Rabu, 02 September 2009

Mawar Dalam Doa

Kalau pun toh aku akan mendoakanmu, aku ingin mendoakanmu secara ikhlas. Aku tidak ada kepentingan dengan orang lain, tak peduli mereka tahu doaku atau tidak. Bahkan aku pun tidak perlu merasa harus menunjukkan padamu rangkaian doa yang kususun, komat kamit bacaan yang kulafalkan. Doa ini pure kuajukan kepada Tuhanku. Walau tiap kata dalam barisan doa ini tentangmu, tapi tetap ini urusanku dengan Tuhan. Karena bukan kemasyhuran doaku atau pengetahuan respekku terhadapmu yang menjadi alasan bagi Tuhan mengijabah doaku.

Biarkan makhluk ini mengira aku orang yang tak berprikemanusiaan, asal Tuhan mudah-mudahan masih mengakuiku sebagai hamba manusia-Nya. Itu lebih baik bagiku daripada orang meyakiniku manusia, namun Tuhan tidak menggubrisku lebih baik dari binatang. Maka atas nama kebinatangan manusiaku, aku merasa tidak pantas untuk “petentang petenteng” mengumbar doaku di hadapan manusia, tidak terkecuali di hadapanmu. Aku ingin doa yang sederhana, tapi tulus kusedekahkan atas nama kesetaraan hamba di hadapan Tuhan. Bukan aku lebih baik dari mereka atau darimu, tapi karena aku yakin aku juga butuh doa dari selainku.

Harus kuakui sedikit banyak kekerdilan dan kepengecutanku mungkin juga berpengaruh. Tapi biarlah itu menjadi kelemahan yang tidak perlu merugikan orang lain. Aku sendiri yang akan menanggung akibat atasnya, sebagaimana aku juga pasti akan belajar melepaskan diri dari kelelahanku menjadi pengecut. Sampai di sini saja, aku sudah membutuhkan doa-doa mereka dan mungkin juga doamu. Akan kulafalkan doa-doa ini dengan serius karena hanya itu yang bisa kuperbuat. Lagi-lagi harus kuakui banyak kekuranganku. Pundakku tidak begitu nyaman untuk menjadi tempat menyembuhkan kelelahanmu, pun demikian jari jemariku yang tidak selembut sutra untuk menyeka air matamu. Perkenankanlah maaf untukku.

Mugkin tidak mewakili kemauan mereka atau harapan-harapan muliamu saat ini. Tapi percayalah, huruf huruf ini kutulis dengan menyuarakan satu nama, tidak yang lain. Tapi sekali lagi, ini urusanku dengan-Nya. Dirimu atau mereka tidak perlu menghiraukannya, bahkan kalau perlu kularang menyimak dengan seksama doaku ini. Sudah cukup kenistaanku mengotori ketulusanku, tidak perlu ditambah dengan hancurnya reputasi niat baikku.

”Gusti, Dzat Agung Pemilik Segala, Hadiahkanlah Ridlo-Mu. Izinkan Hidayah-Mu mencium setiap helaan nafasnya. Kalau harus kaki mengejar Ridlo dan Hidayah itu, berilah kekuatan pada setiap sendinya.

Jiwa dan badan amanah dari-Mu, berilah kekuatan memastikannya tetap terjaga putih dan bersih meski dari lelembut kotoran rohani jasmani. Ilhamkan cinta dan kasih sayang padanya dalam hidup ini, biar semuanya bisa terlihat indah atas nama-Mu.

Berilah kesehatan pada mereka yang telah melahirkan dan mengajarkan ilmu padanya. Perkenankan kesempatan dan kekuatan untuk membuat mereka tersenyum bahagia dan bangga melihatnya, meski sedikitpun itu tidak membayar jasa-jasa mereka. Damaikan sepanjang hidup mereka.

Ya Rahman, Ya Latiif. Seseorang yang akan mengantarkan dan menemani dekat kepada-Mu, permudahkanlah wujud baginya. Tak ada yang tak mungkin atas kuasa-Mu. Kepada siapa ringkihan kenistaan dan ribuan panjatan harapan ini tergantungkan, kalau tidak kepada-Mu.

Allahumma inna nas’aluka husnal khotimah, wa na’udzubika min su’il khotimah. Amin Ya Tawwab, Ya Sattar, Ya Ghaffar, wa Ya Arhamar Rohimin”.


Dabag, 2 september 2009. 00:41.

Minggu, 30 Agustus 2009

Jalan Cinta

Bagiku tidak ada cinta pada pandangan pertama. Cinta -sedemikian rupa- mustahil untuk lahir dan muncul begitu saja. Cinta berbeda dengan suka maupun sayang. Meski di dalam cinta terdapat keduanya, namun masing-masing menurutku tidaklah sinonim. Cinta itu berbicara tentang keabadian, satu hal yang tidak bisa ditemukan dalam suka atau sayang. Terserah apa yang orang defenisikan tentang cinta, bagiku tidak ada yang akan mampu mendefinisikannya dengan tepat, sempurna, dan representatif. Bagi pengemis, cinta mungkin seharga receh dari orang berpunya yang entah diberikan atas dasar ikhlas, iba, atau sekedar risih melihat tampang para pengemis yang mendekati mereka. Susu ibu bisa jadi adalah hadiah cinta terindah bagi para bayi di tengah rengekan dan tangisan mereka. Bahkan BLT besar kemungkinan dianggap wujud cinta pemerintah terhadap rakyatnya.

