“Mau tanya mengenai kenakalan remaja untuk dijadikan referensi, apakah jika ada dua orang lawan jenis melakukan hal layaknya suami dan istri tapi tidak sampai memasukkan alat kelamin hanya di gesek-gesekkan saja tapi yang ceweknya masih pakai CD, dan melakukan oral sex, apakah dia harus mandi wajib meskipun tidak keluar air mani? Atau apakah dengan wudlu sewaktu dia mau sholat sudah cukup? Apakah sah jika dia berpuasa?”
Pertanyaan itu masuk ke inbox HP saya saat bulan ramadlan kemarin. Pertanyaan tersebut memang bukan langsung datang dari orang yang bersangkutan. Ada salah seorang sahabat saya yang mem-forward-nya untuk meminta pendapat saya. Saat itu saya tidak bisa menjawabnya secara langsung, karena saya harus benar-benar tahu kondisi orang yang dimaksud dalam pertanyaan saya tersebut. Bagi saya, fatwa itu tidak selamanya harus ‘gebyah uyah’ disampaikan sebagaimana keyakinan pemberi fatwa, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi obyek fatwa. Demikian di antara etika berfawa yang dipegangi Imam Ahmad bin Hanbal. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang akan saya sampaikan ini adalan fatwa, Pertama, saya belum mencukupi syarat menjadi mufti. Kedua, negara ini bukan negara Islam yang mewenangkan lembaga fatwa menjadi pemutus suatu sengketa perkara. Meski demikian, saya rasa konteksnya sedikit banyak memiliki kemiripan. Oleh karenanya, saat itu saya tidak memberikan jawaban, disamping memang media sms saya merasa belum cukup untuk menjelaskan duduk jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.
Lama saya melupakan pertanyaan itu. Karena saya yakin sahabat saya itu telah memberikan jawaban. Dia pasti hanya sekedar ingin mendengar pendapat saya sebagai pembanding saja. Baru beberapa hari yang lalu, saya membuka-buka inbox HP saya dan kembali menemukan sms tersebut. Saya pun merasa tidak ada salahnya coba ikut merespon persoalan di atas dengan mendeskripsikannya dalam bentuk tulisan. Kebetulan banyak waktu luang saat liburan di rumah.
Tidak terlalu sulit memang menjawab pertanyaan di atas bila kita mengacu pada aturan fiqh yang ada. Sebagai analisa pertama saya akan menjawabnya menggunakan kerangka fiqh, karena apa yang menjadi pokok pertanyaan adalah persoalan kewajiban mandi dan sah tidaknya berpuasa. Kedua hal tersebut saya rasa tidak memerlukan jawaban yang berbelit-belit, karena dalam kaca mata fiqh tidak termasuk persoalan yang pelik. Saya menyebut persoalan fiqh, karena untuk pertama kali saya tidak akan membahasnya dari sudut pandang norma dan etika. Hal itu akan saya bahas kemudian.
Tanpa menghilangkan rasa hormat saya pada ulama madzhab yang lain, perkenankan saya menggunakan satu kitab saja untuk mengupas pertanyaan di atas. Saya akan menggunakan kitab al-fiqh al-islamy wa adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaily. Alasannya sederhana, karena saya menganggap kitab fiqh ini tergolong masih relatif baru dan cukup komprehensif dan sistematis dalam meramu serta menjabarkan pandangan beberapa madzhab pada setiap babnya.
Pertanyaan pertama menurut saya terkait dengan hal-hal yang mewajibkan mandi besar bagi seorang muslim. Secara ringkas, dapat disebutkan bahwa ada 7 hal penyebab seseorang diwajibkan mandi menurut Hanafi, menurut Hanbali ada 6, Syafi’i ada 5, dan Maliki ada 4 sebab. Lebih jelas silahkan langsung merujuk pada halaman 459 juz I. Kalau hubungan itu -bagaimanapun bentuknya- sampai mengeluarkan mani atau sperma, maka sudah tidak ada musykil terhadap kewajiban mandi. Begitu pula kalau hubungan itu –meski tidak sampai mengeluarkan mani- namun sampai pada proses yang bisa didefiniskan hubungan badan, maka itupun tidak lagi diperdebatkan kewajiban melakukan mandi besar.
