Kamis, 30 Desember 2010

Catatan Dari Bukit Jalil; Fikih Sepak Bola (Part 2-End)

Terakhir kali kubaca tulisanku ini sebelum akhirnya kuposting, sebenarnya aku sedang diliputi kesedihan mendalam dan kebahagiaan semu, kawan. Aku sedih –sudah pasti kalian tahu- karena akhirnya Timnas Indonesia-ku gagal “mempertahankan” piala AFF untuk tetap berada di Jakarta, karena piala itu dibawa pergi ke negeri Malaysia. Tapi, aku bahagia karena tulisanku hari ini bisa kurampungkan sehubungan dengan pengumuman bahwa Jum’at (31/12/’10) besok adalah public holiday (libur bersama) di Malaysia. Itu artinya aku punya cukup waktu lebih hari ini. Namun tetap saja –seperti kubilang- ini kebahagiaan semu, kawan, karena libur bersama di Malaysia ini sebagai bentuk perayaan (celebration) atas kemenangan Timnas Malaysia membawa pulang Piala AFF dari Jakarta. “Ah, ada-ada saja Malaysia ini, piala AFF sampai bisa meliburkan dunia pendidikan”, pikirku saat aku mendengar pengumuman itu.

Kawan, aku akui judul yang kupilih di atas harusnya memang untuk sebuah buku. Terasa kurang cocok kalau dipergunakan untuk sebuah artikel pendek. “Too General”, itu mungkin alasannya. Bahasa fikih memang mencakup sekian banyak pembahasan “njlimet” yang tak akan pernah bisa dibatasi, kawan. Tapi aku mengajak kalian untuk berpikir out of box dan keluar dari pemahaman yang sudah umum. Aku meyakini bahwa sebenarnya, tak ada satu pun aktivitas manusia yang luput dari bahasan fikih. Baik langsung maupun tidak langsung, manusia dengan seluruh kegiatannya pasti berhubungan dengan salah satu aktivitas fikih. Terlebih kalau kita menggunakan makna harfiah fikih yang berarti pemamahan, maka tentu saja semuanya bisa masuk dan bisa dimasuki fikih, tidak terkecuali sepak bola. Maka apa yang kusebut fikih sepak bola bukan sebuah hal yang mengada-ada atau hanya istilah iseng, kawan. Itu nyata bisa didiskusikan, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik. Pemilihan kata fikih juga bukan kutujukan untuk menunjukkan sakralitas tulisan ini, justru sebaliknya agar kalian tahu bahwa tulisan ini berdasarkan subjetivitas pemahamanku yang mungkin salah, tapi juga mungkin mengandung kebenaran.

Namun kalian tidak perlu khawatir, kawan, karena aku sedang tidak menulis paper buat tugas kuliah, jadi aku tidak akan membahasnya se”njlimet” tulisan akademik. Untuk membatasi bahasan pada artikel ini, aku hanya akan menganalisis hasil pengamatan dari apa yang kulihat, kudengar, dan kurasakan selama beberapa jam berada di Bukit Jalil Stadium. Setidaknya ada dua hal yang ingin aku share dengan kalian, kawan. Pertama, tentang fikih sholat suporter bola, dan kedua tentang fikih nasionalisme suporter bola.


Fikih Sholat Suporter Bola

Jujur saja kawan, pagi hari sebelum berangkat menuju stadion, aku sebetulnya sudah berpikir untuk “mungkin terpaksa” tidak melakukan sholat maghrib di hari itu. Kalian tahu pasti bahwa pertandingan tersebut berlangsung hanya setengah jam setelah masuk waktu maghrib. Cukup sulit untuk keluar stadion guna menunaikan Maghrib di tengah sesak penuh suporter bola, begitu pikirku waktu itu. Aku pun meyakinkan diriku kalau Tuhan sang Maha Welas Asih pasti punya banyak rahmat untuk mengampuni kesalahanku di hari itu. Rencana kedua yang ada di benakku saat itu mungkin aku bisa melakukan sholat –walau tidak sempurna- saat berada dalam stadion di antara sela-sela bangku penonton. Kalau perlu sekalian kuajak sahabat-sahabatku yang lain untuk berjama’ah, biar tidak tampak aneh sholat sendirian. Itu semua terlintas dalam rencanaku, kawan.

Alternatif lain juga sudah kupersiapkan, kawan. Beginilah kalau banyak tahu fikih ibadah, malah makin banyak tahu beragam pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan. Memang terkadang orang yang tak terlampau banyak tahu tentang pilihan-pilihan dalam fikih, menurutku justru baik dari satu sisi. Mereka yang tak alim fikih itu biasanya bermain pada wilayah aman, mengikuti aturan dasar, dan melaksanakan qaul (pendapat) yang dianut mayoritas ulama. Mereka hanya tahu satu pilihan yang mereka anggap benar dan mereka serius dengan itu. Berbeda dengan aku, yang sebenarnya sudah mencoba untuk juga bermain aman, namun kadang “dipaksa” untuk tetap memikirkan “pendapat-pendapat” yang mungkin tidak populer bagi sebagian orang.

Alternatif yang kupersiapkan tadi adalah kemungkinan untuk melakukan jama’ (mengumpulkan) antara sholat Maghrib dan Isya’. Pemikiran ini sudah pasti tampak tidak populer, kawan, karena memang begitulah faktanya. Bahkan bisa jadi aku dicap telah menciptakan syari’at baru, karena dianggap mengada-ada. Mayoritas memang memahami bahwa jama’ sholat hanya bisa dilakukan bila berada dalam sebuah perjalanan (safar) yang minimal menempuh jarak + 80-90 KM. Sementara aku yang tidak dalam perjalanan, malah cuman “nongkrong” di stadion, bisa-bisanya berpikir melakukan jama’ sholat Maghrib dan Isya’. Tapi tunggu dulu, kawan, Jangan dulu menghakimi pikiranku. Karena apa yang kupikirkan belum tentu kulakukan, sebagaimana apa yang kuyakini halal -seperti poligami- belum tentu juga aku anjurkan, apalagi aku lakukan.

Imam nawawi berkata, "beberapa imam memperbolehkan jama’ bagi orang yang tidak musafir, bila ada suatu kepentingan, dengan catatan tidak dijadikan sebagai kebiasaan." pendapat ini dikuatkan dari riwayat ibnu abbas bahwa Rasulullah pernah menjamak shalat zuhur dengan ashar serta maghrib dengan isya di madinah, bukan karena ketakutan atau hujan. ibnu abbas ditanya, "mengapa nabi Saw. berbuat demikian?" ia menjawab, "agar beliau tidak menyulitkan ummatnya." (HR Muslim).

