Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)
Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan.
Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)
Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?
Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.
Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.
Definisi
Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.
Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.
Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”
Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.
Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)
Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)
Istilah bencana alam
Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.
Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku).
Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.
Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu. (Kompas, 28/02/08)
Kamis, 28 Februari 2008
Selasa, 26 Februari 2008
Kyai dan Pilgub Jatim
Beberapa hari ini dan tampaknya juga akan berlanjut pada hari-hari ke depan, Jatim heboh menyambut Pilgub. Sebenarnya kehebohan seperti ini sudah biasa menjelang Pilgub di daerah manapun. Apalagi dengan sistem langsung seperti saat ini. Tapi tentu Jatim memiliki keunikan sendiri yang menjadi ciri khasnya selama ini.
Jatim dikenal sebagai wilayah dengan komunitas santri terbesar di Indonesia. Beberapa daerah di Jawa timur bahkan layak menyandang gelar kota santri. Seperti Situbondo misalnya. Jadi kalau ada perhelatan besar semacam Pilgub, bisa ditebak siapa yang paling sibuk diburu dan dibutuhkan? Tentu saja kaum santri. Santri pada dasarnya tak ubahnya sebagaimana pelajar pada umumnya. Hanya saja concern mereka lebih pada ilmu agama. Yang lebih penting lagi, santri mutlak memiliki panutan yang sering disebut dengan istilah "kyai"
Kyai adalah seorang guru yang banyak mengamalkan ilmunya pada masyarakat. Oleh karenanya, masyarakat sering kali menjadikannya sebagai pemimpin informal di suatu daerah. Anehnya, ketokohan kyai memang seringkali diukur lewat seberapa besar basis massa yang dimilikinya. Jadi jangan heran kalau Kyai pun memiliki beragam tingkatan. Ada kyai bertaraf desa, kecamatan, kabupaten, nasional, bahkan internasional. Jadi kyai disamping memiliki santri yang sangat menghormatinya, kyai juga punya masyarakat yang siap mendukung semua keputusannya.
Dari fakta ini, sangat wajar bila saya katakan, bahwa siapapun yang paling dekat dengan banyak kyai, maka dialah yang akan menjadi Gubernur di Jatim. Bisa dilihat toh apa yang terjadi sekarang. Semua yang maju dalam bursa Pilgub Jatim pasti mengaku mendapat restu dari sejumlah Kyai. Ada yang semakin mantap maju karena merasa diperintah oleh Kyai, Tapi ada juga yang tidak mau menjadi orang nomor dua (bacawagub), karena kyai memintanya duduk sebagai calon orang nomor satu. Hebat dan unik bukan!
Itulah Jawa Timur. Aku tahu dan paham betul, karena disamping aku lahir dan besar di jawa timur, aku juga hidup di kalangan yang tidak jauh dari bau "kyai".
Mayoritas Jawa timur adalah NU. Jadi segala yang mengusung NU, kemungkinan untuk dapat menarik simpati warga cukup besar. Itu pula yang terjadi saat ini. Tapi sayangnya, PKB yang diharapkan menjadi kendaraan warga NU tampak belum begitu bisa bersimbiosis dengan kepentingan NU. Bagaimanapun juga tentu yang dirugikan dalam hal ini adalah PKB dan NU itu sendiri.
PKB yang kendalinya dipegang Gus Dur tidak menyetujui memasukkan kader NU menjadi Bacagub. Ia lebih memilih untuk meletakkannya menjadi Bacawagub. NU yang menjadi ABG (Anak Buah Gusdrur) pun tidak bisa apa-apa. Meski demikian, sebagian NU terutama yang tergabung dalam PKNU (pecahan PKB) justru seringkali berbeda pendapat dengan Gusdur. Dulu saat Gusdur menjadi ketua PBNU, tidak ada seorang pun yang berani berbeda dengannya di Jawa Timur. Tapi sekarang, entah mengapa keputusan Gusdur sering tidak sejalan dengan sebagian (besar) warga NU.
Saat ini, menurut saya Kyai NU di Indonesia bisa dikelompokkan dalam tiga macam. Pertama, kyai yang tidak terjun ke politik, bersikap baik dengan Gusdur dan selain Gusdur. Kedua, kyai yang selalu taat kepada keputusan politik Gusdur. Ketiga, kyai yang berani menentang Gusdur dalam konteks politik.
Harus diakui, peperangan politik di Jawa Timur merugikan para kyai, karena perbedaan pendapat mereka dalam wilayah politik seringkali terbawa pada persoalan masyarakat. Saya khawatir peperangan antar kyai akan benar-benar terjadi. Peperangan yang akan menyebabkan perpecahan.
Saran saya, hendaknya kyai tidak perlu memberikan fatwa politik. Kalaupun toh akan mengeluarkan fatwa semacam itu, harus dijelaskan dulu kapasitasnya sebagai apa? Apa pendapat pribadi, atau jabatan struktural. Kalau terlibat dalam partai, akan lebih baik sebenarnya bila tidak mengatasnamakan pendapat kyai. Karena hal itu justru bertentangan dengan bilai-nilai kultural yang disematkan masyarakat pada kyai.
Jangan sampai ada masyarakat yang bingung bertanya, "Aku harus ikut kyai yang mana?". Bahkan, jujur saya berani katakan, bahwa ulama salaf pada umumnya menjauhi wilayah politik. Itu sebenarnya untuk menjaga muru'ah mereka sendiri. Jadi wilayahnya memang hanya memberikan saran (fatwa) sesuai dengan tuntunan agama terhadap dunia politik.
Jumat, 22 Februari 2008
Mahfudz MD; GOOD!!!!
Jawa pos hari ini merilis kalau Mahfudz MD beberapa kali menolak upaya orang luar untuk memaksanya melakukan suap. "Lebih baik saya ga jadi (hakim MK), dari pada melakukan itu (suap)", begitu kata Mahfudz.
Ada berapa sih pejabat negara seperti Mahfudz? Pasti cukup mudah menghitungnya. Bukan karena orangnya mudah ditebak, tapi pasti karena orang seperti Mahfudz cukup sedikit. Saking parahnya, Negara ini sampai susah membedakan mana yang hadiah dan mana yang suap. Akhirnya sebagai usaha preventif, hadiah lebaran (parsel) pun dihukumi menjadi sesuatu yang haram diterima dan dikirim oleh pejabat negara.
Menurut saya, maraknya kasus korupsi atau suap semacam ini karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Aturannya saya yakin sudah tersusun sangat rapi dan apik, tapi pelaksanaannya seringkali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Pernah tidak Indonesia menghukum mati Koruptor? Jawabannya belum pernah. Bukan landasan hukumnya tidak ada, tapi karena proses hukum bagi para koruptor justru dilakukan oleh para koruptor juga. Nah, Jadi susah dan mbulet kan?
Lembaga peradilan diduga saat ini menjadi sarang nyaman bagi para mafia peradilan yang statusnya sama saja dengan koruptor. Lalu mana mungkin ada hasil persidangan yang berjalan ideal dan adil? Bahkan terkadang, keluarga maling ayam yang tertangkap dan diadili masih tega juga untuk diperas. Jadi jangan heran kalau kalangan The Have bisa santai-santai saja menghadapi kesalahan seberat apapun. Seolah-olah semuanya bisa diatur dengan rupiah.
Toh pun kalangan The Have ini tertangkap, kemudian masuk penjara, bukan berarti mereka sangat bersedih. Apa yang tidak bisa mereka beli di penjara. Asalkan punya banyak rupiah, penjara seolah menjadi rumah kedua bagi penjahat berduit ini. Ya Allah maafkanlah dosa bangsamu ini. Amin.
Ada berapa sih pejabat negara seperti Mahfudz? Pasti cukup mudah menghitungnya. Bukan karena orangnya mudah ditebak, tapi pasti karena orang seperti Mahfudz cukup sedikit. Saking parahnya, Negara ini sampai susah membedakan mana yang hadiah dan mana yang suap. Akhirnya sebagai usaha preventif, hadiah lebaran (parsel) pun dihukumi menjadi sesuatu yang haram diterima dan dikirim oleh pejabat negara.
Menurut saya, maraknya kasus korupsi atau suap semacam ini karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Aturannya saya yakin sudah tersusun sangat rapi dan apik, tapi pelaksanaannya seringkali tidak sejalan dengan apa yang diharapkan. Pernah tidak Indonesia menghukum mati Koruptor? Jawabannya belum pernah. Bukan landasan hukumnya tidak ada, tapi karena proses hukum bagi para koruptor justru dilakukan oleh para koruptor juga. Nah, Jadi susah dan mbulet kan?
Lembaga peradilan diduga saat ini menjadi sarang nyaman bagi para mafia peradilan yang statusnya sama saja dengan koruptor. Lalu mana mungkin ada hasil persidangan yang berjalan ideal dan adil? Bahkan terkadang, keluarga maling ayam yang tertangkap dan diadili masih tega juga untuk diperas. Jadi jangan heran kalau kalangan The Have bisa santai-santai saja menghadapi kesalahan seberat apapun. Seolah-olah semuanya bisa diatur dengan rupiah.
Toh pun kalangan The Have ini tertangkap, kemudian masuk penjara, bukan berarti mereka sangat bersedih. Apa yang tidak bisa mereka beli di penjara. Asalkan punya banyak rupiah, penjara seolah menjadi rumah kedua bagi penjahat berduit ini. Ya Allah maafkanlah dosa bangsamu ini. Amin.
Kamis, 21 Februari 2008
Heboh... Kartun Nabi Lagi
Orang Denmark nih emang ada-ada saja. Sudah tahu kalau kartun Nabi itu menyakiti kaum Muslim, eh malah berani-beraninya ditayangin lagi. Apa nunggu kesabaran orang Islam hilang? "Pemuatan kartun itu merupakan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw", begitu kata kelompok HTI yang berdemo di depan kedutaan besar Denmark, sebagaimana dirilis Jawa Pos.
