Polemik perempuan sebagai seorang pemimpin
Diskusi mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin tetap menjadi isu yang menarik perhatian kaum Muslim di Indonesia. Kenyataan bahwa Negara ini pernah dipimpin seorang perempuan justru menambah topik tersebut semakin hangat untuk diperbincangkan. Apalagi setelah pemimipin perempuan tersebut dianggap “gagal” dalam menanggulangi krisis Bangsa, maka seolah-olah pendapat jumhur ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimipin (Imam atau khalifah) mendapatkan legitimasi empiris. Meski dalam prakteknya, mayoritas Muslim Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun secara ideologi, tampaknya mereka lebih suka untuk tidak bertentangan dengan Jumhur. Sebagai Negara dengan asas pancasila dan demokrasi, hal seperti ini sangat wajar terjadi.
Diskusi mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin tetap menjadi isu yang menarik perhatian kaum Muslim di Indonesia. Kenyataan bahwa Negara ini pernah dipimpin seorang perempuan justru menambah topik tersebut semakin hangat untuk diperbincangkan. Apalagi setelah pemimipin perempuan tersebut dianggap “gagal” dalam menanggulangi krisis Bangsa, maka seolah-olah pendapat jumhur ulama yang melarang wanita untuk menjadi pemimipin (Imam atau khalifah) mendapatkan legitimasi empiris. Meski dalam prakteknya, mayoritas Muslim Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun secara ideologi, tampaknya mereka lebih suka untuk tidak bertentangan dengan Jumhur. Sebagai Negara dengan asas pancasila dan demokrasi, hal seperti ini sangat wajar terjadi.
Polemik seputar kepemimpinan perempuan semakin menjadi-jadi ketika fakta sejarah dan dalil-dalil dalam Islam tampak saling bertentangan dan tumpang tindih. Di satu sisi, sebagaimana diyakini jumhur, nabi pernah bersabda “Lan yufliha qoumun wallau amrohum imro’atan” (tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan), sementara di sisi lain, sebagaimana diklaim pejuang kesetaraan gender, Aisyah R.A. ternyata pernah memimpin pasukan dalam perang jamal. Belum lagi kalau kita membaca al-Quran surat al-Hujurat ayat 31 yang secara eksplisit menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, maka klaim pejuang kesetaraan gender pun serasa menemukan kebenarannya.
Banyak juga yang mencoba menganalisis larangan perempuan menjadi pemimpin melalui pendekatan psikologis. Namun tampaknya usaha tersebut juga tidak banyak berhasil. Karena ketika dibawa pada analisis duniawi, maka logika yang digunakan adalah logika sebab atau illat. Artinya hukumnya bisa sangat fleksibel. Persoalannya adalah apakah larangan nash tersebut bersifat ta’abbudy (taken for granted) yang harus diterima dalam kondisi apapun atau hanya larangan yang bersifat temporal dan kondisional, menyesuaikan dengan kondisi saat itu?
Tafsir terhadap sebuah nash bagaimanapun juga diyakini sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, kecendrungan politik dan faktor psikologis penafsir. Banyak kalangan berasumsi bahwa pembatasan terhadap perempuan sarat dengan budaya patriarkhi di kalangan arab saat itu. Persoalannya sekali lagi adalah apakah budaya patriarkhi yang dimaksud hanya bersifat temporal dan kondisonal atau jangan-jangan patriarkhi adalah sistem yang dianggap Islam paling sesuai diterapkan di tengah masyarakat, karena merupakan tabi’at (fitrah) manusia?
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sendiri sebagai kelompok yang memperjuangkan berdirinya Khilafah Islamiyah tidak sepakat dengan pemimpin perempuan. Dalam pasal 19 bab sistem pemerintahan Rancangan Undang-Undang Dasar Islam yang disusun oleh Syekh Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, disebutkan “tidak dibenarkan seorang pun berkuasa atau menduduki suatu jabatan apa saja yang berkaitan dengan kekuasaan, kecuali seorang laki-laki merdeka, adil dan beragama Islam”. Ini tentu juga akan menjadi tanda tanya sendiri bagi kaum Muslim. Akankah ini menandakan bahwa perempuan memiliki hak-hak terbatas dalam Negara Islam yang dicita-citakan Hizbut Tahrir?
Realitas Posisi Perempuan dalam Panggung Politik Indonesia
Ada fakta menarik yang terjadi pada era reformasi saat ini. Semakin menguatnya Islam fundamentalis (non-sekuler) ternyata tidak berbanding lurus dengan posisi perempuan di Indonesia. Sekali lagi, dalam dunia politik hal yang demikian sangat wajar terjadi. Fakta bahwa setiap partai harus memberikan kuota 30 persen terhadap caleg perempuan dinilai sebagai terobosan yang berani dalam perjuangan kesetaraan gender. Bahkan PKS yang dianggap mewakili basis massa Islam non-sekuler dan secara “ideologi” biasanya menentang peran perempuan yang berlebihan, termasuk untuk menjadi pemimpin, tampak tidak bisa berbuat banyak dan cenderung menyepakatinya.
Ketika dalam sebuah dialog di stasiun televisi, seorang fungsionaris PKS ditanya mengenai hukum pemimpin wanita, ia sama sekali tidak memberikan jawaban yang tegas. Meskipun tampak lebih mendekati opini yang tidak setuju terhadap pemimipin perempuan, jelas ke”abu-abu”an PKS dalam hal ini sarat dengan pertimbangan politis. Itu artinya seolah-olah kemajuan peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia hanya didapat atas dukungan politik “kepentingan” saja, tanpa dukungan nyata dari moral keagamaan.
Namun, tampaknya posisi kekuatan dan kepercayaan publik terhadap perempuan akhir-akhir ini semakin menguat. Misalnya Jawa timur yang memiliki basis massa Islam tradisional terbesar di Indonesia justru salah satu Calon Gubernurnya adalah perempuan. Terlepas dari kemungkinan menang dan kalah, fakta ini bisa jadi merupakan kemajuan yang menarik untuk dianalisa. Belum lagi beberapa kader perempuan yang memang nyata-nyata telah menjadi pemimpin di beberapa daerah, semisal yang terjadi di Kabupaten Karang Anyar, Jawa tengah.
Bagaimanapun juga, ranah sosial politik dan sosial keagamaan adalah dua ranah yang berbeda. Dalam etika politik tentu tidak ada masalah dengan pemimpin perempuan. Namun secara etis keagamaan, pemimpin perempuan tetaplah sebuah polemik. Menjembatani hal ini, jalan dialog mutlak diperlukan. Disadari atau tidak, dua ranah yang berbeda tersebut tetap saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Ujung-ujungnya perdebatan semacam ini memang memaksa semua Muslim untuk berpikir sekuler. Persoalannya apakah dengan jalur berpikir sekuler semuanya bisa terselesaikan?