Demikianlah bila cinta dilihat dari sudut pandang inderawi. Ia hanya akan berwujud pada hal-hal yang terbatas. Aku tidak mengatakan kalau cinta itu sama sekali lepas dari inderawi, namun cukuplah itu menjadi semacam alat bantu saja. Layaknya senter saat mencari emas di gelap malam padang pasir atau layaknya tabung oksigen penyelam saat mencari dan mengambil kerang mutiara di dasar lautan. Keagungan, keindahan, dan pesona emas maupun mutiara tidak berhubungan dengan senter atau tabung oksigen tadi. Tidak pula dengan berat usaha dalam mencarinya. Ia telah melekat dengan sendirinya pada benda itu. Pun demikian dengan cinta.

Cinta tidak perlu melalui proses pensucian diri untuk membuatnya suci. Ia juga tidak butuh pujian dari orang lain untuk menjadikannya berharga. Berapapun banyak orang yang mengotori cinta, tidak sedikitpun mengurangi keluhurannya. Ia hanya dan akan selamanya bercerita tentang keindahan dan kenyamanan. Atas dasar itulah, cinta -menurut pendapatku- tidak akan datang menghampirimu pada pandangan pertama. Itu hanya proses penerjemahan inderamu ke dalam alam pikiranmu, belum sampai ke alam bawah sadarmu. Ada berapa banyak baju yang kamu suka saat kamu memasuki sebuah mall atau toko baju? Pasti ada beberapa. Kamu pun membanding-bandingkannya sampai akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah satu dari baju-baju indah itu. Tapi apakah kamu mencintai baju itu? Jawabannya belum. Buktinya, begitu banyak kau memiliki baju di rumah yang kau pilih dengan proses yang sama. Di antara baju di rumah, pasti ada baju yang menjadi favoritmu. Apakah baju itu yang kau cintai? Jawabannya bukan. Itu karena yakinlah label favorit tersebut akan berpindah ke baju yang lain suatu saat nanti. Sekali lagi cinta hanya berbicara tentang ”keabadian”, bukan keterbatasan waktu dan ruang.

Sebetulnya aku hanya ingin mengatakan, kalau tidak mudah untuk menyebut dan mendefinisikan perasaan kita sebagai cinta. Tentu aku tidak memaksa semua orang untuk berpendirian sepertiku. Hanya saja, bagiku sangat tampak nyata perbedaan antara sayang dan cinta. Lebih mudah konsekuensi yang harus kutanggung untuk menyebut sayang pada seorang gadis daripada mengungkapkan lima huruf yang terangkai dalam kata c-i-n-t-a. Atas nama sayang, cukuplah bagiku menerobos derasnya hujan untuk mengantarkan gadis itu pulang karena khawatir terhadap kesehatannya, tak menghiraukan dinginnya malam untuk sekedar mengunjunginya, melihat wajah, dan memastikan kesedihannya telah hilang, memanjakan dan menuruti kemauan gadis itu hanya agar dia tersenyum, atau juga menjadikannya nyaman dengan menerima segala kekurangan dalam dirinya.

Aku tidak mengatakan kalau sayang itu bertentangan dengan cinta. Tapi sayang bagiku ”sekedar” pancaran dari cinta. Karena sekedar pancaran, maka sudah barang tentu cinta masih lebih dari itu. Cinta itu bukan sekedar memberi. Meski aku sendiri sering mendefinisikannya sebagai seni memberi (art of giving), tapi hakikinya lebih dalam dari itu. Dari itulah, aku tidak yakin sampai saat ini memiliki keberanian dan kemantapan untuk mengungkapkan cinta. Karena begitu aku mencintai, maka sejatinya aku juga harus bersedia menafikan dan meleburkan diriku sendiri. Kalaupun pernah aku mengatakan kata itu pada seorang gadis, mungkin itu karena aku yang masih bau kencur saat itu. Belum mampu membedakan syariat dan hakikat, pikiran dan hati, atau keterbatasan dan keabadian.

Dalam konteks mencintai seorang gadis, cinta menurutku lebih tentang visi dan misi. Apa yang ingin didapatkan dari sebuah hubungan mencintai. Bukan apa yang bisa didapat dari orang yang kita cintai. Jadi, cinta itu meniscayakan adanya main goal yang jelas, adanya tujuan agung yang ingin dicapai bersama. Mungkin itulah yang menyebabkanku berkeyakinan mustahil ada cinta pada pandangan pertama atau datang tiba-tiba. Cinta adalah akumulasi dan puncak dari sebuah kenyamanan rasa, sehingga bagaimana mungkin itu dapat hadir sedemikian mudahnya.

So, dimana cinta bisa kita temukan? Salah besar kalau banyak orang mencari dan menilai cinta melalui orang lain. Ganti-ganti pacar hanya dengan alasan mencari cinta adalah tindakan terbodoh yang seharusnya tidak ditiru. Mungkin aku, kamu, mereka, atau kalian pernah berpikir hal bodoh tersebut. Tapi ketahuilah bahwa cinta itu sejatinya ada dalam diri dan hati kita yang terdalam, hati yang luasnya jauh melebihi samudera, langit, dan seluruh angkasa raya. Tuhan mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mampu menampung keagungan dan kebesaran-Nya, hanya hati seorang mukmin yang sanggup melakukannya. Bukan aku menyamakan cinta dengan Tuhan, Tapi cinta memang cukup agung, hingga Tuhan pun mewajibkan dirinya untuk memiliki rasa cinta. Keagungan itu pula yang meniadakan kemungkinan cinta didapat atas jalan yang sangat mudah. Perlu berhadapan dengan 7 macam lembah cobaan, 7 jurang halangan, bahkan mungkin 7 pisau rintangan untuk menemukan apa yang kau sebut dengan cinta.

Kalau ada yang bertanya, dari mana kita bisa belajar cinta? Pertanyaan ini akan kujawab dengan analogi pertanyaan juga, dari mana kita belajar paling baik tentang seluk beluk mobil? Dari siapa sebaiknya kita bertanya tentang suatu rumah? Kepada siapa seharusnya kita mengadu tentang nasib? Jawabnya kepada pencipta mobil, pemilik rumah, dan penentu nasib. Pun demikian dengan cinta. Tempat belajar yang paling tepat adalah kepada pencipta, pemilik, dan penentu cinta, Dzat yang bahkan lebih dekat kepada kita di banding urat leher kita. Itulah kenapa Tuhan akan meletakkan seseorang bersama orang yang dicintainya kelak di akhirat. Apakah kau anggap demikian mudah mencintai Muhammad hingga kau begitu yakin dapat bersamanya kelak? Allah dan Muhammad mencintaimu, itu fakta yang harus kau terima. Tapi apakah kau sudah benar-benar membalas cintanya? Wallahu a’lam.

Kamis, 27 Agustus 2009

HUKUM ISBAL

Mulanya saya tidak begitu tertarik untuk membahas ini. Namun, setelah terjadi diskusi dengan salah seorang saudara seiman beberapa pekan yang lalu, saya merasa tidak ada salahnya membuat tulisan seputar pendapat saya terhadap hukum isbal ini.

Istilah isbal di kalangan Islam –mengacu pada beberapa hadis Nabi- populer diartikan dengan penggunaan sarung, celana, atau apapun jenis pakaian yang melebihi mata kaki atau sampai menyapu tanah. Sejauh yang saya ketahui, memang terdapat dua pandangan besar di kalangan Muslimin tentang hukum isbal ini. Sebagian mengharamkannya dan meyakininya sebagai syari’at atau minimal sunnah Nabi, sedang sebagian yang lain membolehkannya dengan syarat. Keduanya memiliki landasan hukum yang cukup argumentatif.

Pendapat yang mengharamkan perilaku isbal mengacu pada beberapa hadis Nabi yang menunjukkan adanya celaan terhadap pelaku isbal. Beberapa dlohir hadis yang juga mengindikasikan adanya larangan dari Nabi dan populer di kalangan penganut pendapat ini di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. "Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" (HR.Bukhori)
  2. "Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).
  3. "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." (HR. Abu Dawud)

Dengan mengacu pada beberapa hadis di atas dan beberapa riwayat lain yang tidak saya sebutkan di sini, pendapat ini berkeyakinan bahwa larangan (keharaman) memanjangkan kain di bawah mata kaki bersifat mutlak.

Sedangkan pendapat yang membolehkan perilaku isbal dengan syarat tertentu mengacu pada adanya illat pengharaman yang tertuang pada sabda Rasul kepada Abu Bakar: ”Barangsiapa yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka ALLAH tidak akan memandang kepadanya pada hari Kiamat”. Maka Abu Bakar berkata: ”Sesungguhnya pakaianku sering turun”, lalu Rasulullah Salallahu alaihi wassalam bersabda : ”Kamu tidak termasuk dari mereka”. Dalam riwayat lain dikatakan : ”Kamu bukan orang yang melakukannya karena sombong”.

Dari dlohir hadis ini, pendapat kedua memahami bahwa illat atau adanya taqyid ”sombong” menjadi penyebab diharamkannya isbal. Artinya, pendapat ini berkeyakinan bahwa sejauh pelaku isbal tidak melakukannya dengan sombong, maka perilaku isbal tidaklah diharamkan dan hukumnya mubah. Demikian misalnya yang diyakini oleh Imam Syafi’i, Imam Nawawi, dan Ibnu Abdil Barr sebagaimana direkam dengan sangat baik oleh Ibnu Rajab dalam kitab "Fathul Bari li Ibn Hajar" pada hadis nomor 5345.


Titik Perbedaan

Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bahwa perbedaan pendapat mengenai hukum isbal ini terletak pada perbeadaan ada tidaknya taqyid atau illat pengharaman isbal. Hadis tentang Abu Bakar ini memang menjadi polemik yang sedikit banyak menjadi cikal bakal lahirnya perbedaan ini. Bagi yang tidak sepakat dengan adanya taqyid dalam hadis ini berargumentasi bahwa Abu Bakar melakukan isbal dengan tanpa sengaja. Abu Bakar sudah berhati-hati untuk menjaga sarung yang dipakainya tidak turun. Oleh karenanya, Nabi tidak menganggapnya sebagai perbuatan sombong. Berbeda dengan yang meyakini adanya taqyid sombong, dlohir hadis ini menunjukkan bahwa dengan sangat jelas Nabi menggaris bawahi sifat sombong sebagai penyebab keharaman isbal. Nabi juga memberikan pemahaman mafhum muwafaqah bahwa karena perbuatan yang tidak sombong itu, Abu Bakar tidak berdosa melakukannya.


Bagaimana Bersikap

Perbedaan pendapat dalam ranah yang tidak termasuk dalam kategori ats-Tsawabit atau al-Ma’lum min al-Din bi al-Dloruroh adalah hal yang wajar. Masing-masing yang berbeda harus saling menghormati antar satu dengan yang lain. Demikianlah kewajiban dalam Islam dalam menyikapi perbedaan. Meyakini bahwa pendapat kita yang paling benar tidaklah bermasalah, tapi meyakini bahwa perbuatan orang lain adalah salah dapat menjadi sumber masalah. Menganggap bahwa yang memakai celana ”cingkrang” adalah teroris, Islam garis keras, atau Islam tradisional yang harus dijauhi sama berdosanya dengan meyakini bahwa orang yang isbal telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak menjalankan syari’at Rasulullah. Sekali lagi saya tekankan bahwa keduanya memiliki landasan argumen dan tokoh yang kuat. Mengunggulkan pendapat yang satu, tidaklah sama sekali mengurangi kekuatan pendapat yang lain. Meyakini kebenaran satu pendapat tidak sama sekali menghapus kebenaran pendapat yang berbeda. Demikian kaidah dalam persoalan ijtihad, ”al-Ijtihadu la yanqudu bi al-ijtihadi”.


Menjawab Berbagai Pernyataan Salah Kaprah

  • Bila kita berselisih dalam satu hal maka kita kembalikan pada al-Quran dan Hadis sebagaimana perintah Allah (Farudduhu Ila Allah wa al-Rasul)

Cukup panjang untuk dijawab dengan lengkap. Saya akan buat Tulisan dan pemaparan tersendiri untuk menjawab pernyataan ini, Insya Allah. Tapi intinya, bahwa term kembali ke al-Quran dan Sunnah sangat mudah kita melafalkannya, tapi sangat sulit mengaplikasikannya. Lalu benarkah ayat tersebut dapat ditafsirkan demikian?

  • Tidak ada ulama yang mengatakan bahwa pakaian di atas mata kaki bukan syariat Islam

Argumentasi ini benar tapi tidak serta merta dapat dipahami mafhum mukholafahnya bahwa pakaian di bawah mata kaki bukan syariat Islam. Buktinya tidak semua ulama sepakat secara mutlak terhadap pengharaman pakaian di bawah mata kaki atau sepakat dengan tanpa taqyid. Dalam bahasa yang lebih sederhana, ”Benar tidak ada ulama yang berkata bahwa yang di atas mata kaki adalah bukan syariat Islam, sebagaimana juga benar bahwa tidak semua ulama mengharamkan pakaian di bawah mata kaki”, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

  • Bila terjadi perbedaan pendapat, sebagai bentuk kehati-hatian hendaknya kita tidak mengambil yang paling ringan

Sekilas argumentasi ini tampak cukup kokok, meski sebenarnya cukup banyak celah yang masih harus kita pertanyakan. Kehati-hatian itu tidak identik dengan mengambil yang lebih berat. Meski dalam beberapa contoh kasus fiqh demikian, namun juga cukup banyak kasus fiqh yang bertolak belakang. Misalnya, kalau kita ragu apakah kita sudah sampai pada rakaat ketiga atau keempat dalam shalat Dluhur, maka kita harus meyakini tiga rakaat. Bila kita ragu sudah wudlu atau belum, berarti kita dianggap belum wudlu. Itu artinya mengambil yang lebih berat. Kasus semacam ini hanya bisa digunakan dalam konteks kehati-hatian yang bersifat non-dalil, atau keragu-raguan dan perbedaan pendapat yang berada pada wilayah ’aqly. Tidak demikian halnya, dalam hal perbedaan pendapat yang bersifat naqly atau penafsiran terhadap naqly. Misalnya, apakah kita lebih baik mengikuti Imam Malik membasuh seluruh kepala saat berwudlu karena lebih berat ketimbang Imam Syafi’i yang menetapkan cukup minimal beberapa rambut saja terbasahi? Terus, apakah juga lebih baik melakukan tarawih 20 rakaat yang lebih berat daripada 8 rakaat, sementara ulama masih berbeda pendapat tentang hal ini? Jawabannya tentu bukan baik atau tidak baik, bukan pula harus atau tidak harus.