Bagi saya, dalam dunia global seperti saat ini, akses informasi sudah tidak lagi mengenal batas. Bisa jadi kartun tersebut tidak terlalu bermasalah di Denmark, karena memang populasi muslimnya sedikit. Namun bukankah etika internasional juga harus dijaga? Dunia internasional dapat dengan mudah mengkonsumsi segala hal yang disajikan di belahan dunia manapun. Itu artinya, yang harus diperhitungkan bukan sekedar perasaan masyarakat Denmark, melainkan juga bagaimana respon masyarakat Internasional.
Bukankah kartun tersebut telah dikecam dunia internasional, terutama dunia Islam? Lalu pertanyaannya, atas dasar apa kartun itu dirilis ulang? Apa tujuan yang hendak diperjuangkan atau didapatkan?
Kalau hanya untuk memproklamasikan kebebasan berekspresi dan kebebasan media, kan tidak harus yang berbau agama. Masih banyak jalan lain. Kecuali kalau memang sengaja berbuat demikian untuk menyerang kelompok Islam. Maka kita sebagai Muslim harus bersikap seperti Lebah, harus berani merespon dan menyerang bila disakiti. Wilayah agama menurut saya termasuk wilayah private, sama seperti keluarga. Jadi kalau mengusik ketentraman keluarga di luar keluarga kita, sudah pasti akan jadi masalah. Misalnya anda menggambar monyet terus anda tulis nama Bapak teman atau tetangga Anda di atas gambar tersebut, sudah pasti yang bersangkutan akan marah. Sudah untung kalau anda tidak sampai kena bogem mentahnya.
Apalagi dalam konteks agama. So, Jangan diasumsikan Islam tidak menghargai kebebasan berekspresi dan berkarya. Setiap struktur masyarakat memiliki nilai-nilai tertinggi yang harus dihormati. Misalnya UUD di Indonesia. Begitu juga dengan nilai agama. Nabi Muhammad adalah simbol tertinggi nilai-nilai tuhan yang dapat digambarkan (begitu kata tasawwuf) dan dibahasakan serta dicontoh. Jadi ya jangan coba-coba menyalahgunakan! Alasan larangan menjelekkan foto Presiden, ya juga karena itu. Presiden adalah Lambang Negara. Penghinaan terhadap Presiden berarti penghinaan terhadap Negara.
Saya yakin konsep seperti ini juga digunakan oleh negara paling sekuler sekalipun! Jadi tidak ada celah sedikit pun menurut saya untuk membolehkan pemuatan kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Aku Mendukungmu HTI (dalam hal ini)!
Rabu, 20 Februari 2008
Oh... LAPINDO
DPR terbelah dua menanggapi kasus Lapindo. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyimpulkan -setelah melakukan berbagai pengamatan- bahwa bencana Lapindo murni faktor alam. Temuan tim bentukan DPR ini ternyata tidak diamini semua anggota DPR. Sebagian anggota parlemen menganggap semburan lumpur, tidak sekedar sebagai bencana alam, tapi juga ada campur tangan kesalahan Lapindo di dalamnya.
Kesimpulan BPLS ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap nasib ribuan rakyat di sekitar Lapindo. Sebagian mereka memperjuangkan nasibnya melalui jalur hukum. Sebagian lain, memilih untuk memberi support terhadap upaya hukum dengan jalan berdemo. Nasibnya pun sama. Semua usaha tersebut belum juga melahirkan kebijakan pemerintah yang dapat menenangkan rakyat.
Sejatinya kompensasi yang telah diterima rakyat secara bertahap 20 persen di awal dan 80 persen setahun berikutnya, dapat sedikit membuat rakyat lega. Persoalannya, dampak semburan lumpur ini tak semudah itu terselesaikan. Pertama, perpindahan pendudukan korban lumpur ke tempat yang baru tentu akan melahirkan dampak sosial baru, baik berupa pengangguran ataupun kesenjangan sosial. Kedua, Penduduk tersebut selama ini biasa menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain. Ini bisa berakibat buruk pada perkembangan etos kerja mereka selanjutnya. Ketiga, pemerintah masih belum mampu menghentikan luapan lumpur, sehingga korban-korban berikutnya tinggal menunggu waktu saja. Korban "baru" ini yang tidak teridentifikasi untuk mendapat hak kompensasi kemudian juga merasa berhak atas kompensasi dari Lapindo.
Persoalan-persoalan ini tentu urgen untuk segera diselesaikan. Jangan hanya terpaku pada perdebatan, apakah ini bencana atau human error. Ada banyak problem yang harus segera dipikirkan oleh pemerintah dari sekedar memperdebatkan status hukumnya.
Kesimpulan BPLS ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap nasib ribuan rakyat di sekitar Lapindo. Sebagian mereka memperjuangkan nasibnya melalui jalur hukum. Sebagian lain, memilih untuk memberi support terhadap upaya hukum dengan jalan berdemo. Nasibnya pun sama. Semua usaha tersebut belum juga melahirkan kebijakan pemerintah yang dapat menenangkan rakyat.
Sejatinya kompensasi yang telah diterima rakyat secara bertahap 20 persen di awal dan 80 persen setahun berikutnya, dapat sedikit membuat rakyat lega. Persoalannya, dampak semburan lumpur ini tak semudah itu terselesaikan. Pertama, perpindahan pendudukan korban lumpur ke tempat yang baru tentu akan melahirkan dampak sosial baru, baik berupa pengangguran ataupun kesenjangan sosial. Kedua, Penduduk tersebut selama ini biasa menggantungkan hidupnya pada bantuan orang lain. Ini bisa berakibat buruk pada perkembangan etos kerja mereka selanjutnya. Ketiga, pemerintah masih belum mampu menghentikan luapan lumpur, sehingga korban-korban berikutnya tinggal menunggu waktu saja. Korban "baru" ini yang tidak teridentifikasi untuk mendapat hak kompensasi kemudian juga merasa berhak atas kompensasi dari Lapindo.
Persoalan-persoalan ini tentu urgen untuk segera diselesaikan. Jangan hanya terpaku pada perdebatan, apakah ini bencana atau human error. Ada banyak problem yang harus segera dipikirkan oleh pemerintah dari sekedar memperdebatkan status hukumnya.
Selasa, 19 Februari 2008
PARTAI ISLAM KO!
"Bohong itu kalau umat Islam tidak akan memilih partai Islam", begitu kata Suryadharma Ali. Pernyataan itu disampaikan Suryadharma menanggapi usaha sebuah kelompok yang berusaha menggiring opini publik untuk menyatakan partai Islam tidak akan dipilih oleh masyarakat Islam. Menurut saya, baik Suryadharma maupun "kelompok" yang dimaksud ada benar, tapi juga ada salahnya.
Pilihan partai adalah hak preogratif individu. Pemaksaan atau pencabutan terhadap hak ini, tentu bertentangan dengan demokrasi. Masing-masing person memiliki hak kepada siapa ia akan melabuhkan pilihannya. Yang justru menarik dari fakta ini adalah, "mengapa umat Islam justru tidak memilih partai Islam?". Buktinya, posisi dua partai besar pemenang pemilu selalu ditempati partai nasionalis. Padahal mayoritas pemilih beragama Islam.
Kemungkinannya bisa beragam. Tapi yang pasti, bila kemudian partai Islam berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar berjuang demi rakyat. Saya yakin rakyat akan meresponnya dengan baik. Hanya saja, masyarakat belum mendapatkan kepastian itu. Selama partai Islam cuma "dodolan" agama, ya sampai kapanpun mereka akan terus berada di bawah.
"BERJUANG DEMI RAKYAT, OTOMATIS JUGA BERJUANG DEMI AGAMA. TAPI, BERJUANG ATAS NAMA AGAMA, ITU SAMA HALNYA DENGAN MENJUAL AGAMA" [Robitul Firdaus]
Pilihan partai adalah hak preogratif individu. Pemaksaan atau pencabutan terhadap hak ini, tentu bertentangan dengan demokrasi. Masing-masing person memiliki hak kepada siapa ia akan melabuhkan pilihannya. Yang justru menarik dari fakta ini adalah, "mengapa umat Islam justru tidak memilih partai Islam?". Buktinya, posisi dua partai besar pemenang pemilu selalu ditempati partai nasionalis. Padahal mayoritas pemilih beragama Islam.
Kemungkinannya bisa beragam. Tapi yang pasti, bila kemudian partai Islam berhasil meyakinkan masyarakat bahwa mereka benar-benar berjuang demi rakyat. Saya yakin rakyat akan meresponnya dengan baik. Hanya saja, masyarakat belum mendapatkan kepastian itu. Selama partai Islam cuma "dodolan" agama, ya sampai kapanpun mereka akan terus berada di bawah.
"BERJUANG DEMI RAKYAT, OTOMATIS JUGA BERJUANG DEMI AGAMA. TAPI, BERJUANG ATAS NAMA AGAMA, ITU SAMA HALNYA DENGAN MENJUAL AGAMA" [Robitul Firdaus]
Senin, 18 Februari 2008
GUSDUR DAN PILPRES 2009
Banyak kalangan berkomentar bahwa Gusdur masih akan mencoba peruntungannya dalam pemilu 2009. Gusdur sendiri ketika ditanya mengenai hal itu, jawabnya pasti “tergantung perintah dari para kyai”.
Dalam tradisi NU, kyai memang tempat banyak orang untuk meminta saran (istifta’). Namun, bukankah Gusdur juga seorang kyai? “perintah kyai” yang dimaksud Gusdur bisa jadi justru kemauan Gusdur itu sendiri. Artinya, ya kapan Gusdur mau, dia pasti maju. Kalau tidak mau, ya dipaksa kyai se-Indonesia juga belum tentu Ia mau.