Jadi, sebetulnya aku punya landasan untuk menjama’ sholat Maghrib dan Isya’, kawan, karena ada suatu kepentingan (hajah mubah) dan aku pun tidak menjadikannya kebiasaan (hanya pas nonton di stadion saja). Tapi, kebolehan men-jama’ sholat tanpa ada alasan ini sebenarnya masih kontroversial, kawan. Setidaknya bisa aku sebut bahwa qaul ini adalah pendapat langka (syadz) yang kusarankan sebaiknya tidak kalian ikuti. Maaf kawan, tidak bisa kujelaskan di sini kontroversi yang kumaksudkan tadi, karena memang bukan itu yang sedang coba kutulis. Hanya satu hal yang penting bahwa pendapat itu memang ada dan bukan aku yang membuatnya ada.

Kembali ke Bukit Jalil, kawan. Apa yang kujelaskan di atas itu baru ada dalam tahapan rencana dan pemikiran. Aku sekedar mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa kupilih saat aku telah tiba di Bukit Jalil. Tapi syukur Alhamdulillah, ternyata tiga rencana “nyeleneh”ku tak sampai kulakukan, kawan. Bayanganku tentang Bukit Jalil tidak sama dengan yang kutemukan saat aku memasuki stadion tersebut. Kukira aku akan kesulitan menemukan surau atau musholla. Ah, ternyata tersedia banyak surau di dalam stadion dengan tempat wudlu yang sangat memadai. Rencana-rencana itupun kubatalkan semua, karena aku bisa dengan nyaman melaksanakan sholat Maghrib, bahkan dengan berjama’ah bersama suporter Malaysia dan Indonesia.

Tapi maaf kawan, aku harus jujur –meski agak malu- mengatakan bahwa dari puluhan ribu penonton Indonesia di Bukit Jalil, hanya sedikit yang kulihat meluangkan waktu 10-15 menit untuk meninggalkan bangkunya menuju surau terdekat. Mungkin karena memang semuanya berjubel untuk duduk, padahal tidak semuanya kebagian kursi. Aku pun harus bergantian dengan temanku untuk menjaga tempat duduk yang sudah kita kuasai dari 2 jam sebelumnya. Aku pun sempat geleng-geleng kepala, kenapa di surau yang berada tepat di bawah kursi suporter Indonesia, justru ada banyak suporter Malaysia yang sholat. Ke mana suporter Indonesia? Logikanya, surau itu semestinya dipenuhi suporter Indonesia, kawan, karena itulah surau terdekat dari kumpulan ribuan suporter Indonesia, meski kenyataannya tidak demikian, kawan.

Namun, di luar itu semua, surau itu menghadirkan ketakjuban lain buatku, kawan. Aku takjub melihat kebersamaan dan kedamaian luar biasa antara beberapa suporter Indonesia dan Malaysia di tengah jama’ah sholat. Seandainya saja mereka belajar dari sportivitas di dalam sholat itu, tentunya tak akan kalian temukan makian dan lemparan botol selama pertandingan berlangsung. Mereka pasti akan saling respek dan bersahabat satu dengan yang lain. Sayangnya mereka tidak belajar dari falsafah shalat berjama’ah, kawan, sehingga kalian pun tahu kalau makian dan lemparan itu akhirnya terjadi sepanjang pertandingan.

Meski susah akalku menerima, tapi aku tetap berbaik sangka (khusnuddzon) –sebagaimana agama mengajariku- terhadap para suporter yang kulihat sama sekali tidak beranjak menuju surau itu, kawan. Ada yang masih teriak-teriak di dekat pagar pembatas, tapi mayoritas duduk manis, hanya sesekali saja berdiri berteriak, sambil menunggu pertandingan berlangsung. Pertama, mungkin saja mereka bukan Muslim, sehingga mereka tidak diwajibkan shalat. Kedua, bisa jadi mereka berpikiran sama dengan yang sempat kupikirkan untuk menggunakan alternatif ketiga, yaitu mengumpulkan (jama’) shalat Maghrib sekalian dengan Maghrib sepulang dari Bukit Jalil. Ah, aku tak mau ambil pusing lah, kawan. Berbaik sangka akan jauh lebih menenangkan hati dan pikiranku.

Persoalannya sekarang adalah:
1. Apakah semua stadion di Indonesia –yang memiliki mayoritas penduduk Muslim- peka terhadap pentingnya kuantitas dan kualitas surau di dalam stadion?? Kalau sebagian suporter bola ada yang tidak shalat karena beralasan tidak ada surau atau fasilitas yang memadai, tidakkah itu berarti (pemerintah) daerah –sebagai pengelola stadion- turut berkontribusi terhadap penyebab “dosa” para suporter bola, sehingga mereka pun harusnya turut ber”dosa”?
2. Kalaulah stadion-stadion di Indonesia telah memiliki fasilitas tempat sholat yang memadai, akankah para suporter bola menggunakannya? Ataukah akan bernasib sama seperti masjid dan surau-surau di jalan umum yang hanya dijadikan persinggahan untuk tempat kencing dan (maaf) be’ol musafir muslim?

Sekali lagi pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban, kawan, tapi butuh tindakan perubahan.


Fikih Nasionalisme Suporter Bola

Saat berada di tengah-tengah suporter bola di Bukit Jalil, tidak ada yang kurasakan sebesar nasionalisme suporter yang terpancar melalui atribut, teriakan nasionalis, dan wajah-wajah penuh harapan serta keyakinan terhadap masing-masing tim nasional. Mereka seperti para komandan perang yang berteriak kencang memacu semangat “para tentara” bersenjatakan bola yang sedang berjuang atas nama bangsa di tengah lapangan. Bahkan sebelumnya, pasca kemenangan beruntun Timnas Indonesia di babak penyisihan dari tim-tim lawan, nasionalisme menjadi topik hangat yang diperbicangkan di Indonesia, kawan. Sebuah survey menyebut bahwa rasa nasionalisme masyarakat Indonesia berada pada titik tertinggi saat Timnas dipastikan berhasil lolos ke babak final. Semua orang di Indonesia bangga dengan ke-Indonesian-nya. Semua orang Indonesia berteriak cinta Indonesia.

Tapi “ngomong-ngomong”, kawan sebetulnya tahu tidak apa sebenarnya makna nasionalisme? Jangan-jangan aku dan kalian “ngalor-ngidul” akan membahas nasionalisme, tapi kita sama-sama buta terhadap obyek yang kita bicarakan. Ok lah kawan, aku “copy-paste”kan aja definisi nasionalisme dari beberapa pakar agar kita bisa lebih obyektif, daripada kalian kupaksakan mengikuti definisiku.
1. Huszer dan Stevenson: Nasionalisme adalah yang menentukan bangsa mempunyai rasa cinta secara alami kepada tanah airnya.
2. L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu keadaan jiwa dan suatu kepercayaan, yang dianut oleh sejumlah besar individu sehingga mereka membentuk suatu kebangsaan. Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa.
3. Hans Kohn: Nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi.

