Banyak sekali tokoh-tokoh hebat dari kedua golongan yang syahid karena doktrin-doktrin tersebut. Imam Syafi’i dalam satu riwayat disebutkan pernah diseret dari Hijaz ke Syiria dalam belenggu besi hanya karena ia dicurigai syiah. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq bahkan setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun.
Perkembangan Sunni dan Syiah dalam sejarahnya memang sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah yang berkuasa. Sunni memang sering kali dianggap kelompok yang paling dominan memanfaatkan peluang kekuasaan. Banyak ulama Syiah yang diklaim syahid di tangan penguasa Sunni. Padahal penguasa Syiah dalam sejarahnya juga pernah tercatat melakukan pembunuhan terhadap kelompok non-Syiah. Politik memungkinkan semua hal untuk terjadi. Meski kental aroma politiknya, namun perbedaan doktrin ’ideologi’ yang memang sudah terbangun dengan sangat kuat semakin membuat pertarungan dua golongan ini semakin sulit untuk dihentikan, tidak terkecuali pada realitas dewasa ini.

Sunni-Syiah Bersatu; Menatap Politik Islam Masa Depan
Meski Syiah dalam sejarah sering kali menjadi kelompok yang tersudutkan dan menjadi musuh penguasa, namun sejarah juga mencatat bahwa kaum Syiah juga pernah berkuasa secara mantap dan gemilang sekurang-kurangnya pada dua dinasti. Pertama dinasti Fatimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan masjid universitas Al-Azhar, dan kedua dinasti Shafawiyah di Iran dengan ibu kota Isfahan, konon kota paling indah di muka bumi, yang ikut membuat Iran yang semula Sunni menjadi Syi’i. belum lagi kemenangan revolusi kaum Syiah di Iran yang menurut almarhum Nurcholis Madjid (1989) merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia, yaitu dengan dirasakannya secara nyata kehadiran syi’isme dalam dunia politik Islam.
Kembali eksisnya Syiah di panggung politik ternyata cukup berdampak negatif dalam dunia politik Islam. Negara-negara di timur tengah khususnya, yang mayoritas berpaham Sunni, tampak belum bisa menerima kehadiran mereka secara penuh. Akhirnya, hubungan tidak harmonis antar negara-negara di timur tengah menjadi akibat yang tidak lagi bisa dielakkan. Hubungan Iran dan Irak, Iran dan Arab Saudi, adalah contoh perpecahan tersebut. Platform tauhid seolah tidak mampu menengahi pertikaian yang didasari pada perbedaan paham ini.

Idealnya perbedaan ideologi Sunni-Syiah adalah satu hal yang harus dipandang secara proporsional dan dewasa. Masing-masing golongan harus belajar saling menerima eksistensi kelompok yang lain. Dalam ranah politik, hendaknya kedua golongan ini juga belajar melepaskan diri dari ‘catatan kelam’ politik masa lalu. Tujuannya untuk memperkuat politik Islam menghadapi hegemoni barat dalam dunia politik internasional. Harus diakui, bahwa merealisasikan hal ini tidaklah mudah, mengingat memang sulit untuk melakukan pembicaraan secara terpisah antara teori politik dan doktrin ideologi dalam kajian sejarah pemikiran Islam. Namun, setidaknya dua golongan ini memiliki satu kesamaan politik yang ingin diwujudkan dan bisa menjadi alat pemersatu, yaitu melepaskan diri dari bayang-bayang politik barat (baca: non-Islam).

Bila salah satu penyebab lahirnya Syiah dan pertentangannya dengan Sunni adalah faktor politik, setidaknya demikian yang diisyaratkan oleh Nouruzzaman Shiddiqi (1985), maka mengapa Sunni-Syiah tidak mencoba bersatu melalui politik. Apalagi dalam pembicaraan politik, banyak sekali perbedaan-perbedaan yang bisa dikompromikan. Usaha yang dilakukan oleh presiden Iran Ahmadinejad misalnya, dengan politik anti-Amerika terbukti banyak mendapatkan simpati dari negara Islam dan tokoh-tokoh yang berpaham Sunni. Maka bukan tidak mungkin, bila persatuan Sunni-Syiah yang saat ini sulit terwujud justru disebabkan kekahawatiran dunia barat (baca: Amerika Cs.) terhadap kekuatan politik ini. Sehingga persatuan Sunni-Syiah menjadi agenda yang mereka anggap harus digagalkan.

Oleh karenanya, persatuan kaum muslim di bawah platform tauhid adalah satu hal yang melebihi semua kepentingan dan harus menjadi cita-cita bersama. “muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain”. Akhirnya, mengutip Dr. O Hashem, dalam sebuah buku pembelaannya terhadap kaum syiah, Ia berkata, “Bila dalam sepuluh hal kita berbeda dalam tiga hal, mengapa kita tidak mencoba berjalan bersama-sama di atas tujuh hal yang lain?”. Wallahu A’lam bi ash-Showab. [kang_obit]

Yogyakarta, Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar