Tak terasa sudah sekitar setahun aku tak melakukan posting apapun ke blog ini. Kangen juga rasanya ngeblog setelah sekian lama tak memanfaatkan media ini sebagai media share. Mungkin kehadiran FaceBook sedikit banyak berpengaruh terhadap berkurangnya frekuensi dan intensitasku menulis di blog ini. Mudah-mudahan masih ada sedikit tenaga yang ditopang besarnya kemauan untuk kembali menyempatkanku berkunjung dan menulis di sini. Bukannya aku tak memiliki kesempatan waktu. Terlalu banyak bahkan waktu yang kulewatkan selama ini. Pasca penyelesaian tesis dan wisuda S2-ku April kemarin, sampai saat ini kegiatanku terhitung santai –kalau tidak bahkan lebih layak kusebut menganggur-. Sifat malas ini memang sangat bebal dan keras kepala untuk kuusir hanya bermodalkan kemauan saja. Aku perlu ada power eksternal yang memaksa dan membantuku mengusirnya. Itulah sebagian dari alasan kenapa aku suka bersekolah. Aku suka saat ada sistem yang memaksaku mengeluarkan dan menghabiskan energi terbaikku.
Strata 2 telah kuselesaikan dan saat ini aku kembali berniat melanjutkan studiku ke jenjang strata 3. Aku tahu mungkin cukup gila memang pengangguran seperti aku mengambil strata 3. Umumnya strata 3 diisi oleh orang-orang yang telah cukup mapan bekerja. Tapi inilah aku, seseorang yang hanya tahu sekolah dan senang bila terus menerus dicap sebagai pelajar. Ada orang yang menganggapku hebat, tapi ada juga yang berpikiran sudah saatnya aku tak hanya bangga dengan status pelajar. Di usiaku yang 24 ini sebagian sudah berpikir akan lebih baik kalau aku mulai bersentuhan dengan yang namanya dunia “kerja”. Aku bukan benci kehidupan duniawi, aku juga tidak mengatakan kalau aku memilih hidup mlarat. Tapi aku tahu ekspektasi orang luar mengharuskan dunia “kerja” yang kan kugeluti mencerminkan status S2-ku. Itu yang tidak aku suka dan tidak sejalan dengan idealismeku. Banyak orang memberikan garis linear antara menuntut ilmu dan bekerja. Padahal bagiku tidak ada korelasinya antara menuntut ilmu dan bekerja. Buktinya, banyak sekali pengusaha besar yang hanya mengenyam pendidikan dasar, bahkan aku mengenal di antara mereka yang buta huruf.
Ilmu bagiku tidak berbicara tentang kerja –atau lebih eksplisit adalah kemampuan mengumpulkan harta-, karena itu bukan syarat utama merengkuh kebahagiaan, meski juga bukan bagian tak penting dari kebahagiaan. Ilmu adalah tool bagi setiap orang untuk menjawab problematika kehidupan yang ia hadapi. Ilmu adalah kemampuan yang harus dimiliki setiap individu minimal untuk memberikan manfaat pada dirinya sendiri. Bagiku terlalu jauh untuk berpikir bahwa aku mampu memberikan manfaat pada orang lain. Dengan ilmu yang ada saja, aku bahkan belum yakin mampu memberikan manfaat pada diri sendiri. Aku butuh ilmu berlebih untuk melakukannya. Itulah yang membuatku termotivasi dan gemar saat bergelut dengan yang namanya “dunia ilmu, the world of knowledge”.
Aku merasa tidak perlu untuk obral manfaat kepada orang lain, menjadi orang yang mampu menyelesaikan semua persoalan atau siap ditempatkan di mana saja. Aku yakin, bila ilmuku memang dianggap bisa memberikan manfaat, Allah yang akan menggerakkan hati orang lain untuk mengambil manfaat dariku. Biarlah lingkungan dan masyarakat yang akan menilai di mana posisi yang layak untukku. Sepenuhnya aku tidak ragu bahwa “orang-orang yang beriman dan berilmu akan Allah angkat derajat mereka” dan hukum alam pun setuju bahwa “orang-orang yang berilmu tak akan pernah sama dengan orang yang tak berilmu”.