Kurasa kali ini kalian sudah mafhum maksud dari nasionalisme, kawan. Nah, tinggal persoalannya sekarang adalah bagaimana Islam memandang nasionalisme? Apakah nasionalisme termasuk paham yang diperbolehkan atau justru dianggap bertentangan dengan Islam? Ini masih berkaitan dengan suporter bola, kawan, karena kalau nasionalisme dihukumi boleh dan tidak bertentangan dengan Islam, maka hukumnya mubah (boleh) para suporter untuk datang ke stadion atas nama nasionalisme. Namun kalau ternyata bertentangan, ya berarti mayoritas suporter bola muslim di Bukit Jalil (setengahnya saja sekitar 45 ribuan, padahal pasti lebih) bisa dianggap sedang berada dalam kesesatan dan sedang mempraktekkan paham sesat, yaitu nasionalisme. Mungkin bagi penentang Ahmadiyah, sama sesatnya seperti paham Ahmadiyah.

Ok lah sebelum itu kuberi kalian deskripsi singkat, kawan. Sebagian pemikir memang menyatakan bahwa nasionalisme tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal, sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Tapi menurutku, pemikiran pertama ini tampak tidak pas untuk diejawantahkan terhadap suporter bola, kawan, karena sejatinya para suporter bola tidak paham sejarah nasionalisme di eropa yang sekuleristik atau sejarah universalitas Islam melalui lembaga khilafah. Jadi bagaimana mungkin bisa menghukumi orang-orang yang memang pada dasarnya tidak mengerti.

Ada juga pemikir yang tidak pukul rata atau “gebyah uyah” menghukumi “sesat” nasionalisme, kawan. Mereka masih memilah mana-mana nilai yang masih bisa diambil manfaat dari paham nasionalisme dan mana yang nyata-nyata tidak bisa dipraktekkan. Pemikiran ini didasarkan pada fakta bahwa afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam. Rasanya pemikiran kedua ini lebih pas untuk dijadikan alat ukur analisis nasionalisme ala suporter bola, kawan.

Maksudku begini kawan, kalau rasa nasionalisme para suporter bola yang mereka tunjukkan di stadion bertujuan membuktikan kecintaan mereka terhadap tanah air masing-masing, bagiku itu tidak ada masalah. Coba saja pikir, di mana letak nilai negatif dari perasaan cinta tanah air? Tidak ada sama sekali, kawan. Hanya yang perlu diperhatikan adalah bahwa perasaan cinta tanah air sendiri tidak harus selalu bergandengan dengan perasaan benci pada tanah air orang lain. Nah, pada poin inilah para suporter bola harus berhati-hati, karena cinta Indonesia tidak berarti benci Malaysia, demikian pula sebaliknya. Menyayangi Indonesia bukan berarti terus menghujat Malaysia. Itu nasionalisme yang berlebihan namanya. Islam tidak menyukai yang berlebih-lebihan alias kebablasan. Sikap semacam ini yang bertentangan dengan Islam.

Mencintai lokal Indonesia tidak berarti tidak setuju dengan universalitas Islam, kawan. Aku sayang penduduk Indonesia dan aku juga sayang orang-orang Muslim di luar Indonesia. Sayangku yang pertama karena kecintaanku pada tanah airku dan yang kedua karena demikian agama memerintahkanku. “Orang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain”. Keduanya jangan dipertentangkan dan jangan pula saling mengalahkan. Tinggal bagaimana kita dengan tepat meletakkan sesuatu sebagaimana porsinya, kawan.

Di sini pula letak paham nasionalisme suporter bola yang menurutku kebablasan, kawan. Mereka berniat untuk menunjukkan kecintaan yang sangat tinggi terhadap tanah air, tapi mereka terkadang salah menentukan caranya. Di zaman penjajahan, mungkin kecintaanmu terhadap tanah air bisa kau buktikan dari seberapa banyak penjajah yang kau bunuh, kawan. Tapi ini bukan lagi zaman perang. Ini bukan hubungan antaran Negara penjajah dan Negara terjajah. Dalam zaman modern, tidak perlu suporter bola menggunakan aplikasi nasionalisme ala zaman pra kemerdekaan yang mengidentikkan nasionalisme dengan keberanian memerangi Negara asing. Perbuatan sebagian suporter Indonesia melempari polisi Malaysia yang berjalan berkeliling lapangan Bukit Jalil -untuk memastikan keamanan- sepanjang pertandingan membuatku miris, kawan. Padahal apa salah para polisi itu? Toh mereka juga tidak sedang menangkapi para TKI. Lalu kenapa mereka para suporter harus marah? Itu bukan nasionalisme, kawan. Itu anarkisme namanya.

Nasionalisme menurutku adalah ring atau lingkaran terdalam dari sebuah persatuan dan ikatan kekeluargaan. Masyarakat Indonesia dipersatukan oleh rasa kebangsaan yang sama. Di luar itu masih ada lingkaran-lingkaran lain yang juga mempersatukan masyarakat Indonesia. Dalam Islam misalnya, maka Islam menjadi lingkaran –setelah nasionalisme Indonesia- yang mempersatukan para pemeluknya sebagai satu saudara. Setelah itu masih ada lingkaran lain, seperti lingkaran kemanusiaan (humanisme) yang meletakkan manusia pada hak-hak dasar yang wajib dipenuhi. Jadi, tidak tepat kalau nasionalisme diposisikan sebagai puncak dari lingkaran persatuan dan ikatan. Masih banyak kekuatan dan ikatan di atas nasionalisme kebangsaan.

Nah, dalam perspektif Islam, setidaknya ring Islam sebagai satu komunitas itu harus dihormati dan dipatuhi, kawan. Bila sebagai orang Islam, semestinya suporter bola Indonesia juga turut sadar bahwa orang-orang Malaysia yang mereka maki-maki itu adalah saudara seagama mereka. Bahwa mereka adalah saudara yang selalu didoakan dalam setiap khutbah-khutbah jumat di seluruh dunia. Allahumma ighfir lil muslimin wal muslimat (Ya Allah ampunilah semua kaum muslimin dan muslimat). Sebagai sesama Muslim, sudah semestinya –yang namanya ukhuwah islamiyah- tetap dijaga. Sebetulnya bukan persoalan seagama atau bukan, kawan, tapi siapapun yang dimaki ya tetap salah, karena makian itu sendiri secara mandiri (dzatiyah) memang sebuah kesalahan. Sehingga singkatnya, kalau tidak bisa menghormati mereka karena beda bangsa, hormatilah mereka karena persamaan posisi sebagai umat Islam. Kalaupun bukan umat Islam, maka tetap berikan mereka rasa hormat sebagai sesama umat Tuhan. Itulah yang kumaksud dengan ring atau lingkaran ikatan persaudaraan, kawan. Jadi, jangan sampai ajaran agama yang tinggi itu kalian jual dengan harga murah kepada nilai dan paham yang disebut nasionalisme. Jangan sampai, kawan.