Dalam ranah tasawwuf, kyai sebagai tempat kita meminta saran dan masukan memiliki fungsi yang sama dengan hati. Dalam bahasa yang lebih jelas disebutkan, “Istafti qolbaka” (mintalah saran pada hatimu). Itu berarti “kyai” yang dimaksud Gusdur bisa diartikan hati nurani yang ada dalam dirinya. Karena, memang “bersua” dengan Tuhan hanya bisa dilakukan melalui dimensi ini. Apa yang Tuhan anggap baik pada kita, sebenarnya telah diinformasikan kepada kita melalui hati, hanya saja kemampuan menangkap maksud Tuhan seringkali tidak bisa dilakukan dengan baik oleh semua makhluk-Nya.
Dunia politik tentu tidak menerima logika tersebut. Secara politik, hati nurani yang dimaksud juga akan sangat ditentukan oleh hitungan matematis menang-kalah, untung atau rugi. Itu artinya, Gusdur sudah pasti berhitung dulu sebelum maju. Hitungannya bisa jadi politik praktis, tapi bisa juga politic values.
Gusdur bukan tidak sadar, kalau peluangnya untuk sekali lagi menjadi Presiden sangat kecil. Namun, bisa jadi tujuannya bukan kemenangan dalam defenisi politik praktis. Melainkan jauh di atas itu. Gusdur ingin mengadakan pendidikan politik. Itu yang saya maksud dengan politic values. Gusdur bisa jadi sekedar memberikan pelajaran demokrasi yang seharusnya berjalan di Negeri ini. Dan dalam pandangan saya, pengajaran Gusdur cukup berhasil. Satu torehan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah keberaniannya menghapus diskriminasi etnis Tionghoa. TOLAK DISKRIMINASI!!!!! Itu yang menurut saya terus lantang Gusdur suarakan dalam perjuangannya. [Robit Firdaus]
Dalam tradisi NU, kyai memang tempat banyak orang untuk meminta saran (istifta’). Namun, bukankah Gusdur juga seorang kyai? “perintah kyai” yang dimaksud Gusdur bisa jadi justru kemauan Gusdur itu sendiri. Artinya, ya kapan Gusdur mau, dia pasti maju. Kalau tidak mau, ya dipaksa kyai se-Indonesia juga belum tentu Ia mau.
Dalam ranah tasawwuf, kyai sebagai tempat kita meminta saran dan masukan memiliki fungsi yang sama dengan hati. Dalam bahasa yang lebih jelas disebutkan, “Istafti qolbaka” (mintalah saran pada hatimu). Itu berarti “kyai” yang dimaksud Gusdur bisa diartikan hati nurani yang ada dalam dirinya. Karena, memang “bersua” dengan Tuhan hanya bisa dilakukan melalui dimensi ini. Apa yang Tuhan anggap baik pada kita, sebenarnya telah diinformasikan kepada kita melalui hati, hanya saja kemampuan menangkap maksud Tuhan seringkali tidak bisa dilakukan dengan baik oleh semua makhluk-Nya.
Dunia politik tentu tidak menerima logika tersebut. Secara politik, hati nurani yang dimaksud juga akan sangat ditentukan oleh hitungan matematis menang-kalah, untung atau rugi. Itu artinya, Gusdur sudah pasti berhitung dulu sebelum maju. Hitungannya bisa jadi politik praktis, tapi bisa juga politic values.
Gusdur bukan tidak sadar, kalau peluangnya untuk sekali lagi menjadi Presiden sangat kecil. Namun, bisa jadi tujuannya bukan kemenangan dalam defenisi politik praktis. Melainkan jauh di atas itu. Gusdur ingin mengadakan pendidikan politik. Itu yang saya maksud dengan politic values. Gusdur bisa jadi sekedar memberikan pelajaran demokrasi yang seharusnya berjalan di Negeri ini. Dan dalam pandangan saya, pengajaran Gusdur cukup berhasil. Satu torehan sejarah yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah keberaniannya menghapus diskriminasi etnis Tionghoa. TOLAK DISKRIMINASI!!!!! Itu yang menurut saya terus lantang Gusdur suarakan dalam perjuangannya. [Robit Firdaus]
Selasa, 12 Februari 2008
AYOOOO SIAPA MAU PANDAI???
"Bila kepandaian menjadi penyebab jauhnya seseorang dari Allah, maka menjadi manusia lugu merupakan alternatif terbaik" begitu kata cak Kuswaidi dalam kajian tasawwuf di PP UII (17/2). Menjadi orang pandai memang seringkali tidak mengenakkan. Karena, secara otomatis hukum alam menyebutkan bahwa orang pandai akan selalu menjadi tempat bergantung orang bodoh. Kalau bahasa film Spiderman mengurainya dengan kalimat, "Seseorang dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab yang besar pula".
Nikmat pandai menurut saya sama sekali tidak dimaksudkan Allah untuk kepentingan sendiri. Buktinya orang gila saja bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Beda pandai dengan gila terletak pada kemampuan berbuat untuk orang lain. Itulah mengapa orang lugu justru banyak yang selamat. Kaum lugu dengan nikmat "terbatas" yang diberikan Allah pada mereka tidak terlampau memiliki tanggung jawab. Sedangkan kaum pandai tanggung jawabnya berjubel.
Tanggung jawab kaum pandai sebenarnya untuk "menyelamatkan" kaum dengan "nikmat terbatas" tadi. Pun melaksanakan tanggung jawab tersebut, kaum pandai masih juga belum tentu langsung selamat. Kalau mengarahkannya sesuai dengan "kebenaran", mungkin selamat. Nah, kalau salah, sudah pasti lagi-lagi kaum pandai terkena getahnya. Ah..... Susah bener jadi orang pandai!!! (he.. he..)
Nikmat pandai menurut saya sama sekali tidak dimaksudkan Allah untuk kepentingan sendiri. Buktinya orang gila saja bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Beda pandai dengan gila terletak pada kemampuan berbuat untuk orang lain. Itulah mengapa orang lugu justru banyak yang selamat. Kaum lugu dengan nikmat "terbatas" yang diberikan Allah pada mereka tidak terlampau memiliki tanggung jawab. Sedangkan kaum pandai tanggung jawabnya berjubel.
Tanggung jawab kaum pandai sebenarnya untuk "menyelamatkan" kaum dengan "nikmat terbatas" tadi. Pun melaksanakan tanggung jawab tersebut, kaum pandai masih juga belum tentu langsung selamat. Kalau mengarahkannya sesuai dengan "kebenaran", mungkin selamat. Nah, kalau salah, sudah pasti lagi-lagi kaum pandai terkena getahnya. Ah..... Susah bener jadi orang pandai!!! (he.. he..)
MERAYAKAN VALENTINE ALA ISLAM
Dari Valentine Ke Yaum al-Rahmah
Tampaknya dalam tulisan ini, saya tidak perlu lagi menjelaskan apa dan bagaimana sejarah valentine. Pembaca sekalian sudah hampir pasti pernah mendapatkannya dari suguhan penulis lain. Versinya bisa beragam, namun pada umumnya mayoritas penulis, terutama yang muslim, mengidentikkan hari valentine dengan budaya barat. Tidak salah memang bila kita melihat suatu budaya berangkat dari mana kebudayaan tersebut muncul dan berkembang. Persoalannya adalah, apakah semua yang dari Barat pasti identik dengan keburukan? Saya yakin semua akan menjawab tidak. Buktinya kita begitu nyaman menggunakan banyak produk barat dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk saya dalam penulisan artikel ini.
Melalui media ini, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa yang Islami itu tidak hanya bisa ada di Jazirah Arab atau Indonesia dengan populasi muslim terbesar. Dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa Barat lebih bisa mengaplikasikan ”nilai-nilai Islam” dari pada kita. Permasalahan mendapat pahala atau tidak, itu sudah bukan wilayah kita lagi untuk menjawab. Yang pasti saya yakin kita sepakat dengan ungkapan yang sering dikutip Tukul, ”don’t judge a book by it’s cover” (jangan lihat tampang luarnya saja). Saya bukan beranggapan sampul tidak penting, tapi maksudnya ada yang lebih berharga untuk dianalisis dari sekedar memperdebatkan baju luarnya.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Ajaran untuk mengasihi sesama makhluk Allah bisa dengan mudah kita dapatkan dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Tapi mengapa kita tidak bisa mengejawantahkannya dengan maksimal? Setiap pribadi pasti memiliki jawaban masing-masing. Saya sempat berpikir kenapa kita tidak menjadikan valentine ini sebagai peringatan hari ’kasih sayang’ dalam makna yang positif. Kalapun toh para pembaca sekalian tidak sepakat dengan istilah valentine, ya kita ganti saja dengan nama ’yaum al-rahmah’ (hari kasing sayang). Pemikiran saya ini tentu akan melahirkan beberapa pertanyaan dan keraguan.
Pertama, Islam tidak pernah membatasi waktu untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, lalu mengapa seolah-olah ada waktu yang spesial? Yang saya maksud bukan demikian. Hari-hari spesial dalam Islam sudah ditentukan oleh nash. Jawaban pertanyaan itu akan saya jawab dengan pertanyaan serupa. Islam mewajibkan kita untuk menghormati seorang Ibu tanpa membatasi waktu, lalu mengapa ada hari Ibu? Apakah itu berarti hormat kepada Ibu hanya dianjurkan saat hari Ibu saja? Jawabannya sama saja. Media adanya peringatan tersebut hanyalah sebagai ajang mengingatkan kembali dan memperkuat ajaran Islam yang seharusnya bisa dipraktekkan kaum Muslim.
