Selasa, 24 Juni 2008

My Angel

Duh Gusti Aku merindukan senyumannya
Aku merindukan gaya tertawanya
Aku merindukan perhatiannya
Apalagi kemanjaannya
Kuingin dia menjadi wasilah menggapai cinta-Mu
Kuingin dia yang menemani kesepianku
Kuingin dia ada dan nyata
di hadapanku
Meski itu keinginanku
Selebihnya aku bertawakkal pada takdir-Mu

Rabu, 11 Juni 2008

Syarat Kufu' dalam Pernikahan

Beberapa hari yang lalu ada seorang pria yang bertanya tentang maksud dan arti kufu’ pada saya. ceritanya dia ini seorang yang katanya telah memiliki pekerjaan mapan. Suatu saat dia berencana mengajak perempuan yang dicintainya untuk menikah. Namun sayangnya, perempuan itu menyatakan diri belum siap dan menggunakan dasar kufu’ sebagai alasan.

Problem semacam ini mungkin memang sering terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan itu bisa terjadi pada anda. ok, so here it is the explanation.

Kufu’ secara bahasa berarti sepadan atau kesepadanan. Dalam konteks nikah, tentu yang dimaksud adalah kesepadanan antara calon mempelai pria dan wanita. Islam memang tidak memberikan penjelasan mendetail mengenai hal ini. Oleh karenanya, dalam pandangan saya, penentuannya memang akan sangat bergantung dari kondisi sosiologis yang ada. Indonesia sendiri memiliki beragam corak budaya yang berbeda satu daerah dengan daerah yang lain. Itu artinya tidak bisa ada standar tunggal untuk menilai atau memberikan standar kufu’.

Penentuannya akan sangat ditentukan budaya yang berjalan di suatu daerah, sejauh budaya tersebut tidak bertentangan dengan syara’. Dalam Islam ketentuan ini dikenal melalui kaidah al-adah muhakkamah (kebiasaan atau budaya itu merupakan hukum). Hanya saja, menikah dan memilih pasangan adalah wilayah private (pribadi) masing-masing personal. Itu artinya tidak boleh ada sektor publik yang memberikan tekakan dalam wilayah ini. Sehingga standar kufu’ dari suatu daerah tertentu hanya bisa dijadikan bahan pertimbangan saja. Sifatnya tidaklah imperatif.

Misalnya, seorang perempuan diperbolehkan menolak khitbah seorang pria dengan alasan pelamar tidak memenuhi kualifikasi atau syarat kufu’ sebagaimana dalam budaya perempuan tersebut. Namun demikian, pihak perempuan juga diperbolehkan untuk tidak mengindahkan ”peraturan budaya” tersebut. Ia bisa saja menerima pelamar dengan kualifikasi di bawah standar yang ditetapkan.

Nabi pernah memberikan pernyataan membolehkan umatnya untuk memilih pasangan hidup dengan empat kriteria: harta kekayaan, fisik, nasab, dan agamanya. Akan tetapi syarat kufu’ dengan berpegang pada empat kriteria ini menurut saya masih perlu didiskusikan ulang. Tiga kriteria pertama terlalu riskan untuk masih dipertahankan. Disamping tampak diskriminatif, juga sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam yang egaliter. Kalaupun toh masih akan dipakai, maka sifatnya tidak mengikat. Ia kembali pada selera masing-masing personal.

Atas dasar itu, syarat kufu’ yang dimaksud dalam Islam dan hukumnya imperatif menurut saya hanya satu, yaitu kesepadanan dalam hal agama, sebagaimana penekanan yang diberikan nabi pada kelanjutan hadis di atas. Syarat kesesuaian agama kedua mempelai juga menjadi ijma´(kesepakatan) para imam madzhab. Di luar itu, tidak ada syarat kufu’ yang bisa bersifat imperatif.