Nasionalisme bagiku dibentuk bukan untuk memisah-misahkan, kawan, tapi justru untuk merapatkan barisan dan merekatkan tali persaudaraan. Nasionalisme Indonesia misalnya, dibentuk bukan untuk menghujat nasionalisme Malaysia. Kalaupun mereka pernah mencuri apa-apa yang milik Indonesia, maka tidak perlu berjuang dan menghukum mereka atas nama nasionalisme Indonesia, karena hakikat pencurian adalah buruk apapun motivasinya dan siapapun dalangnya. Yang jelek adalah pencuriannya, bukan nasionalismenya. Jadi jangan mudah terpancing dengan term-term nasionalisme yang justru coba mengadu domba dan sebenarnya tak memberikan manfaat apa-apa pada kalian, kawan.

Terlebih untuk Indonesia, kawan. Jangan terlalu percaya dengan slogan dan pidato berapi-api tentang nasionalisme. Saat ini tidak ada hal yang tidak dipolitisasi oleh kaum elit Indonesia. Mulai dari kemiskinan, bencana alam, sepak bola, bahkan hingga nasionalisme, semuanya menjadi komoditi politik. Aku orang Indonesia, kawan, dan aku cinta tanah airku. Aku bukannya pesimis, kawan, tapi sekedar mengajak kalian untuk selalu berhati-hati dan tetap waspada untuk tidak selalu mengikuti arus yang berjalan. Aku tahu kalian mencintai Indonesia dan kalian juga punya semangat nasionalisme tinggi. Aku berpesan jagalah cinta itu tetap murni. Jangan sampai ditunggangi arus kepentingan yang justru memecah belah kalian sebagai satu bangsa, satu agama, atau bahkan satu manusia.

Cintai bangsamu tapi tak perlu kau benci bangsa lain. Pegang teguh agamamu tapi jangan kau kutuk agama lain. Dan perlakukan orang lain sebagai manusia, karena kuyakin kau pun ingin diperlakukan sebagai manusia. Kupesankan itu, -Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya- bukan karena aku membela Malaysia, kawan, atau karena membenci tanah airku sendiri, tapi karena aku mencintai dan menyayangimu. Wallahu a’lam.

(Ampang, Kuala Lumpur, Malaysia di penghujung 2010)

Selasa, 28 Desember 2010

“Catatan Dari Bukit Jalil; Filsafat Suporter Bola” (Part 1)

Rencana ide untuk tulisan ini begitu saja mengalir sesaat Malaysia memastikan gol ketiganya melalui Safee Ali pada menit 70-an. Entah ilham dari mana tiba-tiba saja otakku ditindih sedemikian besar kegelisahan yang memaksaku untuk menuliskannya. Iya kawan, aku dan beberapa sahabatku memang memberikan dukungan langsung untuk Indonesia di Bukit Jalil. Ah, bukan untuk dukungan lah alasan utamaku datang ke Bukit Jalil. Terdengar klise ya?? Sebetulnya sebagai orang baru di Malaysia, tujuan utamanya ya jalan-jalan dan pengen tahu aja rupa stadion Bukit Jalil.

Ok kawan, jujur saja kekalahan itu memang menyesakkan buat mayoritas masyarakat Indonesia. Aku pun sesak dibuatnya. Tapi, tidak semua, kawan. Ada orang Indonesia yang sedikit mengucap syukur atas kemenangan Malaysia. Siapa lagi kalau bukan beberapa saudara-saudari TKI Ilegal kita yang mencari nafkah untuk anak dan keluarga tercinta di Indonesia. Mereka bersyukur, karena hampir menjadi sebuah kepastian, bahwa setiap even yang memenangkan Indonesia atas Malaysia berarti kabar buruk buat mereka. Frekuensi operasi polisi dan imigrasi Malaysia akan semakin tinggi dan semakin intensif. Itu berarti mereka harus cekatan untuk sembunyi, lari ke hutan, atau kalau tak beruntung harus dibui selama beberapa bulan lalu dideportasi.

Kembali ke bola kawan. Banyak analis yang berkomentar atas kekalahan Indonesia. Di Indonesia, ada yang mengakui bahwa Malaysia lebih baik. Tapi ada pula yang mengkambinghitamkan laser sebagai aktor jahat kekalahan Indonesia. Sebaliknya, Malaysia melalui Koran-koran pagi sehari setelah pertandingan memasang headline berjudul “Indonesia Tersungkur Dibaham Malasia 3-0”. Pada bagian isi beritanya, mereka menyebut Indonesia “jago kampoeng” (bener juga kale ya?). Malaysia juga tidak mengelak atas gangguan laser, namun tetap menuduh Markus yang -sering protes- hanya berulah untuk menutupi rasa gementarnya. Begitu Koran-koran Malaysia memberitakan.
Aku di sini tak akan ikut campur dengan komentar-komentar itu kawan. Aku mengajak kalian semua untuk melihat sisi-sisi yang jutru tak terekspos dan berada di balik pertandingan bola. Dengan keterbatasan waktu, terpaksa ide-ideku harus kubagi menjadi beberapa bagian terpisah.


Filsafat Suporter Bola

Suporter bola sebenarnya orang-orang yang unik. Apalagi suporter Indonesia. Tidak ada suporter bola di dunia yang mampu mengalahkan suporter Indonesia, kreativitasnya, gemar berantemnya, apalagi kenekatannya. Sayangnya FIFA sebagai pemegang otoritas bola dunia tak pernah memberikan anugerah untuk kategori suporter pada setiap tahunnya. Kalau ada, sudah pasti aku yakin Indonesia akan meraih salah satu penghargaan dari FIFA, tapi entah untuk kategori suporter yang macam apa.

Di Bukit Jalil hadir beragam elemen supporter Indonesia yang hanya punya satu suara “Indonesia harus menang”. Ada yang memang berdomisili sementara di Malaysia, karena alasan bekerja atau studi sepertiku, tapi ada juga yang memang sengaja berangkat dari Indonesia sebagai suporter bola. Stadion yang dijadwalkan menghelat pertandingan pada pukul 20.00 telah mulai disesaki penonton 5 jam sebelumnya. Lambat laun, kursi-kursi kosong mulai terisi penonton. Semakin banyak kulihat ragam suporter Indonesia dengan pernak-pernik aksesoris yang dipakainya. Tapi yang menarik perhatianku bukan aksesoris yang aneh-aneh itu kawan. Mataku justru tertegun melihat para suporter bola yang membawa poster bertuliskan Gresik United, kaos berlogo PSPS, Bonek Persebaya, dan identitas tim-tim kedaerahan lainnya. Ini betul-betul mengusik keingintahuanku kawan. Aku penasaran dan kuputuskan untuk mendekati rombongan pembawa poster Gresik United, lalu kutanya salah seorang di antara mereka, “ Mas ini mewakili Indonesia atau Gresik United?”, “ya dua-duanya”, begitu jawabnya. Aku pun manggut-manggut. Lantas aku berpindah mendekati seseorang yang nekat berdiri di besi pembatas. Kulihat di balakang kaosnya tertulis Persebaya, “oh pantas bonek”, gumamku. Ia pun kutanya “Mas, arep dukung Indonesia opo persebaya?”. Ia menjawab dan berteriak kencang ke arah lapangan, “Hidup Persebaya, Hidup Indonesia”.