Kedua, bukankah valentine identik dengan budaya maksiat? Jawaban saya ya. Pertunjukan wayang dan gamelan pada masa awal Islam di Indonesia juga identik dengan budaya non-Islam. Tapi, justru dari modal itu dakwah Sunan kalijaga banyak berhasil menaklukkan hati masyarakat. Maksud saya adalah mengapa pada tanggal 14 Februari kita tidak berjihad melawan budaya Barat yang penuh maksiat dengan pedang budaya Islam. Bila sebagian orang pada hari itu sibuk mencari hadiah buat lawan jenis sebagai langkah dan modal awal berbuat maksiat, mengapa kita tidak menandinginya dengan sibuk mencari hadiah untuk di bawa ke panti-panti asuhan, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Dengan demikian, akan terjadi pertarungan dua kebiasaan yang bertolak belakang pada saat itu. Siapa pemenangnya? Itu semua kembali pada usaha para pembaca yang budiman. Satu hal yang pasti, siapa yang lebih bersemangat, maka dialah pemenangnya.
Ketiga, mengapa saya menggantinya dengan istilah ’yaum al-rahmah’? jawabannya tentu karena sebagian orang Islam di Indonesia lebih nyaman dengan istilah arab. Kemudian, kata rahmah sendiri identik dengan perbuatan baik pada semua manusia, tanpa membeda-bedakan jenis agama yang dianut. Begitu yang diyakini Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’: 107). Itu berarti peringatan hari kasih sayang ini lebih bersifat universal.
Perang Ideologi
Saat ini Islam lebih banyak dipersepsikan sebagai agama yang keras dan kaku. Islam dinilai jarang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terus berlangsung. Persepsi dan penilaian seperti ini tidak hanya bersumber dari kalangan non-Islam, saudara-saudara muslim tidak sedikit yang memiliki pandangan serupa. Orang yang mengadakan perayaan bertepatan dengan hari valentine dicap mengamalkan perbuatan kafir. Semuanya selalu dikait-kaitkan dengan sejarah valentine itu sendiri.
Semestinya memang budaya yang berasal dari manapun sesuai dengan amanah surat al-Hujurat ayat 6 haruslah diteliti terlebih dahulu. Apakah substansi amalannya sesuai dengan Islam. Idul Fitri adalah hari raya yang bersumber dari Islam, tapi apakah semua perayaan atas nama Idul Fitri bisa dibenarkan dalam Islam? Bagaimana dengan yang merayakannya di pantai-pantai bersama lawan jenis lalu berbuat maksiat?
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6].
Telah banyak analisis menyatakan bahwa ideologi Barat berhasil menjalar masuk ke wilayah pemikiran Islam. Menjamurnya paham liberalisme, pluralisme, sekulerisme, dan isme-isme kebarat-baratan lainnya di dunia Islam ditengarai sebagai wujud nyata dari hal itu. Sayangnya, menurut saya menanggapi fenomena ini umat Islam saat ini lebih banyak berlaku defense (bertahan). Isme-isme tersebut hanya dilawan dengan dalil-dalil dan logika Islam. Untuk membentengi mungkin berhasil, tapi untuk maju tentu akan sangat susah.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurut saya, sudah saatnya perilaku defense yang sudah dilakukan saat ini harus dibarengi dengan paradigma offense (menyerang). Artinya, bentuk perlawanan kita harus semakin ditingkatkan. Bila peperangan ideologi biasanya banyak bermain dalam wilayah teoritis, maka sudah saatnya meningkat pada dataran praktis.
Maksud saya, jangan hanya kita bisa berkata bahwa budaya valentine itu tidak Islami dengan memaparkan keburukan perayaannya. Tapi, kita juga harus bisa menunjukkan bagaimana perayaan valentine yang Islami. Perubahan gradual (tadrijy) yang demikian ini diharapkan juga lebih bisa diterima masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk menghilangkan budaya valentine secara total dengan memfatwakannya sebagai acara yang diharamkan tentu tidak produktif dilakukan. Apalagi bila kemudian terjadi kekerasan akibat fatwa haram tersebut. Sudah pasti bukan itu yang kita inginkan.
Pada dasarnya, hampir pasti dikatakan tidak ada yang menolak upaya untuk mengingatkan kembali pentingnya kasih sayang antar manusia. Bahkan melalui media valentine sekalipun. Hanya saja, mungkin contentnya yang perlu dibicarakan ulang. Mengingat kebiasaan yang sudah berjalan pada acara valentine memang identik dengan kegiatan negatif (maksiat). Itulah kebiasaan yang harus kita rubah.
Epilog
Tampaknya dalam tulisan ini, saya tidak perlu lagi menjelaskan apa dan bagaimana sejarah valentine. Pembaca sekalian sudah hampir pasti pernah mendapatkannya dari suguhan penulis lain. Versinya bisa beragam, namun pada umumnya mayoritas penulis, terutama yang muslim, mengidentikkan hari valentine dengan budaya barat. Tidak salah memang bila kita melihat suatu budaya berangkat dari mana kebudayaan tersebut muncul dan berkembang. Persoalannya adalah, apakah semua yang dari Barat pasti identik dengan keburukan? Saya yakin semua akan menjawab tidak. Buktinya kita begitu nyaman menggunakan banyak produk barat dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk saya dalam penulisan artikel ini.
Melalui media ini, sebenarnya saya ingin menyampaikan bahwa yang Islami itu tidak hanya bisa ada di Jazirah Arab atau Indonesia dengan populasi muslim terbesar. Dalam banyak hal kita harus mengakui bahwa Barat lebih bisa mengaplikasikan ”nilai-nilai Islam” dari pada kita. Permasalahan mendapat pahala atau tidak, itu sudah bukan wilayah kita lagi untuk menjawab. Yang pasti saya yakin kita sepakat dengan ungkapan yang sering dikutip Tukul, ”don’t judge a book by it’s cover” (jangan lihat tampang luarnya saja). Saya bukan beranggapan sampul tidak penting, tapi maksudnya ada yang lebih berharga untuk dianalisis dari sekedar memperdebatkan baju luarnya.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Ajaran untuk mengasihi sesama makhluk Allah bisa dengan mudah kita dapatkan dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Tapi mengapa kita tidak bisa mengejawantahkannya dengan maksimal? Setiap pribadi pasti memiliki jawaban masing-masing. Saya sempat berpikir kenapa kita tidak menjadikan valentine ini sebagai peringatan hari ’kasih sayang’ dalam makna yang positif. Kalapun toh para pembaca sekalian tidak sepakat dengan istilah valentine, ya kita ganti saja dengan nama ’yaum al-rahmah’ (hari kasing sayang). Pemikiran saya ini tentu akan melahirkan beberapa pertanyaan dan keraguan.
Pertama, Islam tidak pernah membatasi waktu untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, lalu mengapa seolah-olah ada waktu yang spesial? Yang saya maksud bukan demikian. Hari-hari spesial dalam Islam sudah ditentukan oleh nash. Jawaban pertanyaan itu akan saya jawab dengan pertanyaan serupa. Islam mewajibkan kita untuk menghormati seorang Ibu tanpa membatasi waktu, lalu mengapa ada hari Ibu? Apakah itu berarti hormat kepada Ibu hanya dianjurkan saat hari Ibu saja? Jawabannya sama saja. Media adanya peringatan tersebut hanyalah sebagai ajang mengingatkan kembali dan memperkuat ajaran Islam yang seharusnya bisa dipraktekkan kaum Muslim.
Kedua, bukankah valentine identik dengan budaya maksiat? Jawaban saya ya. Pertunjukan wayang dan gamelan pada masa awal Islam di Indonesia juga identik dengan budaya non-Islam. Tapi, justru dari modal itu dakwah Sunan kalijaga banyak berhasil menaklukkan hati masyarakat. Maksud saya adalah mengapa pada tanggal 14 Februari kita tidak berjihad melawan budaya Barat yang penuh maksiat dengan pedang budaya Islam. Bila sebagian orang pada hari itu sibuk mencari hadiah buat lawan jenis sebagai langkah dan modal awal berbuat maksiat, mengapa kita tidak menandinginya dengan sibuk mencari hadiah untuk di bawa ke panti-panti asuhan, fakir miskin, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya. Dengan demikian, akan terjadi pertarungan dua kebiasaan yang bertolak belakang pada saat itu. Siapa pemenangnya? Itu semua kembali pada usaha para pembaca yang budiman. Satu hal yang pasti, siapa yang lebih bersemangat, maka dialah pemenangnya.
Ketiga, mengapa saya menggantinya dengan istilah ’yaum al-rahmah’? jawabannya tentu karena sebagian orang Islam di Indonesia lebih nyaman dengan istilah arab. Kemudian, kata rahmah sendiri identik dengan perbuatan baik pada semua manusia, tanpa membeda-bedakan jenis agama yang dianut. Begitu yang diyakini Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya’: 107). Itu berarti peringatan hari kasih sayang ini lebih bersifat universal.
Perang Ideologi
Saat ini Islam lebih banyak dipersepsikan sebagai agama yang keras dan kaku. Islam dinilai jarang bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang terus berlangsung. Persepsi dan penilaian seperti ini tidak hanya bersumber dari kalangan non-Islam, saudara-saudara muslim tidak sedikit yang memiliki pandangan serupa. Orang yang mengadakan perayaan bertepatan dengan hari valentine dicap mengamalkan perbuatan kafir. Semuanya selalu dikait-kaitkan dengan sejarah valentine itu sendiri.