Jadi, tidaklah lebih baik –dengan mengatasnamakan kehati-hatian- menggunakan celana di atas mata kaki. Penggunaan pakaian di atas mata kaki tidak bisa menggunakan teori kehati-katian (ihtiyath). Keyakinan anti-isbal berlaku karena berpegang pada argumen yang saya paparkan sebelumnya. Itu artinya, orang yang tidak berpakaian di atas mata kaki bukan berarti tidak berhati-hati dalam memilih pendapat, tapi karena memang demikianlah keyakinan dan penafsiran mereka terhadap persoalan ini.

Siapa sich Imam yang paling terkenal dengan teori ihtiyath? Jawabnya, Imam Syafi’i. Lalu dimanakah letak pendapat Imam Syafi’i? Sebagaimana saya kemukakan di atas, Imam Syafi’i justru masuk dalam kelompok kedua, yaitu kelompok yang tidak mengharamkan isbal secara mutlak. Kalaupun pada akhirnya pendapat kedua dianggap lebih ringan dari yang pertama, ya dimana letak salahnya? Di samping itu, hukum pendapat kedua ini bukanlah hukum yang dibuat-buat hanya karena tuntutan fashion semata, karena kita ketahui bersama Imam Syafi’i dkk jauh hidup pada masa lalu. ”ad-Dinu Yusrun”, bukankah demikian. Nah, kalau ”taysir ad-din barulah itu tidak benar.

  • Isbal tidak mengikuti syariat Islam atau syariat Nabi

Pernyatan semacam ini tidak perlu saya jawab panjang lebar, karena mudah-mudahan sudah bisa dipahami dari pemaparan saya di atas. Intinya, Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz (pendapat pertama) atau Imam Syafi’i (pendapat kedua) tidak ada yang meragukan keduanya dalam menjalankan syariat Islam. Beranggapan –apalagi meyakini- bahwa yang isbal adalah pasti salah –misalnya dianggap tidak mengikuti dan iltizam terhadap Sunnah Nabi- tentu tidaklah bisa diterima dengan fakta perbedaan tafsir sebagaimana yang telah saya paparkan. Wallahu a’lam.


Lalu Saya termasuk Kelompok mana?

Bagi saya, persoalan isbal ini adalah bukan persoalan fiqh semata, melainkan juga amat kental nuansa tasawwufnya (hati dan niat). Persoalan fiqh dalam hadis ini -sekali lagi menurut pendapat saya- hanya menyangkut perihal menjaga pakaian dari najis saja. Bersih dari najis adalah syarat mutlak dalam beribadah, disamping memang kebersihan juga merupakan ajaran yang ditekankan Islam. Larangan isbal amat terkait dengan kekhawatiran melekatnya najis pada pakaian seseorang saat pakaian itu terlalu dekat dengan tanah. Akibatnya, pakaian itu menjadi kotor dan tidak sah untuk digunakan beribadah yang menyaratkan kesucian pakaian.

Selebihnya, persoalan isbal ini berkaitan dengan hati dan niat. Bagaimana kita mengatur keduanya -tidak terkecuali dalam konteks berpakaian- sangat menentukan haram tidaknya perbuatan yang sedang kita lakukan. Kata khuyala’ atau makhilah yang banyak ditemui dalam hadis-hadis nabi tentang isbal menyiratkan sekaligus menyuratkan perihal niat ini. Besar kemungkinan (mohon maaf saya belum dapat referensi sejarah yang valid) pada zaman Nabi, pakaian yang sampai menyapu tanah mengindikasikan sebuah kesombongan, sebagaimana lazim dipakai para raja-raja, sehingga nabi melarangnya. Pertama, melarang karena akan menyebabkan pakaian itu najis. Kedua, melarang karena perbuatan tersebut tanda kesombongan. Analisis saya ini diperkuat oleh hadis nabi berikut:

اِرْفَعْ ثَوْبك فَإِنَّهُ أَنْقَى لِثَوْبِك وَأَتْقَى لِرَبِّك

”Angkatlah pakaianmu. Sesungguhnya hal itu lebih bersih untuk pakaianmu dan (dipandang) lebih bertakwa di hadapan Tuhanmu”.

Hadis ini sangat jelas menunjukkan adanya dua dimensi yang saya maksudkan, dimensi fiqih (baca: najis) dan dimensi tasawwuf (baca: takwa/niat). Oleh karenanya, Imam Syafi’i juga memilih untuk lebih menyarankan mengangkat pakaian yang kita pakai sampai setengah betis. Namun sekali lagi, Imam Syafi’i tidak mengharamkan bagi yang memakai pakaian di bawah mata kaki tapi tidak disertai kesombongan. Keharaman berpakaian yang disertai kesombongan dalam dimensi tasawwuf juga bisa di-qiyas-kan pada hal di luar isbal. Memakai surban kalau sombong maka hukumnya juga haram, memakai kopyah atau baju koko bila di hati ada niatan khuyala’, maka juga haram. Begitu juga, bila kita tidak isbal dengan mengangkat pakaian kita sampai betis dengan ada niatan riya’ dan takabbur maka itupun juga haram.