Saat itu aku tak lagi meragukan kecintaan mereka terhadap negeri Indonesia, kawan. Kalau mereka menyebut “nyawa kami taruhannya”, itu pun tidak tampak seperti main-main bagiku. Tapi ada pemandangan tidak biasa yang kulihat dan mengusik pikiranku, kawan. Bagaimana mungkin Gresik United bisa akur dengan Persebaya. Padahal biasanya mereka “doyan berantem” satu dengan yang lain. Malaikat mana yang berhasil mendudukkan mereka dalam satu meja untuk bermusyawarah dan menyepakati untuk tidak berantem saat bertemu membawa atribut masing-masing. Ah, sepak bola ternyata mampu menjadi juru damai, kawan. Ini betul-betul kurasakan hebat. Batasan lawan yang selama ini tersekat dalam kota-kota di Indonesia lenyap menjadi satu suara nasional “Indonesia”.

Padahal kawan, ingatkah kalian bagaimana sebenarnya suporter tim-tim di liga Indonesia amat sering “bergaduh”? Kuberi contoh: Di Jawa Timur, Arema adalah musuh bebuyutan Persebaya. Jangan harap suasana tak akan mencekam saat keduanya bertanding. Masing-masing kelompok suporter telah menyiapkan senjata-senjata yang akan mereka gunakan untuk bentrokan sebelum, saat, atau setelah pertandingan. Bahkan, konon jangan dengan mudah masuk ke Malang dengan menggunakan motor plat nomor L (Surabaya), karena entah siapa yang mengendarai motor L tersebut akan dianggap antek Persebaya. Beruntung kalau hanya motor yang menjadi sasaran, besar kemungkinan pengemudinya pun bakalan babak belur dikeroyok. Hebat bukan main fanatisme suporter bola kita.

Mari kita bergerak ke cakupan yang lebih kecil, kawan. Di Jember (kota kelahiranku), ada kecamatan yang bernama “Balung dan Tanggul”. Masing-masing keduanya memiiki kesebelasan bola. Saat Persid (Persatuan Sepak Bola Djember) bertanding, dua kelompok suporter Balung dan Tanggul akan bahu membahu mendukung Jember. Tapi, saat tiba giliran kompetisi yang mempertemukan tim dari keduanya, maka suporter Balung dan Tanggul menjadi dua kabilah yang siap membela tim masing-masing, bahkan dengan nyawa sekalipun. Sabit “madura” menjadi alat yang mesti dibawa “petentang petenteng” guna mempersiapkan bila sewaktu-waktu akan terjadi bentrokan. Darah suporter Tanggul seolah halal bagi suporter Balung dan demikian pula sebaliknya. Ini bukan cerita tentang sengketa tanah, kawan. Ini masih tentang bola.

Tradisi tersebut bisa terus dilanjutkan hingga ke tingkat kompetisi rendahan yang hanya memainkan bola plastik dengan jumlah 5-6 pemain. Maka singkatnya, dalam ranah filosofis, sebenarnya suporter bola tidak pernah memiliki identitas yang pasti. IDENTITASNYA DITENTUKAN DARI SIAPA LAWAN YANG DIHADAPI. Maka aku orang asli Rambipuji – Jember - Jawa Timur - Indonesia akan memiliki banyak identitas sebagai suporter bola. Aku adalah orang Indonesia hanya bila Timnas bertanding melawan Malaysia atau Negara lainnya. Tapi aku orang Surabaya saat Persebaya melawan Persija. Aku akan berubah menjadi orang Jember saat Persid Jember melawan Persebaya. Tapi jangan salah, aku akan menjadi orang Rambipuji bila semisal kesebelasan Rambipuji tengah bertanding melawan kesebelasan lain. Lalu pertanyaannya, siapakah sebenarnya diriku? Mana yang benar-benar menjadi identitasku? Pertanyaan ini bukan hanya untukku kawan, tapi untuk semua suporter Indonesia atau mungkin seluruh suporter bola di dunia.

Jadi jangan dulu bangga dengan lengkingan suporter Indonesia yang mengelu-elukan Irfan Bachdim. Itu semua tidak lain karena Irfan sedang bermain untuk Timnas Indonesia. Saat Irfan bermain untuk timnya, Persema Malang di Liga Indonesia, maka keadaannya akan berubah 180 derajat. Irfan akan menjadi public enemy (musuh bersama) bagi pendukung Persebaya, Persela, atau bahkan Arema. Jadi jangan tertipu dengan tampang suporter yang menjadi pendukung sepak bola Indonesia, karena bisa jadi mereka pula yang telah menciderai sepak bola Indonesia. Jangan katakan mereka punya nasionalisme yang tinggi, sementara di lain waktu mereka acapkali menjadi musuh nilai-nilai nasionalisme. Mereka gampang dipersatukan oleh bola, tapi mereka juga mudah dipisahkan dan diadu domba oleh bola.

Ini baru tentang bola, kawan. Padahal ada banyak identitas yang bisa jadi melekat pada diri kita selain tentang bola. Ini kuberikan contohnya:
1.Islam NU, NU PKB, PKB Gusdur. Pertanyaannya, ada berapa orang NU yang berjuang untuk Islam? Bukankah mayoritas mereka masih berjuang untuk NU, untuk PKB, atau untuk Gusdur?
2.Indonesia Golkar, Golkar Bakrie. Pertanyaannya, yakinkah anda Bakrie berjuang untuk Indonesia? Ataukah Bakrie hanya berjuang untuk Golkar, atau bahkan hanya untuk Bakrie Group?
3.Silahkan analogikan contoh lain yang serupa (faqis ‘alaihima). Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya pertanyaan yang tak memerlukan jawaban, tapi butuh tindakan penyelesaian.

Sulit mencari yang benar-benar suporter Indonesia, kawan, sesulit mencari yang benar-benar berjuang untuk Islam. Mayoritas kita masih terikat dengan identitas-identitas kecil yang kita lekatkan sendiri ke dalam diri kita. Itulah mengapa menurutku suporter bola mengajarkan satu falsafah kehidupan baru bahwa:

“DIRIKU ADALAH SIAPA LAWANKU”

Diriku Indonesia saat lawanku Malaysia. Diriku Persebaya saat lawanku Arema. Dan demikian seterusnya. Selama ini falsafah yang kita kenal adalah bahwa Seseorang Bisa Dinilai Dari Siapa Orang yang Dipilih Menjadi Kawan. Tapi kita belajar hal baru dari suporter bola bahwa lawan turut menentukan identitas seseorang. Bahkan lawan pun harus kita syukuri keberadaannya, karena lawan itulah yang akan mengantarkan kita pada kesejatian diri. Sebab itulah, kalau seandainya makhluk yang paling banyak menyebabkan orang masuk surga akan juga masuk surga, maka Syeitan dan Iblis sangat berhak masuk surga. Terhadap keberadaan keduanya, boleh jadi kita harus mengucap hamdalah dan bukannya ta’awwudz, karena melalui wasilah Syeitan-syeitanlah kita tahu untuk selalu berpihak pada kebenaran dan kebaikan, seperti cerita supir ugal-ugalan yang masuk surga karena menjadi alasan para penumpangnya mengingat Tuhan. Maka atas nama Indonesia, ucapkanlah “Alhamdulillah ada Malaysia”.