Semestinya memang budaya yang berasal dari manapun sesuai dengan amanah surat al-Hujurat ayat 6 haruslah diteliti terlebih dahulu. Apakah substansi amalannya sesuai dengan Islam. Idul Fitri adalah hari raya yang bersumber dari Islam, tapi apakah semua perayaan atas nama Idul Fitri bisa dibenarkan dalam Islam? Bagaimana dengan yang merayakannya di pantai-pantai bersama lawan jenis lalu berbuat maksiat?
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6].
Telah banyak analisis menyatakan bahwa ideologi Barat berhasil menjalar masuk ke wilayah pemikiran Islam. Menjamurnya paham liberalisme, pluralisme, sekulerisme, dan isme-isme kebarat-baratan lainnya di dunia Islam ditengarai sebagai wujud nyata dari hal itu. Sayangnya, menurut saya menanggapi fenomena ini umat Islam saat ini lebih banyak berlaku defense (bertahan). Isme-isme tersebut hanya dilawan dengan dalil-dalil dan logika Islam. Untuk membentengi mungkin berhasil, tapi untuk maju tentu akan sangat susah.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menurut saya, sudah saatnya perilaku defense yang sudah dilakukan saat ini harus dibarengi dengan paradigma offense (menyerang). Artinya, bentuk perlawanan kita harus semakin ditingkatkan. Bila peperangan ideologi biasanya banyak bermain dalam wilayah teoritis, maka sudah saatnya meningkat pada dataran praktis.
Maksud saya, jangan hanya kita bisa berkata bahwa budaya valentine itu tidak Islami dengan memaparkan keburukan perayaannya. Tapi, kita juga harus bisa menunjukkan bagaimana perayaan valentine yang Islami. Perubahan gradual (tadrijy) yang demikian ini diharapkan juga lebih bisa diterima masyarakat Indonesia yang majemuk. Untuk menghilangkan budaya valentine secara total dengan memfatwakannya sebagai acara yang diharamkan tentu tidak produktif dilakukan. Apalagi bila kemudian terjadi kekerasan akibat fatwa haram tersebut. Sudah pasti bukan itu yang kita inginkan.
Pada dasarnya, hampir pasti dikatakan tidak ada yang menolak upaya untuk mengingatkan kembali pentingnya kasih sayang antar manusia. Bahkan melalui media valentine sekalipun. Hanya saja, mungkin contentnya yang perlu dibicarakan ulang. Mengingat kebiasaan yang sudah berjalan pada acara valentine memang identik dengan kegiatan negatif (maksiat). Itulah kebiasaan yang harus kita rubah.
Epilog
Seorang istri atau suami yang telah lama menikah mungkin sudah rindu ungkapan kasih sayang dari pasangannya. Fakir miskin dan anak yatim piatu bisa jadi bosan menunggu uluran tangan kita hingga ramadlan atau idul fitri tiba. Bahkan, tetangga kita bisa jadi kembali kelaparan setelah lama ditinggal Idul Adha. Kenapa valentine ini tidak dijadikan ajang untuk mengingatkan kita semua bahwa ada banyak orang yang merindukan uluran kasih sayang yang kita miliki? Mari kita tebarkan kasih sayang ini kepada sebanyak-banyak kaum dluafa’ dan orang-orang lain yang membutuhkan. Wallahu a’lam bi al-showab.
KUTEMUKAN KEAGUNGAN-MU DALAM SETIAP KEINDAHAN-MU
Karena keagungan-Mu yang benar-benar agung
Engkau menjadi dzat yang Maha Indah
Dan karena keindahan-Mu yang benar-benar indah
Engkau menjadi dzat yang Maha Agung
(Robit El Firdaus)
Engkau menjadi dzat yang Maha Indah
Dan karena keindahan-Mu yang benar-benar indah
Engkau menjadi dzat yang Maha Agung
(Robit El Firdaus)
اللهم اسألك التوفيق لمحابك من الاعمال وصدق التوكل عليك وحسن الظن بك والغنية عمن سواك . الهى يا لطيف يا رزاق يا ودود يا قوي يا متين اسألك تألها بك واسترزاقا فيك ولطفا شاملا من لدنك ورزقا واسعا هنيئا مريئا و سنا طويلا وعملا صالحا فى الايمان واليقين . وملازمة فى الحق والدين . وعزا وشرفا يبقى ويتأبد لا يشوبه تكبر ولا عتو ولا فساد انك سميع قريب
نقل من دعـاء سيدنا الفقيه المقدم
محمد ابن على باعلوى
محمد ابن على باعلوى
Senin, 11 Februari 2008
SUNNI-SYIAH, AYO BERSATU!

Sesungguhnya Abu Hanifah adalah Syi’ah dalam kecendrungan dan pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, Ia melihat bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dan Fatimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim.
(Abu Zahrah)
Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah
(Imam Syafi’i)
Membaca Pertarungan ‘Abadi’ dalam Sejarah
Perjalanan sejarah umat Islam mencatat bahwa gerakan Syiah dan Sunni telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan pemikiran Islam. Kedua golongan ini telah dapat memainkan peranan yang cukup besar dalam panggung sejarah Muslim. Bahkan kedua golongan ini bisa disebut memiliki andil yang besar ketika Islam mencapai masa kejayaannya (the golden age). Persoalannya baru muncul, manakala sejarah juga mencatat bahwa pertikaian dan pertentangan kedua golongan ini tampak “abadi” dan seolah-olah dilakukan secara turun temurun. Artinya, bahwa perubahan yang diciptakan kedua golongan ini di satu sisi menghadirkan warna baru bagi perkembangan pemikiran Islam, sedang di sisi lain juga merupakan racun yang mendatangkan malapetaka bagi integritas yang telah diraih umat Islam.
Doktrin kepemimpinan (imamah), keadilan sahabat (‘adalah as-sahabat), dan madzhab fiqih adalah beberapa contoh di antara sekian banyak persoalan yang sering membenturkan Sunni-Syiah. Banyak sekali tokoh-tokoh hebat dari kedua golongan yang syahid karena doktrin-doktrin tersebut. Imam Syafi’i dalam satu riwayat disebutkan pernah diseret dari Hijaz ke Syiria dalam belenggu besi hanya karena ia dicurigai syiah. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq bahkan setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun.
Perkembangan Sunni dan Syiah dalam sejarahnya memang sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah yang berkuasa. Sunni memang sering kali dianggap kelompok yang paling dominan memanfaatkan peluang kekuasaan. Banyak ulama Syiah yang diklaim syahid di tangan penguasa Sunni. Padahal penguasa Syiah dalam sejarahnya juga pernah tercatat melakukan pembunuhan terhadap kelompok non-Syiah. Politik memungkinkan semua hal untuk terjadi. Meski kental aroma politiknya, namun perbedaan doktrin ’ideologi’ yang memang sudah terbangun dengan sangat kuat semakin membuat pertarungan dua golongan ini semakin sulit untuk dihentikan, tidak terkecuali pada realitas dewasa ini.
Sunni-Syiah Bersatu; Menatap Politik Islam Masa Depan
Meski Syiah dalam sejarah sering kali menjadi kelompok yang tersudutkan dan menjadi musuh penguasa, namun sejarah juga mencatat bahwa kaum Syiah juga pernah berkuasa secara mantap dan gemilang sekurang-kurangnya pada dua dinasti. Pertama dinasti Fatimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan masjid universitas Al-Azhar, dan kedua dinasti Shafawiyah di Iran dengan ibu kota Isfahan, konon kota paling indah di muka bumi, yang ikut membuat Iran yang semula Sunni menjadi Syi’i. belum lagi kemenangan revolusi kaum Syiah di Iran yang menurut almarhum Nurcholis Madjid (1989) merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia, yaitu dengan dirasakannya secara nyata kehadiran syi’isme dalam dunia politik Islam.
Kembali eksisnya Syiah di panggung politik ternyata cukup berdampak negatif dalam dunia politik Islam. Negara-negara di timur tengah khususnya, yang mayoritas berpaham Sunni, tampak belum bisa menerima kehadiran mereka secara penuh. Akhirnya, hubungan tidak harmonis antar negara-negara di timur tengah menjadi akibat yang tidak lagi bisa dielakkan. Hubungan Iran dan Irak, Iran dan Arab Saudi, adalah contoh perpecahan tersebut. Platform tauhid seolah tidak mampu menengahi pertikaian yang didasari pada perbedaan paham ini.
(Abu Zahrah)
Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah
(Imam Syafi’i)
Membaca Pertarungan ‘Abadi’ dalam Sejarah
Perjalanan sejarah umat Islam mencatat bahwa gerakan Syiah dan Sunni telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan pemikiran Islam. Kedua golongan ini telah dapat memainkan peranan yang cukup besar dalam panggung sejarah Muslim. Bahkan kedua golongan ini bisa disebut memiliki andil yang besar ketika Islam mencapai masa kejayaannya (the golden age). Persoalannya baru muncul, manakala sejarah juga mencatat bahwa pertikaian dan pertentangan kedua golongan ini tampak “abadi” dan seolah-olah dilakukan secara turun temurun. Artinya, bahwa perubahan yang diciptakan kedua golongan ini di satu sisi menghadirkan warna baru bagi perkembangan pemikiran Islam, sedang di sisi lain juga merupakan racun yang mendatangkan malapetaka bagi integritas yang telah diraih umat Islam.
Doktrin kepemimpinan (imamah), keadilan sahabat (‘adalah as-sahabat), dan madzhab fiqih adalah beberapa contoh di antara sekian banyak persoalan yang sering membenturkan Sunni-Syiah. Banyak sekali tokoh-tokoh hebat dari kedua golongan yang syahid karena doktrin-doktrin tersebut. Imam Syafi’i dalam satu riwayat disebutkan pernah diseret dari Hijaz ke Syiria dalam belenggu besi hanya karena ia dicurigai syiah. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq bahkan setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun.