Jadi dalam pandangan saya, dalam konteks pakaian normal (pakaian santai, etc), asal tidak disertai kesombongan, tidak masalah menggunakan pakaian yang menutupi mata kaki. Namun bila pakaian (celana, etc) itu memanjang sampai menyapu tanah sebaiknya dihindari, karena akan menyebabkan najis. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membersihkan diri dari najis. Sedangkan untuk pakaian yang akan dipakai untuk ibadah yang menyaratkan kesucian pakaian, maka wajib hukumnya mengangkat pakaian itu sampai selamat dari kemungkinan najis. Wallahu a’lam.

Rabu, 17 Juni 2009

Bangunan Tinggi Tanda Kiamat

Seorang mahasiswi dari arsitek bertanya: Bagaimana yang dimaksud dengan salah satu hadis Nabi bahwa salah satu tanda kiamat adalah didirikannya bangunan tinggi?

Sebelumnya telah saya kutipkan Hadis yang dimaksud dalam email yang saya kirimkan pada penanya. Hadis tersebut saya temukan dalam kitab Shohih Bukhori. Hadis ini sebenarnya secara umum berbicara bukan tentang tanda-tanda kiamat. Yang menjadi titik tekannya menurut saya adalah persoalan keimanan. Asumsi saya ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa hadis ini juga terletak pada bab Iman di kitab shohih Bukhori. Sementara kiamat adalah satu hal dari beberapa hal yang mendapat porsi dalam keimanan. Nabi sendiri tidak merinci bagaimana kiamat itu terjadi. Nabi hanya menjelaskan beberapa tanda ketika kiamat itu akan tiba.

Dalam hadis ini Nabi menyebutkan dua tanda: Ketika seorang budak melahirkan tuannnya dan ketika para pengembala unta berlomba-lomba meninggikan gedung-gedung milik mereka. Tanda kiamat yang lain sebenarnya banyak dituturkan Nabi dalam hadis yang lain. Misalnya: Merajalelanya kebodohan (moral), lelaki menyerupai wanita dan sebaliknya, Quran tinggal tulisan, Islam tinggal nama, serta tanda-tanda lain yang begitu banyak tersurat dalam beberapa hadis.

Tanda-tanda tersebut akan diartikan dan diimani secara tekstual juga boleh-boleh saja. Hanya saja, ada beberapa hal yang menurut saya akan lebih baik kalau direnungkan ketika mencoba menginterpretasikan hadis-hadis tentang tanda kiamat ini. Hal ini terkait bagaimana menjelaskan tanda-tanda tersebut secara akademis dan ilmiah.

Pertama, Hadis atau Sunnah tidaklah hidup di ruang yang kosong. Ia lahir dan hidup pada satu waktu, satu tempat, dan satu kondisi sosial sendiri. Begitu juga hadis tentang tanda-tanda kiamat. Menurut saya, ada beberapa tanda yang harus diterjemahkan tidak secara tekstual, karena sangat berbau local genius saat hadis itu dilahirkan. Sehingga pemaknaannya untuk masa kini dengan masa, tempat, dan kondisi sosial yang berbeda juga semestinya menyesuaikan.

Kedua, kalau saya perhatikan dan saya teliti, sebenarnya beberapa tanda-tanda kiamat yang disampaikan dalam beberapa hadis Nabi yang berbeda dan tersebar dalam kitab-kitab hadis yang berbeda mengerucut pada satu hal. Tanda itu adalah “ketika dunia sudah tidak lagi menjalankan hukum alam (sunnatullah –ada juga yang menyebutnya dengan syari’ah), maka terjadilah kiamat”. Dalam bahasa hukumnya, kiamat terjadi ketika apa yang seharusnya dan idealnya berlaku tidak terjadi pada kenyataannya (Das sollen tidak sesuai dengan Das sein).