Minggu, 19 September 2010

REBORN

Tak terasa sudah sekitar setahun aku tak melakukan posting apapun ke blog ini. Kangen juga rasanya ngeblog setelah sekian lama tak memanfaatkan media ini sebagai media share. Mungkin kehadiran FaceBook sedikit banyak berpengaruh terhadap berkurangnya frekuensi dan intensitasku menulis di blog ini. Mudah-mudahan masih ada sedikit tenaga yang ditopang besarnya kemauan untuk kembali menyempatkanku berkunjung dan menulis di sini. Bukannya aku tak memiliki kesempatan waktu. Terlalu banyak bahkan waktu yang kulewatkan selama ini. Pasca penyelesaian tesis dan wisuda S2-ku April kemarin, sampai saat ini kegiatanku terhitung santai –kalau tidak bahkan lebih layak kusebut menganggur-. Sifat malas ini memang sangat bebal dan keras kepala untuk kuusir hanya bermodalkan kemauan saja. Aku perlu ada power eksternal yang memaksa dan membantuku mengusirnya. Itulah sebagian dari alasan kenapa aku suka bersekolah. Aku suka saat ada sistem yang memaksaku mengeluarkan dan menghabiskan energi terbaikku.

Strata 2 telah kuselesaikan dan saat ini aku kembali berniat melanjutkan studiku ke jenjang strata 3. Aku tahu mungkin cukup gila memang pengangguran seperti aku mengambil strata 3. Umumnya strata 3 diisi oleh orang-orang yang telah cukup mapan bekerja. Tapi inilah aku, seseorang yang hanya tahu sekolah dan senang bila terus menerus dicap sebagai pelajar. Ada orang yang menganggapku hebat, tapi ada juga yang berpikiran sudah saatnya aku tak hanya bangga dengan status pelajar. Di usiaku yang 24 ini sebagian sudah berpikir akan lebih baik kalau aku mulai bersentuhan dengan yang namanya dunia “kerja”. Aku bukan benci kehidupan duniawi, aku juga tidak mengatakan kalau aku memilih hidup mlarat. Tapi aku tahu ekspektasi orang luar mengharuskan dunia “kerja” yang kan kugeluti mencerminkan status S2-ku. Itu yang tidak aku suka dan tidak sejalan dengan idealismeku. Banyak orang memberikan garis linear antara menuntut ilmu dan bekerja. Padahal bagiku tidak ada korelasinya antara menuntut ilmu dan bekerja. Buktinya, banyak sekali pengusaha besar yang hanya mengenyam pendidikan dasar, bahkan aku mengenal di antara mereka yang buta huruf.

Ilmu bagiku tidak berbicara tentang kerja –atau lebih eksplisit adalah kemampuan mengumpulkan harta-, karena itu bukan syarat utama merengkuh kebahagiaan, meski juga bukan bagian tak penting dari kebahagiaan. Ilmu adalah tool bagi setiap orang untuk menjawab problematika kehidupan yang ia hadapi. Ilmu adalah kemampuan yang harus dimiliki setiap individu minimal untuk memberikan manfaat pada dirinya sendiri. Bagiku terlalu jauh untuk berpikir bahwa aku mampu memberikan manfaat pada orang lain. Dengan ilmu yang ada saja, aku bahkan belum yakin mampu memberikan manfaat pada diri sendiri. Aku butuh ilmu berlebih untuk melakukannya. Itulah yang membuatku termotivasi dan gemar saat bergelut dengan yang namanya “dunia ilmu, the world of knowledge”.

Aku merasa tidak perlu untuk obral manfaat kepada orang lain, menjadi orang yang mampu menyelesaikan semua persoalan atau siap ditempatkan di mana saja. Aku yakin, bila ilmuku memang dianggap bisa memberikan manfaat, Allah yang akan menggerakkan hati orang lain untuk mengambil manfaat dariku. Biarlah lingkungan dan masyarakat yang akan menilai di mana posisi yang layak untukku. Sepenuhnya aku tidak ragu bahwa “orang-orang yang beriman dan berilmu akan Allah angkat derajat mereka” dan hukum alam pun setuju bahwa “orang-orang yang berilmu tak akan pernah sama dengan orang yang tak berilmu”.

Bukan berarti aku mengharamkan pekerjaan yang mapan bagi orang-orang yang berilmu. Tapi ini persoalan ORIENTASI atau dalam bahasa tasawwufnya disebut NIAT. Yang marak aku temui adalah orientasi utama mayoritas pelajar atau mahasiswa pada umumnya adalah bekerja. Padahal harusnya pekerjaan itu menjadi “efek samping” atau konsekuensi dari menuntut ilmu, bukan malah tujuan. Lebih baik aku mencurahkan konsentrasiku 100 persen dalam menuntut ilmu daripada kuluangkan 30 persen untuk berpikir “efek samping” dari pekerjaanku. Banyak yang tak bisa membedakan mana cara dan mana tujuan. Apakah “bekerja” itu cara ataukah “bekerja” itu tujuan? Mungkin inilah alasan mengapa negara ini mampu membangun kampus-kampus ilmu yang indah, tapi tidak pernah berhasil membangun peradaban ilmu yang megah.

Tapi begitulah kawan, memang selalu terjadi jarak antara idealitas dan realitas. Aku dan kalian sebenarnya adalah orang-orang yang hidup di antara jarak tersebut. Kita terombang-ambing di antara apa yang seharusnya dan apa yang terjadi. Menjadi sangat idealis pasti hanya akan menambah banyak lawan, termasuk melawan lingkungan. Menjadi sangat pragmatis lebih buruk lagi, karena tak akan mampu merasakan sejatinya kebahagiaan. Kita harus pandai bersikap di antara dua kutub tersebut. Kapan kita harus berdamai dengan lingkungan dan kapan kita harus mengatakan “tidak” pada kebiasaan lingkungan yang berlangsung. Selalu ada konsekuensi pada masing-masing pilihan. Aku berani menentang arus yang berjalan dengan segala risikonya bila memang hati nuraniku berkata demikian.