Perkembangan Sunni dan Syiah dalam sejarahnya memang sangat dipengaruhi oleh kekuatan pemerintah yang berkuasa. Sunni memang sering kali dianggap kelompok yang paling dominan memanfaatkan peluang kekuasaan. Banyak ulama Syiah yang diklaim syahid di tangan penguasa Sunni. Padahal penguasa Syiah dalam sejarahnya juga pernah tercatat melakukan pembunuhan terhadap kelompok non-Syiah. Politik memungkinkan semua hal untuk terjadi. Meski kental aroma politiknya, namun perbedaan doktrin ’ideologi’ yang memang sudah terbangun dengan sangat kuat semakin membuat pertarungan dua golongan ini semakin sulit untuk dihentikan, tidak terkecuali pada realitas dewasa ini.
Sunni-Syiah Bersatu; Menatap Politik Islam Masa Depan
Meski Syiah dalam sejarah sering kali menjadi kelompok yang tersudutkan dan menjadi musuh penguasa, namun sejarah juga mencatat bahwa kaum Syiah juga pernah berkuasa secara mantap dan gemilang sekurang-kurangnya pada dua dinasti. Pertama dinasti Fatimiyyah di Mesir yang mendirikan kota Kairo dan masjid universitas Al-Azhar, dan kedua dinasti Shafawiyah di Iran dengan ibu kota Isfahan, konon kota paling indah di muka bumi, yang ikut membuat Iran yang semula Sunni menjadi Syi’i. belum lagi kemenangan revolusi kaum Syiah di Iran yang menurut almarhum Nurcholis Madjid (1989) merupakan titik balik perkembangan Islam di dunia, yaitu dengan dirasakannya secara nyata kehadiran syi’isme dalam dunia politik Islam.
Kembali eksisnya Syiah di panggung politik ternyata cukup berdampak negatif dalam dunia politik Islam. Negara-negara di timur tengah khususnya, yang mayoritas berpaham Sunni, tampak belum bisa menerima kehadiran mereka secara penuh. Akhirnya, hubungan tidak harmonis antar negara-negara di timur tengah menjadi akibat yang tidak lagi bisa dielakkan. Hubungan Iran dan Irak, Iran dan Arab Saudi, adalah contoh perpecahan tersebut. Platform tauhid seolah tidak mampu menengahi pertikaian yang didasari pada perbedaan paham ini.
Idealnya perbedaan ideologi Sunni-Syiah adalah satu hal yang harus dipandang secara proporsional dan dewasa. Masing-masing golongan harus belajar saling menerima eksistensi kelompok yang lain. Dalam ranah politik, hendaknya kedua golongan ini juga belajar melepaskan diri dari ‘catatan kelam’ politik masa lalu. Tujuannya untuk memperkuat politik Islam menghadapi hegemoni barat dalam dunia politik internasional. Harus diakui, bahwa merealisasikan hal ini tidaklah mudah, mengingat memang sulit untuk melakukan pembicaraan secara terpisah antara teori politik dan doktrin ideologi dalam kajian sejarah pemikiran Islam. Namun, setidaknya dua golongan ini memiliki satu kesamaan politik yang ingin diwujudkan dan bisa menjadi alat pemersatu, yaitu melepaskan diri dari bayang-bayang politik barat (baca: non-Islam).
Bila salah satu penyebab lahirnya Syiah dan pertentangannya dengan Sunni adalah faktor politik, setidaknya demikian yang diisyaratkan oleh Nouruzzaman Shiddiqi (1985), maka mengapa Sunni-Syiah tidak mencoba bersatu melalui politik. Apalagi dalam pembicaraan politik, banyak sekali perbedaan-perbedaan yang bisa dikompromikan. Usaha yang dilakukan oleh presiden Iran Ahmadinejad misalnya, dengan politik anti-Amerika terbukti banyak mendapatkan simpati dari negara Islam dan tokoh-tokoh yang berpaham Sunni. Maka bukan tidak mungkin, bila persatuan Sunni-Syiah yang saat ini sulit terwujud justru disebabkan kekahawatiran dunia barat (baca: Amerika Cs.) terhadap kekuatan politik ini. Sehingga persatuan Sunni-Syiah menjadi agenda yang mereka anggap harus digagalkan.
Oleh karenanya, persatuan kaum muslim di bawah platform tauhid adalah satu hal yang melebihi semua kepentingan dan harus menjadi cita-cita bersama. “muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain”. Akhirnya, mengutip Dr. O Hashem, dalam sebuah buku pembelaannya terhadap kaum syiah, Ia berkata, “Bila dalam sepuluh hal kita berbeda dalam tiga hal, mengapa kita tidak mencoba berjalan bersama-sama di atas tujuh hal yang lain?”. Wallahu A’lam bi ash-Showab. [kang_obit]
Yogyakarta, Januari 2008
SESAT VERSI MUI HANYA SETENGAH-SETENGAH

Fatwa MUI menjadi obyek yang cukup terkenal dalam beberapa tahun terakhir. Ini tidak lepas dari fakta bahwa fatwa MUI sering menimbulkan persoalan. Satu diantaranya yang menyita perhatian adalah fatwa tentang Aliran Ahmadiyah. Fatwa ini dinilai tidak produktif oleh banyak kalangan. Meskipun fatwa ini telah dikeluarkan pada tahun 2005, namun kekerasan terhadap Ahmadiyah terus berlangsung hingga sekarang. Senang tidak senang menurut saya fatwa MUI tersebut cukup memberi kontribusi pada aksi-aksi anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah.
Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad memang bisa menyebabkan seseorang dihukumi murtad dalam Islam. Begitu juga pengakuan adanya Rasul pasca Muhammad. Siapapun bila meyakini kedua hal tersebut layak dihukumi sesat. Hanya saja persoalannya, menurut saya MUI masih setengah-setengah dalam menerapkan konsep murtad sebagaimana ajaran Islam.
Riddah (kemurtadan) dalam Islam tidak hanya terjadi pada orang Islam yang menolak atau merubah doktrin Islam yang bersifat qoth’iy (pasti), namun dia masih mengaku muslim. Kemurtadan juga bisa terjadi pada seseorang yang nyata-nyata keluar dari Islam dan berpindah agama. Itu juga kalau MUI masih mendasarkan ideologinya pada Islam. Lalu apakah Islam tidak mengenal kebebasan beragama?
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
MUI saya sebut setengah-setengah karena definisi sesat hanya MUI tujukan pada orang yang “menghina” Islam dengan mengacaukan doktrin utama dalam Islam. Sementara orang yang jelas-jelas keluar dari Islam sama sekali tidak direspon. Bahkan ada orang yang ngawur berkata, “kalau orang Ahmadiyah keluar dari Islam dan mengaku tidak muslim sih tidak apa-apa”. Itu kan namanya menyarankan orang untuk menjadi murtad. Jelas saja, orang Ahmadiyah tidak mau.
Rumusan kebebasan beragama dalam Islam seperti yang saya utarakan berbeda dengan konsep HAM Barat. Article 18 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”. Bandingkan dengan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” yang menyatakan: “Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.”
Kecuali tunduk pada aturan HAM versi Barat, maka seharusnya MUI juga mengutuk orang Islam yang berpindah agama. Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum bunuh bagi orang yang yang beralih agama (murtad). Tentu saya bukan menyarankan untuk menerapkan hukuman tersebut, karena ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya. Saya hanya ingin menunjukkan keseriusan Islam menyikapi kesucian ajaran-ajarannya. Bila diukur dari segi kualitas, kesesatan orang yang nyata-nyata keluar dari Islam tentu lebih besar dari pada orang Ahmadiyah.
Indonesia sendiri, dalam pandangan saya tampaknya lebih condong kepada aturan HAM versi barat. Di sini saya tidak akan berdebat tentang posisi Indonesia sebagai sebuah Negara dalam kaca mata Islam. Saya hanya ingin mengembalikan MUI pada posisi yang seharusnya. Usaha preventif melalui pembinaan umat Islam tetap harus terus diutamakan. Namun, pemberian kecaman –seperti yang dilakukan pada Ahmadiyah- juga harus dilakukan. Hal ini penting untuk pemberian efek “special deterrence” (pencegahan khusus, agar pelakunya kapok dan bertaubat) dan “general deterrence” (pencegahan umum, agar masyarakat tidak ikut-ikutan).
Kalaupun memang harus berlawanan dengan penguasa, menurut saya kebenaran Islam tetap harus disuarakan. Jangan setengah-setengah. Persoalan ditanggapi atau tidak oleh penguasa, itu sudah di luar kewajiban MUI. Bahkan kalau boleh saya mengutip Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, ia menyebutkan bahwa MUI hendaknya bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.
Buya Hamka, ketua pertama MUI telah mencontohkan keteguhannya pada ajaran Islam. Ia berani mundur dari jabatan ketua MUI karena keyakinannya mengharamkan perayaan natal bersama ditentang oleh pemerintah. Ia tidak mau tunduk pada penguasa bila bertentangan dengan ajaran Islam. Ia meniru keberanian Ibnu Taymiah dan ulama-ulama madzhab dalam berhadapan dengan penguasa. Sekarang, masih adakah penerus perjuangan Buya Hamka di MUI…………. [kang_obit]
Yogyakarta, Februari 2008
Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad memang bisa menyebabkan seseorang dihukumi murtad dalam Islam. Begitu juga pengakuan adanya Rasul pasca Muhammad. Siapapun bila meyakini kedua hal tersebut layak dihukumi sesat. Hanya saja persoalannya, menurut saya MUI masih setengah-setengah dalam menerapkan konsep murtad sebagaimana ajaran Islam.