BERSATU DAN BERSAUDARA

“Berpeganglah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai, ingatlah kenikmatan Allah yang melimpah kepadamu ketika kamu semuanya bermusuh-musuhan, kemudian Allah melembutkan hati-hatimu sehingga dengan itu kamu menjadi bersaudara”
(QS. Al-Imron : 103)


Tuhan mengajarkan dalam Al-Qur’an kepada kaum muslimin supaya mereka berpegang teguh dan berpedoman kepada agama Allah, ajaran dan petunjukNya yang telah digariskannya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diperintahkannya supaya bersatu, bersaudara, jangan berpecah belah dan bermusuh-musuhan antara satu sama lain. Boleh berbeda pendapat dalam hal-hal yang kecil dan ranting syari’at, bukan dalam pokok-pokok keagamaan, tetapi perbedaan itu tidak boleh memecah persaudaraan dan tidak menyebabkan putusnya persaudaraan antara umat seagama.
Perbedaan itu hendaklah dipandang sebagai hasil kemerdekaan berpikir dan melahirkan pikiran. Masing-masing dapat menguji alasan dan kebenaran pendapatnya, dibanding dengan pendapat orang lain. Sehingga kalau ada yang lupa, ingatkan dia, atau ada yang tergelincir, Bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung kepada tali (agama) Allah. Ingatlah karunia tuhan yang telah menyatukan hati umat Islam. Dengan mengenangkan nikmat tuhan, timbullah perasaan syukur, menghargai dan memelihara nikmat itu, langsung menghargai tuhan yang telah memberikan nikmat. Nikmat yang paling besar ialah menghilangkan permusuhan dan melenyapkan persengkataan, sehingga tumbuh rasa persatuan dan persaudaraan yang teguh dan kuat.

Persatuan dan persaudaraan adalah dua modal dasar yang tidak boleh tidak harus dimiliki oleh masyarakat yang mendambakan terciptanya masyarakat madani (civil society) dalam kehidupannya. Dengan bermodal dua hal tersebut, diharapkan tujuan akhir kita umat Islam yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat akan dapat terealisasi dan tidak hanya menjadi slogan yang dimuseumkan dalam angan-angan semata, mengingat apa yang ada saat sekarang ini di kalangan kaum muslimin menunjukan gejala seperti itu. Mereka tahu akan arti penting sebuah persatuan dan persaudaraan, tetapi mereka masih saja mengikuti hawa nafsu mereka masing-masing.

Fenomena perpecahan di kalangan kaum muslimin sendiri sering kali menjadi headline media massa pada beberapa tahun terakhir, seiring dengan rentangnya konflik yang timbul akibat perbedaan partai politik di antara mereka. Jelas kasus ini bukan hal yang biasa-biasa saja, oleh karena kredibilitas agama yang mereka anut akan sangat mempengaruhi persepsi orang dalam menilai suatu ajaran. Jangan sampai orang di luar Islam memiliki asumsi bahwa agama Islam adalah agama yang melegitimasi perpecahan serta mengesahkan umatnya untuk berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ikatan ukhwah sedikitpun.

Ibnu Umar RA. Menceritakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Muslim satu adalah saudara bagi muslim lain yang tidak boleh saling menganiaya. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka allah akan juga membantu kebutuhannya. Sedang orang yang melonggarkan kesulitan saudaranya, maka Allah akan berbuat hal serupa di hari pembalasan nanti. Begitu juga bagi orang yang tidak membuka aib saudaranya, Allah pun akan menutupi aibnya nanti di hari kiamat.

Di zaman nabi di Madinah, ada dua suku penduduk madinah, yaitu “Auz” dan “Khazraj” yang telah bermusuhan dan berbunuh-bunuhan. Setelah nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah dan berkembangnya agama Islam pada penduduk Madinah, mereka menjadi bersatu dan bersaudara. Dengan persatuan dan kerjasama antara kedua suku Auz dan Khazraj itu, bukan saja mendatangkan keselamatan dan perdamaian bagi kedua suku itu, melainkan berjasa bagi perkembangan agama Islam dan penyusunan masyarakat Islam.

Apabila kepercayaan berlainan, pandangan hidup tidak sama, seorang yang satu hendak memaksakan kepercayaan dan cara hidupnya kepada yang lain dan satu golongan merasa lebih tinggi dari golongan yang lain, sudah tentu pertentangan tidak dapat dihindarkan. Jalan satu-satunya untuk mencapai persatuan yang teguh kuat ialah berpegang pada ajaran Allah dan menumbuhkan persaudaraan, menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam antara yang satu dengan yang lain.