Ya, hati nurani. Itulah jawaban yang aku pilih saat ada kebimbangan dalam menjatuhkan pilihan. “istafti qolbak, mintalah jawaban pada hatimu”, demikan kata bijak itu berbicara padaku. Hingga saat ini hati nuraniku berkeyakinan bahwa, “mencari ilmu itu mudah dan gampang, namun mencari ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah”. Demikian juga “mencari harta itu mudah dan banyak jalannya, namun harta yang barokah lebih sedikit jumlahnya”. Untuk sekedar bahagia dunia, mungkin kau hanya membutuhkan sekedar ilmu dan harta. Namun untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat kau butuh lebih dari sekedar ilmu dan harta. Kau butuh yang bermanfaat dan kau butuh yang barokah. Pilihan masing-masing ada di tangan kita. Perbaikilah semua dengan mulai memperbaiki NIAT kita.

Aku –sebagai makhluk dengan penyakit malas kambuhan- sering memperbaharui niatku. Dulu blog ini kubuat dengan niatan guna menjadi media yang menyemangatiku menulis dan berbagi dengan orang lain. Ah, ternyata niatanku itu berjalan beriringan dengan penyakit kambuhanku yang bernama malas. Begitu penyakit malas itu sedang pergi jalan-jalan (mudah-mudahan tidak menghinggapi kalian), aku kembali bersemangat menulis dan berikrar serta berniat untuk mengisi blogku yang sudah kurus kering meronta-ronta kelaparan. Tapi begitu si “Malas” datang kembali, ia tak mau kuduakan. Ia memintaku terus menerus memperhatikannya dan menjanjikan sejuta kenikamatan sesaat. “Ya Allah, Duh Gusti. aku berlindung pada-Mu dari sifat malas. Aku tak ingin otak yang telah Kau nikmatkan padaku tak mampu kusyukuri karena harus bersarang di dalam tubuh yang malas”.

Minggu, 31 Januari 2010

Oral di Bulan Puasa

“Mau tanya mengenai kenakalan remaja untuk dijadikan referensi, apakah jika ada dua orang lawan jenis melakukan hal layaknya suami dan istri tapi tidak sampai memasukkan alat kelamin hanya di gesek-gesekkan saja tapi yang ceweknya masih pakai CD, dan melakukan oral sex, apakah dia harus mandi wajib meskipun tidak keluar air mani? Atau apakah dengan wudlu sewaktu dia mau sholat sudah cukup? Apakah sah jika dia berpuasa?”

Pertanyaan itu masuk ke inbox HP saya saat bulan ramadlan kemarin. Pertanyaan tersebut memang bukan langsung datang dari orang yang bersangkutan. Ada salah seorang sahabat saya yang mem-forward-nya untuk meminta pendapat saya. Saat itu saya tidak bisa menjawabnya secara langsung, karena saya harus benar-benar tahu kondisi orang yang dimaksud dalam pertanyaan saya tersebut. Bagi saya, fatwa itu tidak selamanya harus ‘gebyah uyah’ disampaikan sebagaimana keyakinan pemberi fatwa, tanpa memperhatikan situasi dan kondisi obyek fatwa. Demikian di antara etika berfawa yang dipegangi Imam Ahmad bin Hanbal. Saya tidak mengatakan bahwa apa yang akan saya sampaikan ini adalan fatwa, Pertama, saya belum mencukupi syarat menjadi mufti. Kedua, negara ini bukan negara Islam yang mewenangkan lembaga fatwa menjadi pemutus suatu sengketa perkara. Meski demikian, saya rasa konteksnya sedikit banyak memiliki kemiripan. Oleh karenanya, saat itu saya tidak memberikan jawaban, disamping memang media sms saya merasa belum cukup untuk menjelaskan duduk jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.

Lama saya melupakan pertanyaan itu. Karena saya yakin sahabat saya itu telah memberikan jawaban. Dia pasti hanya sekedar ingin mendengar pendapat saya sebagai pembanding saja. Baru beberapa hari yang lalu, saya membuka-buka inbox HP saya dan kembali menemukan sms tersebut. Saya pun merasa tidak ada salahnya coba ikut merespon persoalan di atas dengan mendeskripsikannya dalam bentuk tulisan. Kebetulan banyak waktu luang saat liburan di rumah.

Tidak terlalu sulit memang menjawab pertanyaan di atas bila kita mengacu pada aturan fiqh yang ada. Sebagai analisa pertama saya akan menjawabnya menggunakan kerangka fiqh, karena apa yang menjadi pokok pertanyaan adalah persoalan kewajiban mandi dan sah tidaknya berpuasa. Kedua hal tersebut saya rasa tidak memerlukan jawaban yang berbelit-belit, karena dalam kaca mata fiqh tidak termasuk persoalan yang pelik. Saya menyebut persoalan fiqh, karena untuk pertama kali saya tidak akan membahasnya dari sudut pandang norma dan etika. Hal itu akan saya bahas kemudian.

Tanpa menghilangkan rasa hormat saya pada ulama madzhab yang lain, perkenankan saya menggunakan satu kitab saja untuk mengupas pertanyaan di atas. Saya akan menggunakan kitab al-fiqh al-islamy wa adillatuhu karya Prof. Dr. Wahbah Zuhaily. Alasannya sederhana, karena saya menganggap kitab fiqh ini tergolong masih relatif baru dan cukup komprehensif dan sistematis dalam meramu serta menjabarkan pandangan beberapa madzhab pada setiap babnya.

Pertanyaan pertama menurut saya terkait dengan hal-hal yang mewajibkan mandi besar bagi seorang muslim. Secara ringkas, dapat disebutkan bahwa ada 7 hal penyebab seseorang diwajibkan mandi menurut Hanafi, menurut Hanbali ada 6, Syafi’i ada 5, dan Maliki ada 4 sebab. Lebih jelas silahkan langsung merujuk pada halaman 459 juz I. Kalau hubungan itu -bagaimanapun bentuknya- sampai mengeluarkan mani atau sperma, maka sudah tidak ada musykil terhadap kewajiban mandi. Begitu pula kalau hubungan itu –meski tidak sampai mengeluarkan mani- namun sampai pada proses yang bisa didefiniskan hubungan badan, maka itupun tidak lagi diperdebatkan kewajiban melakukan mandi besar.

Batasan berhubungan badan dalam definisi fiqh adalah bila minimal kepala kemaluan lak-laki (hasyafah) telah memasuki farji (kemaluan depan atau belakang) seseorang, baik dipaksa atau tidak, dalam keadaan tidur maupun terjaga (hal. 455/I). Batasan ini memberikan keniscayaan bahwa menggesek-gesekkan alat kelamin laki-laki ke paha atau perut, atau hanya sampai di sekitar farji, atau sekedar mempertemukan dua alat kelamin tanpa masuknya minimal hasyafah ke farji, tidak dapat disebut sebagai berhubungan badan. Oleh karenanya, menggesek-gesekkan saja, apalagi si cewek masih memakai CD, selama dengan catatan tidak sampai keluar sperma, sebagaimana pertanyaan yang diajukan, maka belum dapat disebut berhubungan badan dan tidak diwajibkan mandi besar. Sebab belum dapat disebut berhadas besar, maka cukuplah menghilangkan hadas kecil dengan berwudlu saat akan mengerjakan shalat. Begitu pula dengan oral sex, ia tidak masuk dalam definisi berhubungan badan. Hukumnya pun sama dengan penjelasan yang telah saya paparkan sebelumnya.