Riddah (kemurtadan) dalam Islam tidak hanya terjadi pada orang Islam yang menolak atau merubah doktrin Islam yang bersifat qoth’iy (pasti), namun dia masih mengaku muslim. Kemurtadan juga bisa terjadi pada seseorang yang nyata-nyata keluar dari Islam dan berpindah agama. Itu juga kalau MUI masih mendasarkan ideologinya pada Islam. Lalu apakah Islam tidak mengenal kebebasan beragama?
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
MUI saya sebut setengah-setengah karena definisi sesat hanya MUI tujukan pada orang yang “menghina” Islam dengan mengacaukan doktrin utama dalam Islam. Sementara orang yang jelas-jelas keluar dari Islam sama sekali tidak direspon. Bahkan ada orang yang ngawur berkata, “kalau orang Ahmadiyah keluar dari Islam dan mengaku tidak muslim sih tidak apa-apa”. Itu kan namanya menyarankan orang untuk menjadi murtad. Jelas saja, orang Ahmadiyah tidak mau.
Rumusan kebebasan beragama dalam Islam seperti yang saya utarakan berbeda dengan konsep HAM Barat. Article 18 The Universal Declaration of Human Rights menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”. Bandingkan dengan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” yang menyatakan: “Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.”
Kecuali tunduk pada aturan HAM versi Barat, maka seharusnya MUI juga mengutuk orang Islam yang berpindah agama. Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum bunuh bagi orang yang yang beralih agama (murtad). Tentu saya bukan menyarankan untuk menerapkan hukuman tersebut, karena ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya. Saya hanya ingin menunjukkan keseriusan Islam menyikapi kesucian ajaran-ajarannya. Bila diukur dari segi kualitas, kesesatan orang yang nyata-nyata keluar dari Islam tentu lebih besar dari pada orang Ahmadiyah.
Indonesia sendiri, dalam pandangan saya tampaknya lebih condong kepada aturan HAM versi barat. Di sini saya tidak akan berdebat tentang posisi Indonesia sebagai sebuah Negara dalam kaca mata Islam. Saya hanya ingin mengembalikan MUI pada posisi yang seharusnya. Usaha preventif melalui pembinaan umat Islam tetap harus terus diutamakan. Namun, pemberian kecaman –seperti yang dilakukan pada Ahmadiyah- juga harus dilakukan. Hal ini penting untuk pemberian efek “special deterrence” (pencegahan khusus, agar pelakunya kapok dan bertaubat) dan “general deterrence” (pencegahan umum, agar masyarakat tidak ikut-ikutan).
Kalaupun memang harus berlawanan dengan penguasa, menurut saya kebenaran Islam tetap harus disuarakan. Jangan setengah-setengah. Persoalan ditanggapi atau tidak oleh penguasa, itu sudah di luar kewajiban MUI. Bahkan kalau boleh saya mengutip Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, ia menyebutkan bahwa MUI hendaknya bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”.
Buya Hamka, ketua pertama MUI telah mencontohkan keteguhannya pada ajaran Islam. Ia berani mundur dari jabatan ketua MUI karena keyakinannya mengharamkan perayaan natal bersama ditentang oleh pemerintah. Ia tidak mau tunduk pada penguasa bila bertentangan dengan ajaran Islam. Ia meniru keberanian Ibnu Taymiah dan ulama-ulama madzhab dalam berhadapan dengan penguasa. Sekarang, masih adakah penerus perjuangan Buya Hamka di MUI…………. [kang_obit]
Yogyakarta, Februari 2008
CORAK KEISLAMAN DI INDONESIA; MENGAMATI SEPAK TERJANG PEMBELA SYARIAH
Dalam sebuah artikelnya “Religon and The Indonesian constitution; Recent Debate” (2005), Nadirsyah Hosen menganggap bahwa pendekatan Islam Substantif masih menjadi corak keislaman Indonesia. Kesimpulan tersebut Ia ambil setelah melihat fakta bahwa ternyata perjuangan memasukkan tujuh kata “berbau syariat formalistik” dalam konstitusi Indonesia menuai kegagalan. Tujuh kata yang berbunyi ‘dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya’ yang diusulkan partai-partai berbasis Islam diamasukkan dalam pasal 29 ditolak parlemen.
Partai-partai seperti PPP, PBB, maupun PKS yang membawa misi tersebut menurut Hosen ingin menjadikan syariah sebagi satu-satunya sumber hukum di Indonesia (bagi umat Islam). Ini yang tidak masuk akal. Menurut Hosen, akan lebih bisa diterima kalau syariah hanya dijadikan salah satu sumber hukum Indonesia, layaknya hukum adat. Artinya bahwa hukum belanda, hukum adat, dan hukum Islam disejajarkan sebagai tiga komponen hukum Indonesia. Usulan yang lebih masuk akal ini pun juga masih belum tentu bisa diterima
Sejauh hubungan Islam dan Negara, dalam pemahaman saya, ada tiga corak kelompok yang bersilang pendapat: pertama, kelompok yang beranggapan syariah Islam adalah agama yang syamil (mencakup semua hal) dan kamil (sempurna ajarannya). Kelompok ini meyakini bahwa Islam memiliki aturan baku yang lengkap untuk modal penyelenggaraan sebuah Negara. Aturan itu bisa dipahami langsung dari teks al-Quran ataupun sejarah kepemimpinan Rasulullah di Madinah yang mereka anggap sebagai representasi Negara Islam. Sehingga bagi kelompok ini tidak ada alasan untuk tidak menjadikan syariah Islam sebagai sau-satunya sumber hukum dalam pengelolaan Negara. Kelompok ini diantaranya didukung oleh pemikiran Abul a’la al-Maududi dan Hizbut Tahrir.
Kedua, kelompok yang sama sekali ingin memisahkan peran agama dan Negara. Kelompok seperti ini biasa disbut dengan kelompok sekuler. Bagi mereka, kesepakatan penggunaan jenis konstitusi Negara harus disepakati oleh seluruh masyarakat. Kesepakatan itu juga harus terlepas dari pengaruh agama yang melekat pada diri masyarakat tersebut. Agar lebih obyektif, doktrin-dokrin agama harus dilepas dari pengambilan keputusan tentang mana yang baik dan mana yang tidak. Artinya doktrin Agama harus ditanggalkan dalam diskusi mengenai Negara. Pemikiran seperti ini menurut saya tidak jauh dari pemikiran Abdullahi Ahmad an-naim.
Kelompok ketiga, kelompok Islam substantif. Kelompok ini meyakini Islam telah memiliki ajaran-ajaran pokok yang bisa diterapkan secara umum dalam sebuah Negara. Ajaran pokok ini berasal dari hasil induksi nash. Dalam istilah Islam liberal biasa dikenal dengan istilah nash umum atau nash non-verbal. Ajaran-ajaran tersebut seperti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Kelompok ini yang menurut Hosen menjadi favorit di Indonesia.
Setidaknya, kesimpulan yang diambil Hosen juga bisa dimaknai sebagai pemahamannya terhadap peran Islam dalam publik. Menurut saya, walaupun kemudian Islam melalui syariahnya tidak menjadi konstitusi Indonesia, namun bukan berarti Islam sama sekali tidak berperan dalam wilayah publik (public sphere). Justru disinilah menurut saya wilayah Islam bermain. Artinya selama dalam konstelasi politik elit, saya rasa benar kalau Islam sunstantif masih dominan. Itu menurut saya tidak lepas dari komposisi partai yang duduk di parlemen. Meski, mayoritas beragama Islam, namum umumnya mereka nasionalis, sehingga sangat beralasan kalau Islam substanif menjadi favorit.
Yang menarik menurut saya adalah justru pertarungan kepentingan ‘syariah’ dan ‘non-syariah’ di tingkat daerah. Untuk wilayah ini,saya rasa kesimpulan dari Hosen bahwa Islam substanif menjadi favorit tampaknya tidak bisa digunakan. Fakta bahwa ‘syariah’ gagal masuk konstitusi Negara memang tidak bisa kita pungkiri. Sebaliknya, bahwa ‘syariah’ telah berhasil masuk dalam bentuk Perda juga sebuah fakta yang harus diterima, apapun alasannya. Inilah yang semakin memperkuat asumsi saya bahwa pada wilayah ruang publik, ‘syariah’ masih punya cukup tenaga untuk bersuara lantang.
Ini juga membuktikan bahwa perjuangan memasukkan ‘syariah’ formalistik dalam konstitusi sebagaimana dilakukan oleh PKS Cs memiliki basis dukungan dari bawah. Salah kalau orang beranggapan keinginan untuk memperjuangkan syariah bersumber dari segelintir orang yang elitis saja. Lalu bukankah kekuasan pembuatan Perda berada di tangan Bupati atau DPRD setempat (kaum elit)? Jawabannya benar. Namun, bukankah mereka juga dipilih rakyat? Artinya,kita juga tidak bisa memungkiri mereka sebagai representasi dari rakyat. Dan yang penting menurut saya, secara logika dapat dikatakan bahwa tingkat representasi rakyat di tingkat daerah jauh lebih besar dari pada yang ada di parlemen pusat.