Ini cukup panjang untuk dijelaskan. Ok, agar supaya lebih fokus dan lebih mudah, kita langsung saja ambil contoh tanda kiamat, “didirikannya bangunan-bangunan yang menjulang tinggi”. Sepengetahuan saya, ada dua hadis terkenal yang mengaitkan akhir zaman dengan bangunan.
  • Hadis yang saya kutipkan di atas. Hadis itu menyebutkan bahwa ketika pengembala unta berlomba-lomba mendirikan bangunan tinggi, itu menjadi pertanda tibanya kiamat. Tanda yang ini sangat local genius Arab, terlihat dari pengambilan unta –hewan ternak di Arab- sebagai contoh. Oleh karenanya, diharuskan memahami kondisi sosial pada saat itu untuk bisa mengambil ibroh (pelajaran). Pengembala unta pada masa itu identik dengan orang Badui (orang udik) yang kehidupannya nomaden atau sangat terpencil jauh dari peradaban kota (untuk mendapat keterangan ini baca karya Ibnu Khaldun “Muqaddimah”). Sehingga kalau mereka sampai membangun bangunan yang tinggi dan megah adalah satu fenomena yang dianggap menyalahi kebiasaan (hukum alam/sunnatullah). Seolah dunia sudah terbalik. Jadi hadis ini, akan lebih pas menurut saya kalau dipahami secara konstektual. Intinya ada pada pengingkaran terhadap sunnatullah. Contohnya, kalau hutan itu ditebang, sunnatullah-nya memang akan terjadi beberapa efek domino yang ujungnya akan melahirkan bencana. Oleh karenanya, jangan merusak sistem sunnatullah yang telah meletakkan alam ini secara seimbang.
  • Hadis yang menyebutkan bahwa di akhir zaman “bangunan masjid megah dan ramai namun jauh dari petunjuk Allah”. Nah, untuk hadis yang ini, sah-sah saja kalau akan diartikan secara tekstual. Masjid itu adalah tempat beribadah, tempat bersilaturrahmi, tempat belajar, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain. Namun yang terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali masjid yang dibangun dengan dana mahal dan arsitektur modern, tapi tidak menjalankan fungsi masjid dengan baik. Secara hukum alam, masjid itu bukan tempat tidur. Ia adalah tempat sholat dan tempat ilmu. Ia juga bukan sekedar tempat rekreasi guna memamerkan keindahan bangunannya saja. Ketika hukum alam itu tidak lagi dijalankan, maka itu pertanda akhir zaman.

Demikian, semoga dapat bermanfaat.

Minggu, 14 Juni 2009

Dialog "Cinta" Bersama SO7

Aku tak akan tenang bila kewarasanku kembali datang. Bila harus kembali mengingat bahwa hanya dirimu yang bisa meramaikan kesepianku. Kalau hanya dirimu yang sanggup membangunkanku. Saat ketidakwarasanku yang datang, dinding-dinding kamarku ini menjadi teman yang begitu setia menjadi tajalli dirimu. Tanpa kehadiranmu, aku justru semakin bisa menghayati keberadaanmu. Tanpa bisa menyentuhmu, kurasakan kedekatanmu dihatiku. Tanpa bibirku bergerak, detakan hatiku berjalan ke arahmu.


Belum pernah kebahagiaan seperti ini menghinggapiku. Jatuh hati kepadamu. Tumbuhkan nyaliku tuk katakan padamu, aku cinta padamu. Kuyakin kau tahu perasaanku padamu. Hanya saja seolah kau tak tahu kaulah yang sedang kutuju. Akan kunantikan hatimu mengiyakanku. Saat itu, setiap langkah yang kupijak kulalui bersamamu. Setiap tintaku hanya akan menulis atas namamu. Aku mau kau tahu, tiap tetes tatapmu padaku selalu mengiringi tanyaku, ”kapan kau jadi milikku?”


Sadarkah kau kusayangi, sadarkah untukmu aku kan banyak berbuat sesuatu. Diamku bukanlah tidak menginginkanmu. Sayang kau tidak mendengar degup jantungku yang kian berisik saat ku melihatmu. Itu tanda perasaan cintaku. Aku kan selalu mendampingimu, bila bahagia yang akan kau tuju, bila cahaya bimbingan yang kau harap kan menemanimu. Jangan hanya diriku yang tahu aku mencintaimu. Kuminta jadilah warna hidupku. Maukah hidup bersamaku?

Rabu, 11 Maret 2009

Agama Cintaku

Bukan untukmu aku menuliskan ini. Bukan juga untuk meng'aku'kan ke'aku'anku akhirnya aku memutuskan untuk merangkai kata ini. Bagiku, dirimu -di satu sisi pandanganku- tidak sama sekali berbeda dengan makhluk lainnya. Meski harus kuakui kalau -di sisi yang lain- dirimu tentu sangatlah berbeda. Perbedaan yang terkadang menuntut banyak orang berbuat berbeda. Perbedaan yang sesekali melahirkan sakit hati. Perbedaan yang sudah pasti membawa sempit makna 'cinta' yang sebenarnya keluasannya tak mampu terdefinisikan secara hakiki.

Cinta adalah kata suci bagi semua agama. Tak ada satu pun ajaran agama rela disebut anti-cinta. Ia selalu membawa pesan damai, indah, dan menenangkan. Ia tempat teduh di tengah kekeringan sahara. Ia obor gelap gulita malam. Ia pundak yang begitu nyaman dijadikan tempat bersandar saat kelelahan. Hakikat cinta adalah membawa amanah perlindungan dan kedamaian. Perlindungan dari penderitaan dan kedamaian dari kegundahan. Inilah agama hakiki, agama cinta. Inilah yang dimaksudkan "Ingatlah dengan mengingat Allah, hati kan menjadi tenang". Jangan kau sebut agama, ajaran yang tidak melawan penderitaan. Jangan kau sebut agama, hubungan yang justru menyakiti. Itu bukan cinta. Yakinlah itu bukan cinta.