Dalam mengatasi perseteruan di kalangan ummatnya, Islam memiliki konsep Islah sebagai salah satu media penyelesaian friksi, terutama dalam lingkup intern keagamaan. Konsep ini dalam pengejawantahannya selalu mengedepankan prinsip musyawarah dan meletakkan ajaran Al-Qura’an dan hadits sebagai acuan dalam mengambil satu keputusan. Islam adalah agama humanis yang sangat mengecam lahirnya permusuhan dalam kehidupan umat manusia. Bahkan untuk mewujudkan hal tersebut, Islam mengikat seluruh pengikutnya dengan suatu jalinan persaudaraan. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu adalah bersaudara, maka berdamailah antar sesama saudara”.

Tidak aneh kalau Islam memberikan penekanan yang sedemikian besar terhadap persatuan dan persaudaraan, karena sifat alamiah manusia yang dipenuhi keburukan dan perilaku kerimbaan dapat muncul sewaktu-waktu tanpa dapat dikendalikan. Oleh sebab itu kontrol sosial dari sesama saudara seiman akan sangat berpengaruh dan memberikan kontribusi besar dalam usaha menstabilkan kondisi kehidupan yang berjalan. Semua itu akan sangat sulit terwujud bila umat Islam masih belum mampu menyeragamkan persepsinya mengenai arti penting persatuan dan persaudaraan itu sendiri.

Hanya seorang saudara yang sangat paham pada penderitaan dan keinginan saudaranya yang lain. Perbedaan ideologi dan kultur tidak menyebabkan lalu sekelompok umat tidak dapat dipersatukan dan diberi ikatan persaudaraan. Justru perbedaan itu harus mampu dimanage agar supaya menjadi suatu kelebihan yang akan banyak memberikan manfaat pada perjalanan umat tersebut nantinya. Sangatlah mahal arti persatuan untuk dapat dihancurkan dan dicerai beraikan hanya dengan suatu perbedaan yang lahirnya pun berawal dari nafsu manusia saja.
Sekarang seharusnya kita bertanya pada diri kita masing-masing. Sudahkah kita melakukan suatu hal yang bermanfaat bagi saudara-saudara kita yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini?. Bukankah budaya cuek dan tidak mau tahu penderitaan orang lain sudah menjadi virus yang menghinggapi hampir sebagian besar umat kita?. Lalu bagaimana kita akan bisa berbuat sesuatu bagi mereka, sedangkan untuk tidak berbuat kerusakan dan kerusuhan saja kita tidak mampu. Padahal keduanya merupakan cikal bakal dari perpecahan yang seharusnya wajib kita hindari.

Menyimpang dari jalan yang benar, jalan yang telah digariskan oleh Allah dan rasulNya serta hidup dalam perpecahan, akibatnya sangat membahayakan, terutama melemahkan semangat perjuangan dan hilangnya kekuatan. Firman Allah dalam Al-Anfal ayat 46 “Taat dan patuhlah kepada Allah dan rasulNya dan janganlah saling berselisih yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu serta bersabarlah. Allah sungguh berada di pihak orang yang bersabar”
Akhirnya, kita sebagai umat Islam dituntut untuk bisa melakukan muhasabah atau introspeksi terhadap perilaku kita selama ini. Jangan lagi kita mengabaikan ukhuwah Islamiyah dan hanya mementingkan hal-hal yang bersifat pribadi dan kenikmatan sejenak saja. Agama ini akan sulit untuk mencapai kejayaan dunia apabila tidak ada lagi persatuan dan persaudaraan di kalangan umatnya. Hal itu harus mulai kita tumbuhkan dari diri kita sendiri sebagai bagian terkecil dari umat Islam. Kita juga memohon pada Allah untuk menjaga keutuhan umat ini dan menjauhkannya dari perpecahan.

Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh, bersatu dalam iman kepada Allah dan rasul, bersatu dalam tujuan dan pandangan hidup yang sama.