Sejauh perubahan terhadap konstiusi juga dilakukan dengan konsitusional, saya rasa itu cukup fair untuk dilakukan. Kalaupun ada yang salah dengan peraturan undang-undang, bukankah kita punya Mahkamah Konstiusi untuk menilai. Saya kira pejuang syariah tetap akan terus menabuh gendering peperangannya. Apalagi mereka tidak hanya melakukanya melalui jalur politik, tapi juga non-politik seperi Hizbut Tahrir. Bagi saya, masing-masing jalur memiliki kelemahan dan kelebihan. Fakta banyak kalangan akademisi juga menjadi pejuang syariah saya rasa cukup menarik untuk dicermati, gerakan intelektual yang mereka lakukan bisa jadi indikasi dari kebangkitan perjuangan penegakan ‘syariah’
Saya bukan berarti pendukung syariah. Bagi saya, biarkan publik yang menilai itu semua. Publik sudah cukup cerdas unuk memilih yang terbaik. Dalam bahasa An-naim biasa disebut dengan dialog internal kebudayaan. Kita lihat saja bagaimana diskusi-diskusi itu berlanjut. Tidak hanya dalam wilayah akademik, tapi mungkin juga di warung-warung kopi, café, ataupun angkringan (kaki lima khas yogya), setidaknya demikian yang saya pahami dari konsep public sphere ala Habermas. [kang_obit]
Yogyakarta, 1 Februari 2008
Partai-partai seperti PPP, PBB, maupun PKS yang membawa misi tersebut menurut Hosen ingin menjadikan syariah sebagi satu-satunya sumber hukum di Indonesia (bagi umat Islam). Ini yang tidak masuk akal. Menurut Hosen, akan lebih bisa diterima kalau syariah hanya dijadikan salah satu sumber hukum Indonesia, layaknya hukum adat. Artinya bahwa hukum belanda, hukum adat, dan hukum Islam disejajarkan sebagai tiga komponen hukum Indonesia. Usulan yang lebih masuk akal ini pun juga masih belum tentu bisa diterima
Sejauh hubungan Islam dan Negara, dalam pemahaman saya, ada tiga corak kelompok yang bersilang pendapat: pertama, kelompok yang beranggapan syariah Islam adalah agama yang syamil (mencakup semua hal) dan kamil (sempurna ajarannya). Kelompok ini meyakini bahwa Islam memiliki aturan baku yang lengkap untuk modal penyelenggaraan sebuah Negara. Aturan itu bisa dipahami langsung dari teks al-Quran ataupun sejarah kepemimpinan Rasulullah di Madinah yang mereka anggap sebagai representasi Negara Islam. Sehingga bagi kelompok ini tidak ada alasan untuk tidak menjadikan syariah Islam sebagai sau-satunya sumber hukum dalam pengelolaan Negara. Kelompok ini diantaranya didukung oleh pemikiran Abul a’la al-Maududi dan Hizbut Tahrir.
Kedua, kelompok yang sama sekali ingin memisahkan peran agama dan Negara. Kelompok seperti ini biasa disbut dengan kelompok sekuler. Bagi mereka, kesepakatan penggunaan jenis konstitusi Negara harus disepakati oleh seluruh masyarakat. Kesepakatan itu juga harus terlepas dari pengaruh agama yang melekat pada diri masyarakat tersebut. Agar lebih obyektif, doktrin-dokrin agama harus dilepas dari pengambilan keputusan tentang mana yang baik dan mana yang tidak. Artinya doktrin Agama harus ditanggalkan dalam diskusi mengenai Negara. Pemikiran seperti ini menurut saya tidak jauh dari pemikiran Abdullahi Ahmad an-naim.
Kelompok ketiga, kelompok Islam substantif. Kelompok ini meyakini Islam telah memiliki ajaran-ajaran pokok yang bisa diterapkan secara umum dalam sebuah Negara. Ajaran pokok ini berasal dari hasil induksi nash. Dalam istilah Islam liberal biasa dikenal dengan istilah nash umum atau nash non-verbal. Ajaran-ajaran tersebut seperti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak, dan lain sebagainya. Kelompok ini yang menurut Hosen menjadi favorit di Indonesia.
Setidaknya, kesimpulan yang diambil Hosen juga bisa dimaknai sebagai pemahamannya terhadap peran Islam dalam publik. Menurut saya, walaupun kemudian Islam melalui syariahnya tidak menjadi konstitusi Indonesia, namun bukan berarti Islam sama sekali tidak berperan dalam wilayah publik (public sphere). Justru disinilah menurut saya wilayah Islam bermain. Artinya selama dalam konstelasi politik elit, saya rasa benar kalau Islam sunstantif masih dominan. Itu menurut saya tidak lepas dari komposisi partai yang duduk di parlemen. Meski, mayoritas beragama Islam, namum umumnya mereka nasionalis, sehingga sangat beralasan kalau Islam substanif menjadi favorit.
Yang menarik menurut saya adalah justru pertarungan kepentingan ‘syariah’ dan ‘non-syariah’ di tingkat daerah. Untuk wilayah ini,saya rasa kesimpulan dari Hosen bahwa Islam substanif menjadi favorit tampaknya tidak bisa digunakan. Fakta bahwa ‘syariah’ gagal masuk konstitusi Negara memang tidak bisa kita pungkiri. Sebaliknya, bahwa ‘syariah’ telah berhasil masuk dalam bentuk Perda juga sebuah fakta yang harus diterima, apapun alasannya. Inilah yang semakin memperkuat asumsi saya bahwa pada wilayah ruang publik, ‘syariah’ masih punya cukup tenaga untuk bersuara lantang.
Ini juga membuktikan bahwa perjuangan memasukkan ‘syariah’ formalistik dalam konstitusi sebagaimana dilakukan oleh PKS Cs memiliki basis dukungan dari bawah. Salah kalau orang beranggapan keinginan untuk memperjuangkan syariah bersumber dari segelintir orang yang elitis saja. Lalu bukankah kekuasan pembuatan Perda berada di tangan Bupati atau DPRD setempat (kaum elit)? Jawabannya benar. Namun, bukankah mereka juga dipilih rakyat? Artinya,kita juga tidak bisa memungkiri mereka sebagai representasi dari rakyat. Dan yang penting menurut saya, secara logika dapat dikatakan bahwa tingkat representasi rakyat di tingkat daerah jauh lebih besar dari pada yang ada di parlemen pusat.
Sejauh perubahan terhadap konstiusi juga dilakukan dengan konsitusional, saya rasa itu cukup fair untuk dilakukan. Kalaupun ada yang salah dengan peraturan undang-undang, bukankah kita punya Mahkamah Konstiusi untuk menilai. Saya kira pejuang syariah tetap akan terus menabuh gendering peperangannya. Apalagi mereka tidak hanya melakukanya melalui jalur politik, tapi juga non-politik seperi Hizbut Tahrir. Bagi saya, masing-masing jalur memiliki kelemahan dan kelebihan. Fakta banyak kalangan akademisi juga menjadi pejuang syariah saya rasa cukup menarik untuk dicermati, gerakan intelektual yang mereka lakukan bisa jadi indikasi dari kebangkitan perjuangan penegakan ‘syariah’
Saya bukan berarti pendukung syariah. Bagi saya, biarkan publik yang menilai itu semua. Publik sudah cukup cerdas unuk memilih yang terbaik. Dalam bahasa An-naim biasa disebut dengan dialog internal kebudayaan. Kita lihat saja bagaimana diskusi-diskusi itu berlanjut. Tidak hanya dalam wilayah akademik, tapi mungkin juga di warung-warung kopi, café, ataupun angkringan (kaki lima khas yogya), setidaknya demikian yang saya pahami dari konsep public sphere ala Habermas. [kang_obit]
Yogyakarta, 1 Februari 2008
Rabu, 06 Februari 2008
UNTUKMU YANG KRONIS MENJOMBLO
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki lugu yang memahami kemauanmu
Laki-laki lurus yang tidak pernah berbuat aneh
Laki-laki yang mengerti seluruh keluh kesahmu
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki lucu yang bisa membuatmu tertawa
Laki-laki yang enak diajak ngobrol
Laki-laki yang bisa kau jadikan teman curhat
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki cerdas yang bisa menyelesaikan persoalanmu
Laki-laki yang bisa menuntunmu
Laik-laki yang bisa jadi guru bagimu
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki tampan yang bisa kau kenalkan pada teman-temanmu
Laki-laki kuat yang bisa menjaga dirimu
Laki-laki setia yang tidak akan menduakanmu
Aku memang tidak setampan Yusuf
Aku juga tidak memiliki kekuasaan sehebat Daud
Aku juga pasti tidak sesetia Adam
Apalagi sesempurna Muhammad
Apakah untuk mendapatkanmu aku harus menuruti semua keinginanmu
Tidak cukupkah apa yang ada pada diriku sekarang
Aku juga merindukan kesempurnaan
Tapi apa yang kau miliki sudah cukup sempurna bagiku
Saat ini aku hanya ingin mendapatkanmu
[Robitul Firdaus]
Lantai II PP UII, Februari 2008
Laki-laki lugu yang memahami kemauanmu
Laki-laki lurus yang tidak pernah berbuat aneh
Laki-laki yang mengerti seluruh keluh kesahmu
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki lucu yang bisa membuatmu tertawa
Laki-laki yang enak diajak ngobrol
Laki-laki yang bisa kau jadikan teman curhat
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki cerdas yang bisa menyelesaikan persoalanmu
Laki-laki yang bisa menuntunmu
Laik-laki yang bisa jadi guru bagimu
Apa yang kau inginkan?
Laki-laki tampan yang bisa kau kenalkan pada teman-temanmu
Laki-laki kuat yang bisa menjaga dirimu
Laki-laki setia yang tidak akan menduakanmu
Aku memang tidak setampan Yusuf
Aku juga tidak memiliki kekuasaan sehebat Daud
Aku juga pasti tidak sesetia Adam
Apalagi sesempurna Muhammad
Apakah untuk mendapatkanmu aku harus menuruti semua keinginanmu
Tidak cukupkah apa yang ada pada diriku sekarang
Aku juga merindukan kesempurnaan
Tapi apa yang kau miliki sudah cukup sempurna bagiku
Saat ini aku hanya ingin mendapatkanmu
[Robitul Firdaus]
Lantai II PP UII, Februari 2008
Langganan:
Komentar (Atom)