Bimbinglah aku mendapat cinta hakiki Gusti... Biarkan kuasa-Mu membimbingku mencintai-Mu. Cinta yang mungkin kau jadikan para peminta, pemulung, ibu jompo menjadi wasilah-Nya. Cinta yang mungkin juga kan mengantarkanku pada dia yang mampu mengenalkanku sifat jamaliyah-Mu. Cinta seperti ini yang kuinginkan Gusti... Aku berlindung dari-Mu atas kesesatan-kesesatan atas nama cinta, atas keindahan-keindahan yang tidak memberikanku ketenangan.

Harus kuakui, cinta yang ideal memang ketika aku mencintai -dengan sangat- wujud yang- juga dengan sangat- mencintaiku. Bukan aku saja yang membuncah mencintainya atau wujud itu saja yang dengan tanpa batas mencintaiku. Namun, ketika harus memilih, apakah wujud yang kucintai ataukah wujud yang mencintaiku untuk kupilih. Maka, wujud yang -dengan sangat- mencintaiku menjadi jawabanku. Lebih baik aku menangis karena aku belum bisa mencintai -dengan sangat- wujud yang begitu mencintaiku, daripada harus kualirkan air mataku karena wujud yang -dengan sangat- kucintai tidaklah mencintaiku.

Aku kan memilih berjuang mencintai-Nya daripada harus berjuang mengemis cintanya. Tiada Tuhan yang tidak mencintai umat-Nya, meski jarang sekali umat yang berjuang mencintai-Nya. Bagiku, cinta bukanlah pemberian, tapi ia adalah perjuangan. Bukan bagaimana mendapat cintanya, tetapi bagaimana mencintainya. Lebih baik aku belajar mencintainya daripada aku berbuat sesuatu mengejar cintanya. Itulah mengapa aku harus mencintai-Nya, karena sejatinya Ia telah terlebih dahulu sangat mencintaiku. Aku memilih yang mencintaiku....

Jumat, 06 Maret 2009

Bermimpi Menulis Mimpi

Mulanya, saya tidak pernah berpikir untuk punya keinginan menulis tentang ini, tentang tulisan fiksi. Ada banyak alasan kenapa saya tidak enjoy menulis fiksi. Pertama, mungkin karena sudah sekian lama jari jemari saya terbiasa menulis dan mengetik atas dasar perintah otak kiri.. Tingkat kemampuan membahasakan hasil imajinasi saya ke dalam bentuk paragraf bisa dibilang tidak begitu bisa saya banggakan.. Pertanyaan yang terus ditekankan otak kiri saya saat menulis adalah, "ilmiah ga' nich?". Selama belum sampai pada taraf ilmiah -tentu saja dalam batasan subjektivitas saya- maka usaha meng"ilmiah"kannya akan semaksimal mungkin saya lakukan. Kedua, Saya tergolog orang yang tidak biasa melakukan tindakan persuasif dengan pendekatan fiksi. Saya yakin, semua penulis memiliki usaha mempengaruhi pembaca dalam setiap tulisannya. Nah, saya termasuk orang yang selama bertahun-tahun dilatih untuk melakukan "usaha mempengaruhi" itu dengan cara berpikir ilmiah.. (Ini sama sekali tidak saya maksudkan bahwa semua karya fiksi tidaklah ilmiah)

Saya bukannya tidak pernah menulis fiksi. Saya pernah, meski saya sendiri tidak yaikin apakah layak disebut tulisan. Saya juga tidak mengatakan kalau saya tidak suka karya fiksi (novel, cerpen, puisi, dll). Saya bahkan sangat suka menikmati beberapa karya fiksi.. Penulis seperti Cak Nun dan Pramoedya sangat saya kagumi.. Karena dalam banyak hal saya akui berhasil "dipengaruhi" oleh tulisan-tulisan mereka. Namun bukan mereka yang pada akhirnya menyebabkan saya berubah pikiran. Bukan Cak Nun atau Mas Pram yang mengilhami saya ingin menulis karya fiksi berdimensi sosial. Novel kang Abik juga tidak terlalu banyak memberikan spirit menulis novel Islam pada batin saya..

Trus kenapa dong akhirnya saya tertarik menulis fiksi?

Semalam, saya membaca beberapa tulisan teman "baru" saya dalam blognya.. Tulisannya memang semacam beberapa hasil pengalaman dan imajinasi yang ia tuliskan.. Secara akademis, teman saya ini masih dua tahun di bawah saya.. Tapi, harus saya akui, saya kagum pada kualitas tulisan dan gaya bahasa yang dia gunakan.. Indah, mengalir, dan bahasanya bisa membunuh ego para pembacanya (Saya biasa menyebutnya, tulisan berkekuatan "magis").. Tentu bukan hanya itu alasannya. Tapi, juga karena saya kenal dengan penulisnya, sehingga tentu saja menambah kekuatan "magis" tulisan yang saya baca.. (Ok.. ini tentu subjektif, tapi bagaimana kalau ada 2 sahabat saya yang berpendapat sama??)

Baiklah temanku, itu sementara yang bisa kupelajari darimu.. Setidaknya "rumah"ku ini akhirnya bisa terisi lagi oleh tulisanku setelah sekian lama tak kurawat.. Mimpiku harus terwujud.. Aku harus mampu menuliskan mimpi-mimpiku seperti atau lebih baik darimu menuliskannya...