Bukan berarti aku mengharamkan pekerjaan yang mapan bagi orang-orang yang berilmu. Tapi ini persoalan ORIENTASI atau dalam bahasa tasawwufnya disebut NIAT. Yang marak aku temui adalah orientasi utama mayoritas pelajar atau mahasiswa pada umumnya adalah bekerja. Padahal harusnya pekerjaan itu menjadi “efek samping” atau konsekuensi dari menuntut ilmu, bukan malah tujuan. Lebih baik aku mencurahkan konsentrasiku 100 persen dalam menuntut ilmu daripada kuluangkan 30 persen untuk berpikir “efek samping” dari pekerjaanku. Banyak yang tak bisa membedakan mana cara dan mana tujuan. Apakah “bekerja” itu cara ataukah “bekerja” itu tujuan? Mungkin inilah alasan mengapa negara ini mampu membangun kampus-kampus ilmu yang indah, tapi tidak pernah berhasil membangun peradaban ilmu yang megah.
Tapi begitulah kawan, memang selalu terjadi jarak antara idealitas dan realitas. Aku dan kalian sebenarnya adalah orang-orang yang hidup di antara jarak tersebut. Kita terombang-ambing di antara apa yang seharusnya dan apa yang terjadi. Menjadi sangat idealis pasti hanya akan menambah banyak lawan, termasuk melawan lingkungan. Menjadi sangat pragmatis lebih buruk lagi, karena tak akan mampu merasakan sejatinya kebahagiaan. Kita harus pandai bersikap di antara dua kutub tersebut. Kapan kita harus berdamai dengan lingkungan dan kapan kita harus mengatakan “tidak” pada kebiasaan lingkungan yang berlangsung. Selalu ada konsekuensi pada masing-masing pilihan. Aku berani menentang arus yang berjalan dengan segala risikonya bila memang hati nuraniku berkata demikian.
Ya, hati nurani. Itulah jawaban yang aku pilih saat ada kebimbangan dalam menjatuhkan pilihan. “istafti qolbak, mintalah jawaban pada hatimu”, demikan kata bijak itu berbicara padaku. Hingga saat ini hati nuraniku berkeyakinan bahwa, “mencari ilmu itu mudah dan gampang, namun mencari ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah”. Demikian juga “mencari harta itu mudah dan banyak jalannya, namun harta yang barokah lebih sedikit jumlahnya”. Untuk sekedar bahagia dunia, mungkin kau hanya membutuhkan sekedar ilmu dan harta. Namun untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat kau butuh lebih dari sekedar ilmu dan harta. Kau butuh yang bermanfaat dan kau butuh yang barokah. Pilihan masing-masing ada di tangan kita. Perbaikilah semua dengan mulai memperbaiki NIAT kita.
Aku –sebagai makhluk dengan penyakit malas kambuhan- sering memperbaharui niatku. Dulu blog ini kubuat dengan niatan guna menjadi media yang menyemangatiku menulis dan berbagi dengan orang lain. Ah, ternyata niatanku itu berjalan beriringan dengan penyakit kambuhanku yang bernama malas. Begitu penyakit malas itu sedang pergi jalan-jalan (mudah-mudahan tidak menghinggapi kalian), aku kembali bersemangat menulis dan berikrar serta berniat untuk mengisi blogku yang sudah kurus kering meronta-ronta kelaparan. Tapi begitu si “Malas” datang kembali, ia tak mau kuduakan. Ia memintaku terus menerus memperhatikannya dan menjanjikan sejuta kenikamatan sesaat. “Ya Allah, Duh Gusti. aku berlindung pada-Mu dari sifat malas. Aku tak ingin otak yang telah Kau nikmatkan padaku tak mampu kusyukuri karena harus bersarang di dalam tubuh yang malas”.
Minggu, 19 September 2010
Langganan:
Komentar (Atom)