Senin, 09 Juni 2008

Dariku untuk-Mu

Ya allah jadikanlah aku golongan dari hamba-Mu yang istiqomah
Jangan kau biarkan aku berlumur kenistaan
Tutupilah aibku.... Sungguh hanya Engkau Dzat yang mampu menutup aib sebanyak yang kupunya
Izinkan aku mengambil faidah dari setiap hari yang kulalui


Ya Rahman.... Belas kasih-Mu masih terus keharapkan
Ya Ghaffar..... Ampunan dari-Mu tak kan pernah berhenti kupinta
Ya Haadi..... Hanya petunjuk-mu yang bisa menyelematkan


Aku sadar belum menjadi hamba-Mu yang terbaik
Tapi aku yakin Engkau kan selalu ada saat kubutuhkan
Aku rindu kasih sayang-Mu
Aku menantikan ampunan-Mu
Kan kucari petunjuk-Mu
Di malam, saat dunia tak lagi menggangguku, saat dunia tersenyum padaku

Kamis, 05 Juni 2008

Habib Rizieq: Siapa Sich Lhoo

Sekali lagi kita diramaikan dengan aksi brutal Front Pembela Islam (FPI) saat menyelesaikan masalah. Aksi yang terjadi di Monas bukanlah aksi pertama yang menyita perhatian banyak kalangan. Sebelumnya, dari club malam sampai kantor majalah playboy pernah menjadi sasaran amuk massa FPI. Tampaknya budaya penegakan masalah dengan penyerangan dan pengerusakan telah menjadi modus operandi tersendiri bagi mereka. Bedanya insiden Monas di publish habis-habisan oleh media karena kelompok yang mereka serang saat itu adalah kelompok yang memiliki basis massa besar. Dalam hal ini tentu saja yang saya maksud adalah Nahdlatul Ulama.
Banyak kalangan yang berpraduga bahwa insiden ini sengaja didesain sedemikian rupa agar fokus masyarakat pada kenaikan BBM menjadi beralih. Kemungkinan tersebut memang selalu terbuka untuk menjadi kenyataan. Hanya saja, kita juga jangan sampai lupa bahwa aksi kekerasan tersebut tetaplah sebuah kejahatan yang harus dipertanggung jawabkan oleh para pelakunya. Apapun alasan massa penyerang, tetaplah tindakan mereka tidak bisa dibenarkan dari sudut pandangan manapun.
Kalau Habib Rizieq mengatakan bahwa massa penyerang terprovokasi karena sebutan laskar setan dari orang-orang yang menjadi korban penyerangan. Kemudian menghalalkan mereka untuk melakukan penyerangan. Maka apakah Habib Rizieq juga layak dipukuli massa pendukung gusdur, karena menyebut gusdur buta mati dan buta hati, bahkan dituduh antek yahudi (wawancara TVone)? tentu bukan itu solusinya. Padahal, Kecuali buta mata, tuduhan Habib Rizieq yang lain pada gusdur pasti akan masih perlu diperdebatkan kebenarannya. Makanya banyak warga NU di bawah yang bereaksi pada insiden tersebut.
Susahnya memang, ketika mereka membawa-bawa nama jihad dalam setiap aksi penyerangan yang mereka lakukan. Jadi, mereka dibunuh sekalipun pasti merasa mati dalam keadaan syahid. Padahal perintah penyerangan dalam Jihad berdasarkan aturan syara' harus dilakukan melalui perintah Imam. Pertanyaannya, apakah Habib Rizieq layak untuk disebut Imam? Tak pernah gentar memang ciri yang harus dimiliki imam yang ideal. Tapi tak pernah gentar tentu tidak identik dengan keras kepala, apalagi berpikir singkat sebelum berbuat. Belum lagi fakta ungkapan tidak baik yang pernah ia lontarkan pada orang lain. Siapapun orangnya, tentu ungkapan-ungkapan tersebut tidak pernah dicontohkan Rasulullah.
Bagaimanapun juga, Bukankah Allah menjamin orang yang masih ada keimanan walau sebesar dzarrah dalam dirinya akan tetap masuk syurga? Lalu atas dasar apa kita tidak menganggap orang lain, apalagi yang jelas-jelas seiman sebagai saudara, sementara Allah masih bersedia menjanjikan syurga-Nya padanya.