Batasan berhubungan badan dalam definisi fiqh adalah bila minimal kepala kemaluan lak-laki (hasyafah) telah memasuki farji (kemaluan depan atau belakang) seseorang, baik dipaksa atau tidak, dalam keadaan tidur maupun terjaga (hal. 455/I). Batasan ini memberikan keniscayaan bahwa menggesek-gesekkan alat kelamin laki-laki ke paha atau perut, atau hanya sampai di sekitar farji, atau sekedar mempertemukan dua alat kelamin tanpa masuknya minimal hasyafah ke farji, tidak dapat disebut sebagai berhubungan badan. Oleh karenanya, menggesek-gesekkan saja, apalagi si cewek masih memakai CD, selama dengan catatan tidak sampai keluar sperma, sebagaimana pertanyaan yang diajukan, maka belum dapat disebut berhubungan badan dan tidak diwajibkan mandi besar. Sebab belum dapat disebut berhadas besar, maka cukuplah menghilangkan hadas kecil dengan berwudlu saat akan mengerjakan shalat. Begitu pula dengan oral sex, ia tidak masuk dalam definisi berhubungan badan. Hukumnya pun sama dengan penjelasan yang telah saya paparkan sebelumnya.
Pertanyaan kedua perihal puasa, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pertanyaan pertama. Karena apa yang menyebabkan mandi besar, sebagian di antaranya juga dapat membatalkan puasa. Berhubungan intim adalah satu dari sekian banyak penyebab batalnya puasa –sebagaimana wajibnya mandi- yang disepakati oleh semua ulama madzhab. Sehingga, bila suatu contoh kasus belum dapat didefinisikan sebagai “hubungan badan” (jima’), maka kasus tersebut juga tidaklah membatalkan puasa. Puasa yang dilakukan pada hari itu pun dihitung sah dan tidak perlu di-qodlo’ pada hari yang lain. Demikian pandangan fiqh dari pertanyaan yang diajukan di atas.
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa pandangan fiqh saja –dalam kasus apapun menurut saya- belum bisa mencerminkan pendapat Islam secara total. Ada banyak hal yang belum ter-cover dalam analisa fiqh. Misalnya tentang etika Islam, tasawwuf, dan hal-hal yang tidak dapat diukur lainnya. Fiqh –karena berbicara dalam konteks hukum- menjelaskan tentang hal-hal yang terukur. Sebagaimana kaidah yang terkenal dalam proses peradilan misalnya, “Innana nahkumu bi al-dlowahir, wa Allahu yatawalla al-sarair”, (sesungguhnya kita menghukumi dengan yang dlohir-dlohir saja, dan biarlah Allah yang mengurusi masalah-masalah yang tersembunyi).
Apa yang sah dan halal dalam pandangan fiqh tidaklah berarti terpuji atau tidak tercela dalam pandangan Islam. Perbuatan yang dianggap sah bukan berarti tidak berdosa dalam kaca mata Islam. Poligami, misalnya, halal dan pandangan fiqh, tapi apakah ia terpuji menurut Islam? Tentu hal ini perlu didiskusikan kembali. Thalaq (cerai) diperbolehkan secara fiqh, tapi nyatanya Islam tidak menyukainya. “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”, demikian hadis Nabi menuturkan. Jadi, tidak ada garis linear antara sah dan pahala, atau halal dan tidak berdosa. Keduanya berasal dari dua sumber bahasan yang berbeda. Fiqh tidak mengatur tentang dosa dan pahala atau terpuji dan tercela. Sama seperti ilmu nahwu yang hanya banyak berbicara tentang perubahan harakat, dan tidak banyak mendiskusikan perihal perubahan kalimat yang menjadi domain ilmu sharraf. Padahal lazim diketahui bahwa keduanya –ilmu nahwu dan shorrof- tidak terpisah satu sama yang lain, sebagaimana i’rob dan i’lal yang juga saling terkait dalam pembahasan kaidah bahasa arab.
Perbuatan pada kasus di atas tidak termasuk dalam perbuatan yang membatalkan puasa atau sampai menyebabkan mandi besar dalam pandangan fiqh, tapi apakah ia boleh-boleh saja dilakukan dan tidak berpengaruh apapun terhadap puasa yang kita lakukan? Tentu saja tidaklah demikian. Perbuatan yang menyerupai muqaddimat al-jima’ (foreplay / pemanasan dalam hubungan intim) seperti kasus di atas meski tidak sampai membatalkan puasa, namun dimakruhkan oleh ulama fiqh. Keempat madzhab sepakat memakruhkan perbuatan seperti mencium, berpelukan, dan perbuatan sejenisnya, dengan berpegangan pada fakta bahwa Nabi pernah mencium ‘Aisyah pada saat ia berpuasa (67-70/III). Namun yang saya sampaikan ini adalah kemakruhan dalam konteks hubungan tersebut dilakukan oleh pasangan yang telah halal (telah menikah). Perbuatannya halal dan menjadi makruh karena dilakukan dalam keadaan berpuasa.
Bila dilakukan oleh pasangan yang belum halal -sebagaimana contoh di atas- namun atas dasar kenakalan remaja, tentu saja hukumnya tidak lagi makruh melakukannya saat berpuasa. Hukum puasanya memang tetap sah, tapi hukum makruh yang dimaksudkan para ulama dengan perbuatan semacam kasus di atas tidaklah berlaku pada pasangan jenis ini. Hukum makruh hanya bisa diturunkan dari hukum yang halal. Hubungan yang halal bisa menjadi makruh karena dilakukan saat berpuasa. Sementara perbuatan yang telah jelas-jelas haram –baik di saat berpuasa maupun tidak- tidak bisa naik pangkat menjadi hukum makruh, demikian logika fiqh-nya. Ia akan menjadi haram selamanya, kapan dan pada saat apapun dilakukan.
Saya berasumsi bahwa tidak perlu saya menjelaskan dalil dan alasan-alasan kenapa contoh kasus di atas haram hukumnya dilakukan. Saya yakin semua pembaca sekalian sudah sedemikian paham alasan logis maupun syar’iy pengharaman kenakalan yang marak dilakukan pada remaja dan pemuda saat ini. Jangankan oral sex, petting, atau perbuatan sejenisnya, bersentuhan kulit -selain mahram- dengan disertai syahwat atau tidak saja, syara’ sudah sedemikian rupa memberikan batasan. Saya tidak menyatakan bahwa bersentuhan kulit –sebagaimana bersalaman- itu halal atau haram. Saya kira butuh space tersendiri untuk membahasnya. Saya hanya akan fokus pada permasalahan ini saja.
Terakhir, saya ingin menyampaikan satu hal yang saya rasa akan cukup menggambarkan betapa hubungan semacam contoh di atas tidak layak dilakukan oleh pasangan yang tidak halal, apalagi dalam keadaan sedang berpuasa. Tentu bukan puasa alasan keharamannya, tapi saya hanya ingin coba memberikan korelasi yang jelas dengan pertanyaan yang diajukan. ”Ada lima perkara yang disebutkan dapat membatalkan pahala puasa: Berdusta, menggunjing orang, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang lawan jenis dengan nafsu sahwat”, Demikian kata Nabi.
Tersurat dengan jelas dalam kalimat di atas, bahwa melihat dengan syahwat dapat membatalkan (pahala) puasa. Apalagi bila sampai melebihi batas itu. Maka tepatlah kiranya kalau nabi juga bersabda, “berapa banyak dari orang yang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lapar saja”. Analisa ini sengaja saya buat sesederhana mungkin, karena saya khawatir akan teramat susah dipahami orang awam kalau saya buat lebih ‘njlimet’ lagi. Saya menyebut orang awam, karena saya bisa menilai dari kadar pertanyaan yang diajukan. Wallahu a’lam bi al-showab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

mohon maaf ustad, apakah gugurnya pahala puasa termasuk memandang dengan syahwat kepada istri..?
BalasHapus