Pertanyaan kedua perihal puasa, sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan pertanyaan pertama. Karena apa yang menyebabkan mandi besar, sebagian di antaranya juga dapat membatalkan puasa. Berhubungan intim adalah satu dari sekian banyak penyebab batalnya puasa –sebagaimana wajibnya mandi- yang disepakati oleh semua ulama madzhab. Sehingga, bila suatu contoh kasus belum dapat didefinisikan sebagai “hubungan badan” (jima’), maka kasus tersebut juga tidaklah membatalkan puasa. Puasa yang dilakukan pada hari itu pun dihitung sah dan tidak perlu di-qodlo’ pada hari yang lain. Demikian pandangan fiqh dari pertanyaan yang diajukan di atas.

Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa pandangan fiqh saja –dalam kasus apapun menurut saya- belum bisa mencerminkan pendapat Islam secara total. Ada banyak hal yang belum ter-cover dalam analisa fiqh. Misalnya tentang etika Islam, tasawwuf, dan hal-hal yang tidak dapat diukur lainnya. Fiqh –karena berbicara dalam konteks hukum- menjelaskan tentang hal-hal yang terukur. Sebagaimana kaidah yang terkenal dalam proses peradilan misalnya, “Innana nahkumu bi al-dlowahir, wa Allahu yatawalla al-sarair”, (sesungguhnya kita menghukumi dengan yang dlohir-dlohir saja, dan biarlah Allah yang mengurusi masalah-masalah yang tersembunyi).

Apa yang sah dan halal dalam pandangan fiqh tidaklah berarti terpuji atau tidak tercela dalam pandangan Islam. Perbuatan yang dianggap sah bukan berarti tidak berdosa dalam kaca mata Islam. Poligami, misalnya, halal dan pandangan fiqh, tapi apakah ia terpuji menurut Islam? Tentu hal ini perlu didiskusikan kembali. Thalaq (cerai) diperbolehkan secara fiqh, tapi nyatanya Islam tidak menyukainya. “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”, demikian hadis Nabi menuturkan. Jadi, tidak ada garis linear antara sah dan pahala, atau halal dan tidak berdosa. Keduanya berasal dari dua sumber bahasan yang berbeda. Fiqh tidak mengatur tentang dosa dan pahala atau terpuji dan tercela. Sama seperti ilmu nahwu yang hanya banyak berbicara tentang perubahan harakat, dan tidak banyak mendiskusikan perihal perubahan kalimat yang menjadi domain ilmu sharraf. Padahal lazim diketahui bahwa keduanya –ilmu nahwu dan shorrof- tidak terpisah satu sama yang lain, sebagaimana i’rob dan i’lal yang juga saling terkait dalam pembahasan kaidah bahasa arab.

Perbuatan pada kasus di atas tidak termasuk dalam perbuatan yang membatalkan puasa atau sampai menyebabkan mandi besar dalam pandangan fiqh, tapi apakah ia boleh-boleh saja dilakukan dan tidak berpengaruh apapun terhadap puasa yang kita lakukan? Tentu saja tidaklah demikian. Perbuatan yang menyerupai muqaddimat al-jima’ (foreplay / pemanasan dalam hubungan intim) seperti kasus di atas meski tidak sampai membatalkan puasa, namun dimakruhkan oleh ulama fiqh. Keempat madzhab sepakat memakruhkan perbuatan seperti mencium, berpelukan, dan perbuatan sejenisnya, dengan berpegangan pada fakta bahwa Nabi pernah mencium ‘Aisyah pada saat ia berpuasa (67-70/III). Namun yang saya sampaikan ini adalah kemakruhan dalam konteks hubungan tersebut dilakukan oleh pasangan yang telah halal (telah menikah). Perbuatannya halal dan menjadi makruh karena dilakukan dalam keadaan berpuasa.

Bila dilakukan oleh pasangan yang belum halal -sebagaimana contoh di atas- namun atas dasar kenakalan remaja, tentu saja hukumnya tidak lagi makruh melakukannya saat berpuasa. Hukum puasanya memang tetap sah, tapi hukum makruh yang dimaksudkan para ulama dengan perbuatan semacam kasus di atas tidaklah berlaku pada pasangan jenis ini. Hukum makruh hanya bisa diturunkan dari hukum yang halal. Hubungan yang halal bisa menjadi makruh karena dilakukan saat berpuasa. Sementara perbuatan yang telah jelas-jelas haram –baik di saat berpuasa maupun tidak- tidak bisa naik pangkat menjadi hukum makruh, demikian logika fiqh-nya. Ia akan menjadi haram selamanya, kapan dan pada saat apapun dilakukan.

Saya berasumsi bahwa tidak perlu saya menjelaskan dalil dan alasan-alasan kenapa contoh kasus di atas haram hukumnya dilakukan. Saya yakin semua pembaca sekalian sudah sedemikian paham alasan logis maupun syar’iy pengharaman kenakalan yang marak dilakukan pada remaja dan pemuda saat ini. Jangankan oral sex, petting, atau perbuatan sejenisnya, bersentuhan kulit -selain mahram- dengan disertai syahwat atau tidak saja, syara’ sudah sedemikian rupa memberikan batasan. Saya tidak menyatakan bahwa bersentuhan kulit –sebagaimana bersalaman- itu halal atau haram. Saya kira butuh space tersendiri untuk membahasnya. Saya hanya akan fokus pada permasalahan ini saja.

Terakhir, saya ingin menyampaikan satu hal yang saya rasa akan cukup menggambarkan betapa hubungan semacam contoh di atas tidak layak dilakukan oleh pasangan yang tidak halal, apalagi dalam keadaan sedang berpuasa. Tentu bukan puasa alasan keharamannya, tapi saya hanya ingin coba memberikan korelasi yang jelas dengan pertanyaan yang diajukan. ”Ada lima perkara yang disebutkan dapat membatalkan pahala puasa: Berdusta, menggunjing orang, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang lawan jenis dengan nafsu sahwat”, Demikian kata Nabi.

Tersurat dengan jelas dalam kalimat di atas, bahwa melihat dengan syahwat dapat membatalkan (pahala) puasa. Apalagi bila sampai melebihi batas itu. Maka tepatlah kiranya kalau nabi juga bersabda, “berapa banyak dari orang yang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lapar saja”. Analisa ini sengaja saya buat sesederhana mungkin, karena saya khawatir akan teramat susah dipahami orang awam kalau saya buat lebih ‘njlimet’ lagi. Saya menyebut orang awam, karena saya bisa menilai dari kadar pertanyaan yang diajukan. Wallahu a’lam bi al-showab.